GRATIS FOR ALL
Senin, 03 Desember 2012
GRATIS FOR ALL: NOVEL CINTA REMAJA
GRATIS FOR ALL: NOVEL CINTA REMAJA: Badminton Freak! Stephanie Zen Curhat Colongan Hai! Inilah buku yang sudah sekian lama kuimpikan untuk terbit. Buku yang menampung rasa ba...
NOVEL CINTA REMAJA
Badminton
Freak!
Stephanie Zen
Curhat Colongan
Hai!
Inilah buku yang sudah sekian lama kuimpikan untuk terbit. Buku yang menampung rasa
bangga dan kagumku pada satu dunia: bulutangkis.
Aku kenal bulutangkis pertama kali saat Olimpiade Atlanta 1996, karena histeria dua tanteku
akan Ricky Subagdja (yeah, bagian prolog dalam buku ini adalah kisah nyata!), dan sejak itu
benar-benar jatuh hati padanya (pada dunia bulutangkis, bukan pada Ricky Subagdja, hehe...).
Kecintaanku pada bulutangkis membuatku ingin jadi atlet. Tapi, seperti Fraya, cita-citaku
juga kandas di tengah jalan. Setelah itu, selama beberapa tahun aku sempat melupakan
bulutangkis. Histeriaku beralih pada The Moffats, Westlife, dan band-band lokal Indonesia.
Sampai akhirnya, pada bulan Mei 2008, Tim Uber Indonesia berhasil mencapai babak final
Kejuaraan Uber Cup, dan itu membuat kekagumanku pada bulutangkis Indonesia, yang sudah
sekian lama tidur, bangkit kembali. Bahkan lebih daripada sebelum-sebelumnya.
Aku merasa aku harus melakukan sesuatu. Walau sudah nggak mungkin lagi mengejar citacitaku,
aku tahu dengan semua talenta yang kumiliki sekarang ini aku akan bisa melakukan
sesuatu.
Dan aku berhasil melakukannya melalui dunia lain yang juga kucintai: menulis.
Buku ini buku paling emosional yang pernah kutulis. Semua obsesi, kekaguman, kecintaan,
kehilangan, dan harapanku pada bulutangkis ada dalam buku ini. Semoga kalian bisa
menikmatinya ya, sama seperti aku menikmati menulis setiap kata yang ada. •
Thanks!
Jesus Chirst, my Lord and Savior, to whom I lay my whole love, life, and faith.
Oma Greetje Jeane Koamesah-Rondo.
Librando Laman Zen dan Ronalita Thelma Koamesah, the best parents ever!
Adikku, William Ronaldo Yozen.
Keluarga besar Zen dan Koamesah di mana pun berada, terutama Tante Denny dan Tante
Esther, yang karena histerianya saat Olimpiade Atlanta berhasil membuatku jatuh cinta pada
bulutangkis. Hehehe...
My bestiests: Dessy Amanda, Sandra Wanti, Windy Intan, dan Livia Garnadi.
Jovi, Licu, Meli, Fanie, Raymon, Rendy, Yudhi.
Vellen Herlyana dan Ira Ratnati.
Tim GPU yang luar biasa: Mbak Donna, Mbak Vera, dan Maryna Roesdy.
My favorite band ever and eveeerrrr: DAUGHTRY. Tak ada satu halaman pun dari novel ini
yang lahir tanpa diiringi lagu kalian.
Teman-teman twitter dan semua visitor http://smoothzensations.blogspot.com, especially Ci
Rina Suryakusuma, Ajeng, Anas, Prima, Sharleen (pinjam nama ya, Shar .) makasih banyak!
Para atlet bulutangkis Indonesia, yang sudah berjuang untuk memberi kami semua
kebanggaan dan selalu menginspirasiku untuk memberi lebih pada bangsa ini. Terus berjuang ya!
Dan kalian semua yang sudah baca karya-karyaku, terima kasih! Seperti biasa, ditunggu
komennya di twitter, blog, dan e-mail.
God bless us,
Steph
Untuk bulutangkis Indonesia,
My first and endless love •
Prolog
1996
Smash
Smash, Rexy, smash! Aaarggghhh... dia netting! Balas, balas! Halus aja, pelan-
Diam sejenak... Tegang...
YESSSS!
Tante Sissy dan Tante Wenny melompat-lompat kegirangan sambil berpegangan tangan. aku
mendongak sedikit dari rumah Barbie-ku, penasaran apa yang membuat mereka begitu histeris.
melangkah mendekat. Dari tadi kedua tanteku ini ribut saja. Kayaknya yang mereka tonton seru
banget...
asing di telingaku.
dilombakan di sini, dan atlet-atlet dari seluruh penjuru dunia berlomba untuk jadi yang terbaik
Bulutangkis?
a yang itu deh, yang ganteng itu. Itu dulu mantan pacar
Aku bingung. Lho, jadi sebenernya mantan pacar siapa?
bersamaan.
ran-heran.
-lagi -lagi
mereka menjawab bersamaan, dan kali ini dengan wajah
terpesona.
Aku melihat sosok di TV yang tadi ditunjuk kedua tanteku itu. Wow, ganteng! Tapi itu
berarti... kedua tanteku hanya ngibul itu mantan pacar mereka. Nggak mungkinlah Tante
Wenny dan Tante Sissy punya mantan pacar seganteng itu, bisa muncul di TV pula! Hehehe...
Aku sudah hampir bertanya lagi, tapi tampang kedua tanteku ternyata sudah berubah tegang
kembali. Tatapan mereka terpaku ke layar TV, sama sekali nggak berkedip. Aku jadi penasaran.
Nonton juga, ah!
Smash, smash! YESSS! Pengembaliannya out
Tante Sissy dan Tante Wenny berpelukan dengan heboh. Oh, sudah menang ya berarti?
ini masih pindah bola,
masih bolanya Malaysia, jadi kalau Indonesia berhasil memasukkan bola atau pengembaliannya
Malaysia out, Indonesia masih belum dapat angka. Mereka baru dapat angka kalau bola itu milik
-kamit seperti
orang baca mantra. Aku menoleh untuk mencari tahu ekspresi Tante Sissy, dan ternyata sama!
Aku beralih menatap TV, dan tanpa sadar nggak berkedip juga. Wow, bulutangkis keren
banget! Seru! Aku nggak pernah melihat yang seperti ini!
Smash, smash... SMAAASSSHHH!
tegangnya.
Aku juga jadi deg-degan. Seru banget nih!
Dan beberapa detik kemudian...
Sissy melompat-lompat di hadapanku sambil berpegangan tangan, seolah mereka baru menang
lotre. Dan aku, karena tadi ikut tegang, sekarang jadi ikut melompat-lompat juga. Wah keren!
Indonesia meraih medali emas di Olimpiade!
Di layar TV, Ricky dan Rexy berpelukan dengan pelatih mereka, sampai berguling-gulingan
di lantai. Pasti mereka bahagia banget!
melompat-lompat. Mereka masih ngos-ngosan, tapi senyum mereka mengembang lebar.
Keadaanku nggak jauh beda.
Indonesia Raya bakal dikumandangkan, dan bendera Merah
Aku manggut-manggut saja, berusaha menyerap informasti itu. Oh, ternyata kalau Indonesia
menang, lagu Indonesia Raya bakal dikumandangkan dan bendera Merah Putih bakal dikibarkan
paling tinggi...
Aku menunggu momen itu terjadi. Dan itu dia... dua atlet bulutangkis Indonesia yang tadi,
Ricky Subadgja dan Rexy Mainaky, naik ke podium, menerima medali emas dan bunga, lalu lagu
Indonesia Raya dikumandangkan, dan bendera Merah Putih dikerek naik paling tinggi, di atas
bnedera Malaysia dan satu lagi bendera Indonesia (oh, ternyata yang juara tiga juga pemain
Indonesia. Hebat!). Ricky dan Rexy kelihatannya hampir menangis.
Tante Wenny dan Tante Sissy juga.
Dan... ternyata aku juga. Seluruh tubuhku serasa berdesir, dan bulu-bulu di tanganku berdiri
semua. Ini aneh. Aku sering upacara bendera di sekolah, melihat bendera Merah Putih
dikibarkan diiringi lagu Indonesia Raya, tapi aku nggak pernah merasa seperti ini.
Ini... berbeda.
Ini pertama kalinya aku begitu bangga jadi orang Indonesia.
Dan saat itu, aku berjanji dalam hati, aku akan melakukan hal yang sama seperti Ricky
Subagdja dan Rexy Mainaky.
Di usia enam tahun, aku memutuskan: aku akan jadi atlet bulutangkis.
Aku, Fraya Aloysa Iskandar
2008
Aku menoleh. Tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara cempreng itu. Benar
saja, Adisty berlari-lari menghampiriku, sambil membawa segepok kertas, dari seberang lapangan.
terengah-engah sambil memegangi lututnya.
e mau melintas
pelan-
Aku nggak mengada-ada (atau istilah kerennya sekarang: lebay), lapangan basket sekolahku
siang ini memang gila-gilaan panasnya. Kalau kamu berusaha memandang ke seberang lapangan
saja, pandanganmu seperti bergoyang, karena terganggu uap panas yang keluar dari lapisan
semen lapangan.
-ngejarku begini
kalau nggak ada maunya.
segepok yang digenggamnya.
Oh iya, dia kan ketua kelas, ya? Dia yang ketiban tugas mengumpulkan formulir pilihan
ekskul di kelas kami. Aku lupa...
Aku menatap Adisty dengan intens, sampai dia menatapku balik dan akhirnya menghela
napas.
-
Adisty mengeluarkan bolpoin dari saku seragamnya, dan di formulir bernama Fraya Aloysa
Iskandar dia menulis dengan huruf cetak dan tulisan segede gaban: BULUTANGKIS.
Aku menatapnya dengan jenis tatapan yang tadi lagi, dan kali ini Adisty geleng-geleng. Albert
itu pacarku. Pacar keduaku lebih tepatnya, karena pacar pertamaku adalah bulutangkis.
gue dong nyariin anak-anak yang lain. Formulir ini harus gue kumpulin ke Pak Rasyid setelah
jam istirahat nih. Anak
Adisty cengengesan. Aku langsung menyadari, pasti ada sesuatu yang nggak benar.
Rasyid udah nitipin ini ke gue dari tadi pagi sih, tapi... you know,
siapa sih yang nggak jadi amnesia dadakan kalau jam pelajaran pertama langsung Bu Irma? Gue
baru ingat lagi tadi pas tengah-tengah istirahat. Alhasil, gue menghabiskan waktu istirahat gue
dengan ngejar anak kelas kita one by one
Adisty memasang tampang memelas. Hmm, , karena Bu Irma, guru fisika
kami, memang galaknya naujubile! Dan setiap kali jam pelajarannya, entah bagaimana caranya,
dia berhasil membuat kami melupakan segala hal di luar sana. Semua, kecuali rumus-rumus
untuk anak-anak sekelas. Boro-boro formulir pilihan ekskul, kalau aku kena Bu Irma, Albert pun
terlupakan kok, hehe...
berbinar.
Adisty membagi setengah gepok formulir itu padaku, lalu langsung melesat pergi lagi. Aku
menatap formulir paling atas dalam genggamanku. Di situ tertulis Darius Albert Nugroho.
Yeah, kalau dia sih nggak perlu ditanya mau ikut ekskul apa.
Aku mengambil bolpoin dari dalam orgy-ku, dan menuliskan BASKET besar-besar di kolom
pilihan ekskul milik Albert.
* * *
Aku suka bulutangkis.
Mmm... ralat, aku CINTA bulutangkis.
Sejak melihat Ricky Subagdja dan Rexy Mainaky meraih medali emas di Olimpiade Atlanta
1996, dan terkontaminasi kehebohan tante-tanteku kala itu, aku jatuh cinta pada bulutangkis.
Sampai-sampai di usia enam tahun aku memutuskan ingin jadi atlet bulutangkis.
Hebatnya, waktu itu aku sama sekali nggak memikirkan bahwa jadi atlet bulutangkis bakal
sering ikut turnamen di luar negeri (yang berarti bisa keliling dunia gratis), bakal terkenal, atau
bisa dapat hadiah ribuan dolar kalau menang kejuaraan. Yang ada di pikiranku saat itu cuma
satu: kepingin bendera negeriku dikibarkan di negara lain, dan lagu Indonesia Raya
dikumandangkan, karena prestasi yang kuraih.
, dan keinginan sederhana seorang anak kecil ternyata bisa jadi
sangat mulia di saat yang sama.
Tapi sekarang, di usia delapan belas, aku harus bisa menerima kenyataan bahwa cita-citaku
nggak terwujud.
Alasannya sederhana, sekaligus krusial: izin ortu.
Waktu aku berniat masuk klub bulutangkis di dekat rumah saat usia sepuluh tahun, Mama
menolak mentah-mentah. Aku nggak tahu apa alasan Mama waktu itu. Yang aku tahu cuma
Mama nggak mengizinkanku. Dan gimana aku bisa melawan? Aku nggak bisa. Dan nggak boleh.
Rasanya mustahil mewujudkan cita-cita kalau tanpa restu ortu, kan? Plus, siapa yang bakal
membiayaiku masuk klub kalau ortuku menentang?
Papa sih netral-netral aja, tapi karena aku tetap nggak berhasil mengantongi izin dari Mama,
akhirnya cita-citaku terkubur gitu aja.
Tapi itu nggak berarti aku melupakan bulutangkis. Not at all.
Kalau menerima kata-kata Freddie Highmore di August Rush: I love badminton, more than food
I love music, more than food
Aku tetap cinta bulutangkis, menonton setiap turnamen yang ditayangkan di TV tanpa
berkedip, dan jadi paling histeris kalau ada pemain Indonesia yang menang. Aku bahkan
mengikhlaskan sebagian uang jajanku terpotong setiap bulan, demi membayar iuran TV kabel
yang dipasang di rumah karena rengekanku, hanya supaya aku bisa tetap menonton turnamenturnamen
bulutangkis di TV (TV Indonesia mana ada yang nayangin? Mereka lebih suka
sinetron, pertandingan tinju, dan sepak bola yang menghiasi jam tayang mereka, huh!). Sayang,
sekarang aku cuma bisa heboh sendirian saat nonton bulutangkis, karena Tante Wenny dan
Tante Sissy sudah nggak tinggal di rumahku lagi. Mereka sudah married, punya anak, dan punya
rumah sendiri. Dan kecintaan mereka pada bulutangkis juga meluntur sering bertambahnya usia.
Hmm... itu sih alasan mereka, tapi aku yakin fanatisme mereka memudar karena Ricky
Subagdja sudah pensiun! Hehehe... Plus, dia sudah menikah dengan Elsa Manora Nasution.
Well, mereka udah cerai sih sekarang, tapi... Lho? kok jadi ngomongin itu ya? Pokoknya
menurutku, Tante Wenny dan Tante Sissy nggak lagi heboh pada bulutangkis karena nggak ada
lagi Ricky Subagdja. Dan jelas mereka nggak ngefans Taufik Hidayat.
-fans
pada The Moffatts, Westlife, bahkan F4 (!!!), ujung-ujungnya aku balik lagi ke bulutangkis.
Untungnya, ketika masuk SMA, aku nekat ikut ekskul bulutangkis, dan Mama sama sekali
nggak menentang. Mungkin karena beliau menganggap itu bagian dari pelajaran sekolah, atau
mungkin beliau yakin kesempatanku jadi atlet sudah tertutup karena aku sudah terlalu tua untuk
itu, I dunno. Yang pasti, aku senang banget karena masih bisa main bulutangkis.
Tapi yah... memang kesempatanku untuk jadi seperti Ricky Subagdja dan Rexy sudah
tertutup, jadi lebih baik kunikmati saja hidupku yang sekarang.
* * *
Aku mengangkat alis dan menatapnya. Heran, kami sudah pacaran sejak kelas 10, dan dia
masih menanyakan hal itu? Bukannya udah jelas, ya?
Kayaknya Albert menyadari konsep balas-pertanyaan-dengan-pertanyaan yang kusodorkan
dengan baik, karena ia langsung diam.
ikut cheerleaders
Aku, yang sedang minum dari botol minumku, langsung tersedak. Air menumpahi bagian
depan baju seragamku, dan sedikit menciprati dasbor mobil Albert.
Wh... WHAT? Cheers? Nope.
cheers bagus untuk melatih keseimbangan tubuh. Dan kamu kan jadi bisa
I do support you, Al. But pom-pom-less, you know.
kira aku nggak mendukungnya, ya? Aku selalu nonton setiap kali dia ada pertandingan, dan
mendukungnya dari pinggir lapangan. Aku hanya nggak suka melakukannya sambil mengenakan
kostum cheerleaders dan bawa-bawa pom-pom.
Jangan salah, aku menghargai cheerleaders. Memang sih, konsepnya terkesan agak dipaksakan
sejak demam Bring It On melanda Indonesia, tapi itu tetap bidang yang positif, kan? Dan
membuat pilihan ekskul di sekolah-sekolah jadi makin variatif.
. Aku kapten basket, dan kamu bisa jadi kapten cheers.
cheers sekolah kami
-kucluk masuk cheers dan merebut
Pelan-pelan, bertahap. Aku
yakin kamu pasti bakal lebih bagus daripada Cynthia, dan anggota-anggota yang lain bakal milih
Aku diam. Bukan cuma sekali ini Albert berusaha membujukku untuk masuk cheers. Awalawalnya
aku selalu menanggapinya sambil tertawa, tapi lama-lama aku jadi kesal juga. Bayangin
aja, kamu dipaksa-paksa untuk meninggalkan bidang yang kamu cintai sejak kecil untuk masuk
ke dunia baru yang kamu nggak suka. Pasti nyebelin banget, kan?
sadar aku nggak suka sama topik pembicaraannya.
Aku masih tetap diam. Biar aja aku ngambek sedikit. Albert nyebelin sih!
-keras, campuran antara bingung dan kesal.
-sekali aku minta kamu melihat dari sudut pandang aku.
Aku sering iri sama Rifat. Setiap kali tanding, dia selalu disemangatin Cynthia dengan cheers-nya.
Kamu tahu nggak, sejak Rifat jadian sama Cynthia,. permainannya makin bagus, poin yang dia
cetak makin banyak. Itu karena dia tahu ada pacarnya yang nyemangatin dia di pinggir lapangan.
Coach Wondo aja bilang, Rifat sekarang makin bagus. Bukannya aku takut suatu hari Rifat bakal
menggeser posisiku seba
cheers
Aku turun dari mobil Albert, dan dengan hati kesal berjalan menuju kelas. Untung aja tadi
waktu Albert ngomong begitu, mobilnya sudah berhenti di parkiran sekolah kami. Kalau nggak,
bakal nggak asyik banget aku ngambek sambil berusaha nyetop angkot untuk ke sekolah!
* * *
-
Aku nggak menjawab, hanya memberi isyarat dengan daguku pada Albert yang berjalan
memasuki kelas di belakangku. Sejak turun dari mobil, Albert nggak berusaha mengajakku bicara
lagi. Mungkin dia juga lagi kesal, sebodo amat. Lagian, ada bagusnya nggak saling bicara dulu
kalau kepala kami sama-sama masih panas.
Adisty menunggu Albert keluar kelas lagi (Albert memang biasa begitu, pagi-pagi datang
hanya taruh tas di kelas, lalu cabut ke lapangan basket sampai bel berbunyi), kemudian Adisty
membombardirku dengan rentetan pertanyaan.
cheers
lebih suka bulutangkis dibanding cheers? Dan lagi, gue sama Albert itu bukannya baru satu-dua
minggu pacaran, tapi udah dua tahun. Harusnya dia tahu dong apa yang gue suka dan nggak
suka? Gue capek dipaksa
-manggut. Sebagai sahabatku sejak SMP,
Adisty tahu banget aku nggak mungkin memilih cheers kalau ada pilihan bulutangkis sebagai
ekskul di sekolah ini. Bulutangkis itu bukan cuma hobi buatku, tapi seperti... hasrat. Impian.
Obsesi. Gimana ya... aku juga bingung ngejelasinnya.
Aku tersenyum kecut. Banyak orang menyebut permainanku bagus. Aku bisa mengembalikan
bola-bola yang sulit, bisa netting dengan halus, punya fisik yang kuat untuk bermain tiga set, dan
defense-ku saat menghadapi serangan lawan pun kokoh.
Tapi itu saja nggak bisa membuatku jadi atlet, kan? Ada ribuan remaja seusiaku di Indonesia
ini yang mungkin memiliki ambisi yang sama. Dan mayoritas di antara mereka juga memiliki
kelebihan yang tak kupunya: pengalaman bertanding, dan pembinaan sejak kecil.
Aku pernah baca di koran, mayoritas atlet bulutangkis top Indonesia masuk klub sejak usia
sepuluh tahun. Sejak itu, mereka terus berlatih keras setiap hari. Bahkan banyak yang setelah
lulus SMP terpaksa meneruskan pendidikannya di Pelatnas, agar bisa konsentrasi di bulutangkis.
Lihat kan, itu bukan perjuangan beberapa bulan doang. Butuh proses bertahun-tahun. Dan
banyak banget pengorbanan, mulai dari pendidikan, masa hura-hura remaja yang ungkin harus
ditaruh di urutan ke sekian, sampai harus mandiri dan tinggal jauh dari ortu. Dulu waktu kecil
aku nggak memikirkan semua itu. Aku hanya punya tekad dan impian. Sekarang, setelah remaja,
aku tahu nggak semua segampang yang aku bayangkan. Nggak semua cita-cita bisa terwujud.
Termasuk di dalamnya, aku harus bisa menerima bahwa cowokku lebih suka aku bergabung
dengan tim cheers daripada main bulutangkis. Nasiiibb!
* * *
Rupanya kekesalanku pada Albert masih berlanjut hingga sore harinya.
Hari ini hari pertama ekskulku di tahun ajaran baru. Sebagian besar sparring partner
bulutangkisku saat kelas 11 ternyata juga masih mengambil ekskul ini. Dan setelah sesi
game yang mudah. Semuanya
membawa kemenangan straight set buatku.
Aku heran kenapa bisa bertenaga kuda sore ini. But I guess, itu karena aku membayangkan
setiap shuttle cock yang mengarah ke arahku sebagai samsak tempat pelampiasan kekesalanku
pada Albert. Aku langsung memukulnya tanpa ampun. Dan hasilnya, smash tajam yang nyaris
nggak bisa dikembalikan lawanku. Kalaupun bisa, pengembaliannya nggak sempurna, sehingga
menyangkut di net.
menatapku sambil ngos-ngosan. Keringat masih membanjir di dahinya.
tadi, satu jam sebelum ekskul hari ini mulai.
energy booster
lson menyambung. Dia yang kukalahkan
pertama tadi. Eh, jangan kaget, aku aku memang biasa main lawan anak cowok. Bukannya apaapa,
tapi kadang temen-temenku yang sesama cewek suka malas ngejar bola. Nggak seru jadinya.
Lagian, banyak dari mereka yang lebih suka nitip absen doang pas ekskul, lalu langsung ngacir
untuk nongkrong di warung jus depan sekolah.
ket terkenal, hihihi...
untuk tenis. Ada juga yang untuk bulutangkis, tapi dikit banget. Kalah pamor dibanding Yonex.
Wilson langsung mengkeret mendengar ejekan Sharleen. Tapi sedetik kemudian ia tertawa
juga, karena seisi sports hall tempat kami berlatih juga tertawa.
Aku menoleh, dan melihat Pak Richard, pelatihku, melambaikan tangan. Aku mengangguk,
meletakkan botol minumku kembali ke dalam tas, lalu berjalan menghampirinya.
-aling.
Aku menelan ludah. Dari mana Pak Richard bisa tahu?
Aku melongo. Nggak konsen gimana? Aku baru saja mengalahkan tiga sparring partnerku, dan
dua di antaranya cowok! Semuanya dengan straight set, dua game langsung!
Kacau...?
si waktu bermain tadi. Ada bola tinggi sedikit, kamu
bawaannya selalu kepingin men-smash
mematikan bola begitu ada kesempatan, kan? Itu yang saya lakukan tadi, menyambar setiap
rubber set, staminamu bakal
drop
Aku terdiam. Memang untuk pemain cewek, apalagi pemain tunggal seperti aku, stamina
sangat penting. Pemain tunggal putri umumnya jarak melakukan smash, untuk menghemat
tenaga. Sebagian besar hanya mengandalkan drop-shot tajam, atau penempatan bola yang akurat
melalui tipuan yang tak disangka lawan, bukan smash-smash keras.
semakin ngotot. Gimana sih Pak Richard ini, aku merasa sedang bagus-bagusnya, kok dia bilang
permainanku kacau??
meliha
Aku berdiri kaku, memainkan senar raket yang kupegang dengan gelisah. Ini raket Yonex
ArcSaber kesayanganku, yang harganya naujubile, dan kubeli dengan susah payah karena harus
menghemat uang jajanku selama tiga bulan. Biasanya raket ini selalu kupegang dengan sayang,
seperti seorang violis menyentuh lembut biolanya, tapi kali ini aku meremasnya kuat-kuat.
membawa masalah ke lapangan, ya? Permainanmu akan jadi kacau.
Dan Pak Richard berlalu pergi sambil membawa clipboard-nya, meninggalkanku dengan
* * *
Pulang sekolah, aku mendapati ada Tante Wenny di rumah, plus dua bontotnya alias para
sepupuku, Adel dan Alex. Ternyata, hari ini Tante Wenny cuti dari bank tempatnya bekerja,
karena ia mengantar Adel ikut audisi Idola Cilik!
-berat, Aya. Semuanya hebat. Ada temen
les Adel di Gita Nada, namanya Lisa, yang juga ikut audisi tadi. Dia biasanya selalu juara satu
Aku manggut-manggut. Adel memang dileskan piano dan vokal di Gita Nada, salah satu
lembaga kursus musik yang cukup terkenal. Alex juga, tapi karena dia masih berumur lima
tahun, nyanyinya masih nggak jelas. Tapi Adel suaranya bagus, tinggi dan jernih, kayak suara
Gita Gutawa. Well, yang suara kayak dia aja nggak lolos, ya?
-tiba.
Tante Wenny melongo selama beberapa detik, lalu mengibaskan tangannya.
penyanyi sekaligus. Kalau les bulutangkis, nanti mereka malah banyakan capeknya, dan jadi
Aku melihat Adel dan Alex yang lagi rebutan remote TV dengan Lionel, adik bungsuku. Beda
dengan aku dan sepupu-sepupu yang lain, dua anak Tante Wenny ini memang kurus. Dari kecil
mereka sulit makan, dan daya tahan tubuhnya lemah (yang mengakibatkan mereka gampang
sakit, apalagi kalau kecapekan). Sekarang sudah mendingan, tapi aku tetap bisa mengerti alasan
Tante Wenny. Nggak semua orang punya badan badak tahan banting kayak aku.
-atlet yang bagus, yang juara.
Gimana kalau mereka jadi atlet yang biasa-biasa aja? Yang melempem? Dilirik sama Pelatnas aja
udah bagus
Aku menelan ludah. Dalam hati, aku agak nggak setuju. Kalau mau jadi atlet, seharusnya
bermental juara. Punya mimpi, tekad. Jangan belum apa-apa udah mundur teratur begini! Aku
dulu mundur bukan karena kemauanku sendiri, tapi karena aku memang nggak mau jadi anak
durhaka, yang ngelawan Mama karena nggak diizinkan masuk klub bulutangkis. Nggak lucu
kalau aku dikutuk jadi batu sambil pegang raket. Salah-salah, nanti malah dipajang di Istora
Senayan.
lai kehilangan orientasi
pembicaraan, dan jadi ngawur.
masih muda, masih mikir fun-fun aja. Tapi sekarang Tante tahu, merelakan anak jadi atlet itu
bukan hal yang gampang. Jadi atlet itu sama dengan tanda tangan kontrak seumur hidup.
Mereka akan mencurahkan seluruh hidup mereka untuk latihan dan pertandingan. Sekolah bakal
ditaruh di urutan ke sekian. Dan kembali lagi ke alasan Tante yang tadi, seandainya mereka jadi
atlet yang nggak berhasil, sudah terlambat untuk berbalik arah. Untuk sekolah lagi, pasti sudah
Aku mati kutu. Mungkin inilah dulu alasan Mama melarang aku masuk klub bulutangkis.
Mungkin Mama takut aku gagal, dan masa depanku akan jadi nggak jelas....
* * *
Albert kayaknya nggak betah berantem lama-lama sama aku. Malam itu, tepat setelah Tante
Wenny, Adel, dan Ales pulang, Albert muncul di depan pintu rumah. Bawa sogokan yang sangat
menggoda iman pula. Ferrero Rocher.
Aku menimang-nimang kotak cokelat mahal itu darinya dengna hati masih mengganjal. Enak
banget ya jadi cowok. Kalau habis bikin cewek marah, tinggal datang bawa cokelat, boneka, atau
bunga, dan pasang tatapan innocent ala Shinchan, pasti bakal langsung dimaafin.
angkat kotak cokelat
itu. Aku nggak ngarang, kemarin memang aku dari sana, dan cokelat-cokelat berbungkus emas
ini dipajang di dekat kasir dengan display megah, plus papan yang menuliskan special price-nya.
Albert kayak mau keselek. Tengsin banget kali ye, minta maaf sama ceweknya yang lagi
ngambek kok bawa-bawa cokelat diskonan.
Dasar cowok, harga dirinya setinggi Monas! Ya udahlah, nggak pa-pa. Beli diskonan di
Hypermart pun harganya masih gocap lebih, lumayan menunjukkan niat Albert untuk minta
maaf. Dan kalau dia datang tanpa bawa ini pun, aku pasti bakal maafin. Buatku, yang penting
dia udah niat mau minta maaf dengan tulus.
kok.
Albert langsung sumringah.
Albert nyengir sambil garuk-garuk kepala. Aku nggak bercanda lho, aku memang lebih suka
Apollo Roka, cokelat berbentuk bola dengan kacang buatan lokal, yang harga satu stoples
besarnya (mungkin isi 50 atau 100, aku lupa) sama dengan harga enam biji Ferrero Rocher.
-
Albert mengangguk, lalu mengekorku masuk rumah. Mungkin ini salah satu yang bakal bikin
aku pikir-pikir lagi kalau mau putus sama dia: Mama dan Papa sudah kenal baik, Albert, dan
sayang banget sama dia. Aku malah mikir jangan-jangan kalau Albert ngelamar aku besok pun,
dia bakal diterima. Zaman sekarang, nggak gampang cari cowok yang bisa meluluhkan hati
ortumu.
* * *
Banyak orang bilang aku cantik.
Aku nggak GR atau apa lho, tapi memang begitulah yang sering kudengar.
Dulu, aku sering ngaca dan membatin sendiri, benar nggak sih aku ini cnatik? Dan cermin
memantulkan bayangan wajah oval berkulit putih dengan mata sipit yang cantik, hidung mungil,
dan bibir tipis yang berwarna pink asli, yang sama sekali nggak butuh polesan lipstik. Nggak
jelek, memang.
Waktu year 10, Adisty malah memaksa-maksaku ikut pemilihan model di sebuah majalah
remaja. Jelas aja kutolak menta-mentah. Gimana ya...
ea (kalau dia
mengajakku ikut turnamen bulutangkis, tanpa banyak cincong pasti aku langsung setuju!).
Adisty merengek-rengek waktu itu. Katanya dia juga kepingin ikut, tapi takut kalau nggak ada
temennya. Akhirnya aku ikut juga pemilhan model itu, karena Adisty pasang aksi ngambek
dengan nggak mengajakku bicara selama seminggu. Dasar anak tengil, begitu aku bilang aku
setuju ikut pemilihan bareng dia, dia langsung memelukku seolah aku ini baru pulang dari
Zimbabwe setelah satu dasawarsa.
Aku dan Adisty akhirnya bikin foto untuk syarat pemilihan model itu di studio foto dekat
rumah Adisty. Foto-foto Adisty hasilnya bagus banget, menampakkan wajah sumringah model
iklan odol, sementara wajahku kayak model iklan obat pelancar BAB, sepet, dikombinasikan
dengan meringis. Nggak banget pokoknya! Dan berhubungan bukan aku yang niat untuk ikut
pemilihan itu, akhirnya formulirku pun diisi dengan tulisan tangan Adisty. Dia juga yang niat
mengukur linggar pinggang, dada, dan pinggulku dengan meteran jahit punya neneknya.
Tapi coba tebak, siapa yang berhasil masuk unggulan pemilihan model itu? Eng ing eng...
AKU!
Hebat banget bagaimana mata para juri itu mengalami katarak dadakan sehingga
meloloskanku, sementara Adisty langsung gugur di saringan pertama. Dan percaya nggak
percaya, aku malah berhasil melaju sampai semifinal! Tapi hanya smapai di situ aku langsung
rontok, karena untuk jadi finalis diadakan penjurian face-to-face
kelihatannya langsung menghancurleburkan niat para juri pemilihan model sampul itu untuk
meloloskanku ke babak selanjutnya. Rupanya mereka bisa melihat bayang-bayang kehancuran
majalah mereka di masa depan kalau masih niat memajangku di sampulnya, hehehe... Ditambah
lagi, saat acara unjuk bakat, ketika peserta-peserta lainnya menyanyi, akting, bahkan nekat
melukis dalam waktu singkat untuk para juri itu, aku malah kepingin mendemonstrasikan
kelihaianku melakukan jumping smash. Jelas aja mereka keder. salah-salah nanti kepala mereka
yang kena shuttle cock. Jangan salah, kecepatan jumping smash ada lho yang 300 km/jam.
Walaupun smash-ku mungkin nggak sampai setengahnya.
Jadi yah... begitulah, aku dengan senang hati pulang ke rumah setelah penjurian itu, tahu
pasti bahwa aku nggak akan dihubungi lagi oleh redaksi untuk penjurian selanjutnya. Banyak
yang menyayangkan karena aku membuang-gan terang
terangan menyebutku tolol karena sudah menghilangkan peluang merintis jalan baginya, yang
ingin ikut pemilihan itu tahun depan). Yeah, kesempatan apanya? Kalau ada Susi Susanti
menawariku privat selama sebulan dan peluang ikut seleksi nasional untuk bisa masuk Pelatnas,
itu baru namanya kesempatan!
Tapi yah, setelah acara pemilihan model yang terpaksa kuikuti itu, aku jadi nggak lagi
menatap aneh setiap ada yang bilang aku cantik. Paling-paling aku hanya akan nyengir GR dan
bilang makasih. Bisa sampai babak semifinal pemilihan model sampul majalah remaja paling top
seantero Indonesia jelas membuktikan aku memang nggak jelek-jelek amat.
Thomas & Uber Cup 2008
AKU melonjak-lonjak girang begitu bangun pagi ini. Hari ini, turnamen Thomas dan Uber Cup
2008 bakal dimulai! Yeeeesssss!
For your information nih, Thomas-Uber Cup adalah kejuaraan beregu bulutangkis. Thomas
untuk cowok, Uber untuk cewek. Diselenggarakannya tiap dua tahun sekali, dan kebetulan
tahun ini diadakan di Indonesia! Aku bener-bener excited menyambut turnamen tahun ini.
Soalnya, gengsi Thomas-Uber itu selevel dengan Olimpiade. Of course, aku berniat bakal nonton
langsung di Istora Senayan. Apa gunanya tinggal di Jakarta dan jadi badminton mania kalau aku
melewatkan event kali ini?
Jam satu siang, Papa mengantarku ke halte busway blok M. Aku memang berinisiatif untuk
naik bus Transjakarta dari sini sampai halte Senayan. Soalnya, kasihan Papa kalau harus
mengantarku sampai Istora. Rumahku kan di Bintaro, yang lumayan jauh dari Senayan. Bakal
boros bensin banget, kan? Ingat global warming cuy, lebih baik menggunakan transportasi
umum.
Di halte busway Senayan aku turun, dan ternyata Wilson, Charles, serta Sharleen sudah stand
by di sana. Kami memang janjian ketemu di sini, baru ke Istora bareng-bareng.
Waktu kami sampai di Istora, ternyata suasananya nggak begitu rame. Mungkin karena masih
babak pertama kali ya? Kami beli tiket di loker dan langsung masuk. Partai pertama (tunggal
putri) antara Indonesia dan Jepang bakal dilangsungkan sebentar lagi, antara Maria Kristin
Yulianti dan Eriko Hirose.
Aku duduk di salah satu tribun, dan jumpalitan sendiri selama pertandingan. Aku memang
agak norak kalau nonton bulutangkis, bisa jerit-jerit sendiri. Orang rumah suka rese kalau lihat
aku nonton bulutangkis di TV, karena aku suka tegang dan histeris berlebihan. Kayak terlalu
menghayati, gitu. Tapi sebodo amat, nggak pernah dengar namanya orang nge-fans, ya? Toh aku
nggak pernah protes juga kalau Claudia, adik cewekku yang masih SMP itu, heboh nonton Nidji
di TV. Dan aku juga nggak pernah ngomel kalau Lionel norak nonton Barney, padahal, please
deh, itu kan cuma boneka dinosaurus!
Jadi, mana yang lebih wajar: histeris karena nonton pertandingan olahraga, atau karena
nonton Nidji dan Barney?
Nah, balik lagi ke pertandingan live di hadapanku sekarang. Maria Kristin akhirnya harus
menyerah melawan Jepang. Walaupun dia berhasil merebut game pertama, dia kalah di dua game
selanjutnya. Aku lesu, tapi tetap optimis Indonesia bakal bisa merebut partai berikutnya.
Hmm, kujelaskan sedikit lagi. Di babak penyisihan Uber Cup ini akan ada lima partai yang
dipertandingkan antar dua negara. Pertama, tunggal putri, lalu ganda putri, terus tunggal lagi,
ganda lagi, dan terakhir tunggal lagi (untuk Thomas Cup sama, hanya saja yang main cowok).
Yang berhasil merebut tiga partai duluan, dia yang menang. Tapi biasanya untuk penyisihan
akan dimainkan sampai habis lima partai. Kalau sudah sistem gugur, seperti babak perempat
final, semifinal, dan final, pertandingan diakhiri kalau ada tim yang sudah merebut tiga partai
duluan, jadi kalau sudah ada yang kedudukannya 3-0 atau 3-1, ya partai berikutnya nggak usah
dimainkan lagi, karena sudah jelas siapa yang melaju ke babak berikutnya, kan?
Sekarang partai kedua, ganda putri. Indonesia menurunkan Vita Marissa/Lilyana Natsir. Asal
tahu aja, kedua orang ini sebenarnya bukan pemain ganda putri, tapi ganda campuran. Dan
bukan ganda campuran ecek-ecek juga. Vita bersama Flandy Limpele ada di peringkat tiga dunia.
Lilyana jangan ditanya, dia berhasil menduduki posisi puncak bersama Nova Widianto. Hanya
saja, aku nggak tahu kenapa tiba-tiba dua pemain cewek ganda campuran ini dipasangkan jadi
ganda putri. Kesannya kayak coba-coba banget, gitu. Tapi kalau aku nggak salah, mereka justru
berhasil meraih juara di China Open tahun lalu! Weits, baru dipasangkan, tahu-tahu juara. Siapa
yang nggak kagum?
Sudah menjadi rahasia umum, prestasi pebulutangkis putri Indonesia sangat jeblok
belakangan ini. Di Olimpiade 2004, kita bahkan nggak mengirimkan wakil di sektor putri sama
sekali. Aku miris banget waktu melihatnya, karena seolah kita sudah nggak punya harapan lagi
dari sektor putri sejak pensiunnya Susi Susanti dan hijrahnya Mia Audina ke Belanda.
Tapi untunglah, tim Uber Indonesia bisa lolos ke putaran final kali ini. Kayaknya mereka
memang nggak ditarget terlalu tinggi. Mungkin berhasil sampai perempat final pun sudah bagus.
Ya iyalah, secara tahun 2006 kita bahkan nggak lolos kualifikasi! Jadi kali ini berhasil masuk
penyisihan pun udah lumayan.
Aku dan Sharleen bengong-bengong tegang sewaktu melihat Vita/Lilyana melawan Satoko
Suetsuna/Miyuki Maeda. Buset, mereka memang layak banget menjuarai China Open tahun
lalu. Permainan mereka keren banget, defense-nya bak tembok, dan smash-smash-nya,
omaigaatttt... are they really women? Tenaga mereka kayak mesin giling!
Dan tiba-tiba aku seperti tersadar... Pak Richard waktu itu benar. Aku memang mengalahkan
Sharleen, Wilson, dan Charles, tapi semua seranganku penuh emosi, gara-gara aku lagi kesal
sama Albert. Sedangkan sejuta serangan yang dilancarkan Vita/Lilyana sangat terkontrol.
Kelihatan sekali mereka pebulutangkis profesional, mainnya nggak pakai emosi, tapi pakai otak.
Mendadak, aku jadi merasa bersalah banget, sudah membantah Pak Richard waktu itu.
* * *
-
lonjak riang di sebelahku saat kami keluar dari Istora. Indonesia baru saja mengganyang Jepang
4-1, skor yang nggak pernah kuduga sebelumnya.
aja mungkin nggak bisa jumping smash kayak mereka. Badannya pada kecil mungil, tapi mainnya
-geleng kepala.
-
tapi, pada laper nggak sih? Gue terakhir makan pas istirahat tadi siang di kantin. Perut gue udah
Aku tertawa. Dasar si Raket, suka nggak nyambung. Orang lagi ngebahas pertandingan, kok
dia malah tiba-tiba ngebahas makan.
Char
Aku memang lagi senang banget karena tim Uber Indonesia bisa menang. Memang baru
babak penyisihan pertama, tapi rasanya sudah kayak juara aja. Tim bulutangkis cewek Indonesia,
yang selama ini diremehkan, dipandang sebelah mata, berhasil melindas Jepang 4-1. Nyaris 5-0!
Jadi kupikir, bagus juga kalau rasa senangku itu kulampiaskan dengan mentraktir temantemanku.
Wow, aku bisa melihat dengan jelas jakun Wilson dan Charles yang bergerak sewaktu mereka
menelan ludah. Dan aku juga jadi merasa bego... Aku tadi bilang mau nraktir Duck King?
Nggak salah nih?
-
Aku cuma bisa cengar-cengir bego mendengarnya.
* * *
Kami akhirnya makan mi ayam di salah satu gerobak PKL yang berjualan di sekitar Istora. Kalau
lagi ada event gini, memang PKL langsung menjamur. Jeli banget melihat peluang, tahu bakal
ada anak-anak SMA macam kami yang keroncongan setelah histeris selama menonton
pertandingan.
-elus perutnya. Dia baru
menghabiskan dua porsi, katanya mumpung ditraktir. Dasar nggak mau rugi.
menyendok
kuah bumbu mi ayam itu sampai tetes terakhir.
Bang Joko deh...
ora tuku, alias gratis! ora tuku, alias gratis!
menatapnya sambil melongo. Garing banget si Charles!
Sambil menunggu Charles menyelesaikan makannya (dia paling bontot kelarnya karena
kebanyakan ngoceh dari tadi), aku, Sharleen, dan Wilson membahas pertandingan tadi lagi.
Kayaknya emang nggak ada habisnya, sekaligus mengejutkan. Aku sampai sekarang masih belum
percaya Indonesia menang dengan skor besar.
Saat kami asyik ngobrolin pertandingan tadi, seorang cewek datang dan duduk di sebelahku.
Dia memesan mi ayam pada abang penjualnya, lalu sibuk mengamat-amati display kameranya.
Aku nggak tahan untuk nggak mengintip sedikit. Wow, kameranya canggih! Ada lensa
panjangnya. Apa sih namanya itu? DSLR, ya? Gile, itu kan bukan kamera buat mainan! Refleks,
aku meraba digicam Sony DSC-T200 yang ada dalam tasku, yang hanya kupakai buat foto-foto
narsis, jelas nggak bisa dibandingkan dengan kamera yang dipegang cewek itu.
Karena penasaran seperti apa hasil foto yang diambil oleh kamera canggih macam itu, aku
terus menjulurkan leher. Mungkin sudah persis ibu-ibu tukang gosip yang mengintip dari balik
pagar pembatas rumah tetangganya.
Wah, gila! Foto-fotonya keren! Ada Maria Kristin saat hendak serve, Jo Novita yang sedang
jumping smash, Pia Zebadiah...
Aku langsung melonjak kaget, seolah berada dalam film kungfu mandarin zaman baheula,
dan ada penekar yang baru membebaskan totokan di tubuhku. Cewek itu menatapku penuh
selidik, mungkin juga merasa nggak nyaman.
foto lo keren-
-pa kok. Thanks anyway, udah
genggamannya dengan sayang.
-jangan
dia... nyolong?
Shuttlers
mengulurkan tangannya.
-benar ngawur. Dia ini wartawan,
-temanku satu per satu. Shendy
melambai sedikit, menyapa mereka. Semua temanku membalas dengan senyum.
More than food.
August Rush... kata-katanya Freddie Highmore di film itu... gue August Rush... kata-katanya Freddie Highmore di film itu... gue
menggaruk kepalaku dengan wajah bodoh.
August Rush -
-pa,
kan? Habis ini gue harus ngeliput lagi soaln
Shendy mulai makan, tapi juga sambil mengajakku ngobrol. Wilson, Charles, dan Sharleen,
karena duduknya agak jauhan, jadi ngobrol sendiri waktu aku ngobrol sama Shendy.
-
Shendy terdiam sebentar, lalu manggut-manggut dan menyuapkan mi ke mulutnya lagi.
Second one
banget nonton bulutangkis live, tapi mahasiswi bokek kayak gue bisa makin bangkrut kalau
nekat nonton setiap pertandingan dengan beli tiket. Lo tahu sendirilah tiket turnamen sekarang
nyengir Shuttlers. Kenalnya pas
nonton turnamen juga. Dan pas ngomong bulutangkis ternyata nyambung. Dia bilang
pengetahuan gue lumayan, dan kebetulan majalah dia lagi nyari wartawan part-time juga. Dia
nyuruh gue ngirim contoh tulisan, gue coba... eh keterima! Lumayan, kalau wartawan kan selalu
dapet ID card pas turnamen-turnamen begini, jadi gue nggak perlu beli karcis penonton lagi,
Aku mendengar penjelasan Shendy dengan terpesona, dan pandanganku jatuh pada ID card
untuk awak media yang tergantung di lehernya. Wow, asik juga ya... nggak perlu keluar duit,
dibayar untuk bekerja di bidang yang disukainya, dan bakal punya akses ke player area pula. Cool
banget!
Shendy melirik jam tangannya, dan terkaget-kaget sendiri.
Nice to meet you!
Cewek itu membayar makanannya, melambai pada aku dan tiga temanku, lalu berlari kembali ke
gedung Istora. Ransel hitamnya yang besar bergoyang di punggungnya saat dia berlari.
Hmm... jadi wartawan part-time kayaknya asyik banget.
* * *
Sebenarnya aku kepingin melanjutkan nonton Thomas Cup di Istora malam harinya, yang
digelar setelah pertandingan uber Cup, tapi jerat otoriterisme bernama sekolah menahanku.
Besok aku ada ulangan fisika, sh*t! Alhasil, aku terpaksa menyeret diriku pulang dan nonton dari
TV doang, sambil belajar fisika pula! Nggak asyik banget, karena aku membayangkan di Istora
pasti jauh lebih seru dibanding di ruang keluargaku, yang penghuninya selain aku cuma Claudia,
Lio, dan Sus Ita, babysitter yang bertugas mengurus Lio.
Ditambah lagi, Claudia bawel mulu dari tadi.
Indonesia p
Aku mengalihkan pandanganku dari layar TV, yang menayangkan pertandingan Thomas
Cup antara Indonesia vs Thailand, untuk menatap Claudia dengan sengit.
game pertama! Partai pertama! Masih ada empat partai
Aku cemberut. Enak aja ini anak bikin prediksi kelas teri!
soft starter! Dia emang suka lambat di awal, tapi
lihat aja di game
at bulu
ayam ditepok-
whatever lah ya, yang penting gue bosen nontonnya. Lo norak lagi, di depan TV aja
Claudia melakukan manuver kilat untuk merebut remote yang kupegang, tapi ternyata terbiasa
main bulutangkis memberiku gerak refleks yang sempurna. Remote itu sudah berada di balik
punggungku sebelum Claudia sempat merebutnya.
posisinya
nggak menguntungkan, karena pantatnya malas beranjak dari sofa tempatnya duduk. Alhasil, dia
setengah nungging setengah meregangkan tubuh, untuk merebut remote dariku.
ricuhan ini.
Kecil-kecil sudah mempraktikkan peribahasa memancing di air keruh! (Lagian mana ada Barney
tayang jam segini!)
Claudia akhirnya mengejar-ngejarku keliling ruang tamu untuk memperebutkan remote.
Hebat, kami serasa flashback ke sepuluh tahun lalu, saat kami masih demen rebutan baju Barbie
yang paling bagus, dan selalu kejar-kejaran setiap yang satu berhasil mendapatkan yang
diinginkan pihak lain.
SMS SMS...
HP Claudia berbunyi, menandakan SMS masuk. Aku menghela napas lega, dan menjatuhkan
diriku di sofa. Lumayan, break kejar-kejaran sebentar. Lagi-lagi, terbiasa main bulutangkis
memberiku keuntungan fisik. Napasku masih tetap stabil, sementara Claudia membaca SMS di
HP-nya dengan napas yang sudah Senin-Kamis.
infotainment RCTI! Siniin remote-nya, Aya! Siniin!
Claudia melempar HP-nya begitu saja ke sofa, dan kembali mengejarku untuk merebut
remote. Sayang, injeksi dari teman Nidjiholic-nya yang memberitahukan ada Nidji di RCTI
ternyata sanggup membuat Claudia makin brutal untuk merebut remote. Dia berhasil menyamai
kecepatanku berlari sampai akhirnya berhasil merebut remote. Tapi ketika dia mengganti channel
ke RCTI, acara infotainment-nya sudah habis.
Claudia melempar remote TV kembali padaku, dan aku dengan girang mengganti kembali ke
Trans TV, yang menayangkan Thomas Cup.
Tapi ternyata... pertandingan Sony vs Bonsak Ponsana pun sudah selesai. Dan Sony kalah.
an kesempatan itu untuk
balas dendam padaku. Sialaaaannn!
* * *
Tim Thomas Indonesia akhirnya memang menang melawan Thailand, tapi skornya hanya 3-2.
Mmm... skor yang kurang memuaskan, karena di atas kertas, tim Thomas Indonesia seharusnya
bisa mengatasi Thailand tanpa kesulitan. Untung aja Simon Santoso menang di partai terakhir,
kalau nggak... malu deh Indonesia, bertanding di kandang sendiri kok malah keok.
Memang sih, kalau kalah nggak akan langsung gugur, karena ini masih babak penyisihan
grup. Tapi tetap aja kekalahan itu bakal memalukan banget, apalagi untuk tim yang
menargetkan merebut Thomas Cup tahun ini.
Walau Badai Menghadang
dan Bu Irma hengkang dari kelas. Asal kalian tahu ya, aku mengerjakan ulanganku tadi dengan
ngawur total, karena setelah nonton Thomas Cup di TV kemarin, aku sama sekali nggak minat
belajar, terus berniat leha-leha sebentar, tapi akhirnya malah ketiduran sampai pagi. Begitu
bangun, aku langsung tergopoh-gopoh belajar. Tapi apa yang bisa masuk ke otak manusia yang
bahkan nyawanya baru terkumpul separo???
dulu, mandi sa
-garuk kepala. Wanda pacar
Charles, dan jelas aku nggak mungkin memaksa Charles tetap ke Istora saat dia kepingin
menghabiskan waktu sama pacarnya.
Dan mendadak, seolah punya radar dalam telinganya yang membuatnya muncul setiap kali
Charles.
namanya disebut, Wilson sudah berdiri di belakangku.
rumah. Di kamar gue,
Wilson langsung memelototinya dengan jenis tatapan bego-kata-kata-gue-tadi-kan-bukandalam-
artian-sebenarnya.
Aku juga nggak pernah masuk ke kamar Wilson. Jangan salah, masuk ke kamar Albert aja aku
nggak pernah. Karena umumnya kalau ada tugas kelompok di kelasku, acara kerja kelompok itu
pasti diadakan di rumah anggota cewek, dan selalu di tempat
atau ruang keluarga, untuk meminimalisasi kemungkinan kamu melihat barang-barang pribadi
temanmu yang sebenarnya tak ingin kaulihat, seperti kaus-kaus kaki bekas pakai berserakan
(untuk cowok), atau tumpukan rapi underwear di atas pakaian yang baru disetrika tapi belum
dimasukkan ke lemari (untuk cewek).
Charles
memberikan bantuan untuk memacu daya imajinasi Sharleen. Dari caranya bilang begitu,
kayaknya Charles sering melihat kaus-kaus kaki berserakan di kamar Wilson.
Tapi Wilson rupanya nggak merasa terbantu, soalnya dia langsung memelototi Charles. Kali
ini dengan jenis tatapan nggak-usah-segitunya-kaleee!
menginterupsi Charles dan Sharleen yang makin error
Aku dan Sharleen cuma bisa manggut-manggut. Berarti hari ini bakal kurang seru dong,
karena jumlah tim hura-hura berkurang sampai separonya. Mungkin aku harus mengajak satu
orang lagi, biar rame sedikit. Dan saat itu Adisty masuk kelas, baru kembali dari acara ngabur
kilatnya ke kantin. Aku jelas nggak membuang-buang kesempatan.
kalau gue sama Sharleen doang, ntar nggak
melancarkan rayuan.
Adisty kontan menggeleng, kayak aku baru menawarinya ikut ekspedisi ke lembah Kongo aja.
-bising gitu. Lagian gue nggak
ngerti bulutangkis sama sekali. Ntar yang ada gue malah bersorak waktu lawan yang dapat
Dari ekor mataku, aku bisa melihat Sharleen menahan tawa gelinya. Aneh memang, aku yang
badminton freak bisa bersahabat dengan Adisty yang, bisa dibilang, buta bulutangkis, tapi itulah
yang terjadi. Untuk urusan bulutangkis, aku memang nyaris nggak pernah melibatkan Adisty.
Sama seperti dia yang nggak pernah melibatkan aku dalam hobinya nonton konser musik jazz,
yang memang nggak begitu kusukai. Istilahnya mungkin kami berdua ini sudah saling
pengertian. Yaiiyy, caraku mengatakannya seolah kami in pasutri saja!
Tapi kali ini kasusnya berbeda. Mana asyik ke Istora kalau cuma berdua? Memang sih, di sana
bakal banyak suporter, tapi kan lebih asyik kalau kita juga bawa banyak teman.
merengek-rengek ke lo sama Sharleen biar kita cepetan cabut, padahal lo berdua mana mau
Aku terpaksa mengakui, Adisty benar. Ini sama saja dia menawariku ikut nonton JakJazz
bersamanya, tapi mungkin di tengah penampilan Syaharani aku bakal merayunya (Adisty
maksudku, bukan Syaharani) untuk ngabur secepatnya dari situ, karena aku sama sekali nggak
ngerti dan nggak bisa menikmati musik jazz.
Bukannya aku bilang jazz itu jelek atau apa lho ya. Ini hanya... tahu kan, masalah selera.
nggak pa-
* * *
Hari ini, tim Uber Indonesia dapat giliran main lagi. Lawan mereka lebih berat, tim Belanda.
Aku sudah semangat membayangkan Maria Kristin bakal melawan Yao Jie, tunggal pertama
Belanda yang sebenarnya adalah pemain kelahiran China. Yah, bukan rahasia umum memang,
banyak pebulutangkis China yang akhirnya hijrah dan bermain untuk negara lain, karena di
negaranya sendiri persaingannya sangat ketat. Kalau nggak benar-benar bagus, bakal tergusur
oleh pemain-pemain muda yang memang stoknya sangat melimpah. Kasusnya kurang-lebih sama
dengan di Indonesia, banyak pemain yang akhirnya jadi pemain atau pelatih di luar negeri, mulai
dari Singapura, Hong Kong, Malaysia, sampai Belanda. Yang paling membuatku prihatin adalah
waktu Rexy Mainaky, yang dulu bersama Ricky Subagdja berhasil membuatku jatuh cinta pada
bulutangkis, akhirnya pindah ke Malaysia untuk jadi pelatih di sana. Dampaknya, sekarang
Malaysia punya banyak banget ganda putra yang bagus, tentu saja hasil didikan Rexy. Bukannya
di Indonesia para ganda putranya jelek-jelek lho ya (mereka ganteng-ganteng kok... eh,
maksudku bagus-
negara yang hilang, diambil negara lain. Kayak Pulau Sipadan dan Ligitan, huh!
Nah, cukup untuk curcol alias curhat colonganku. Aku dan Sharleen akhirnya sampai di
Istora, tepat sebelum partai pertama Indonesia vs Belanda dimulai. Tapi ternyata lawan yang
bakal dihadapi Maria Kristin bukan Yao Jie, melainkan Rachel Van Chutsen. Hmm... pemain
yang belum terlalu terkenal. Aku optimis Maria bakal menang.
Dan benar saja, Maria menang mudah. Straight set, lagi. Aku dan Sharleen langsung heboh.
Kalau tim Uber Indonesia bisa bermain seperti waktu menghadapi Jepang, bakal menang lagi
nih. Paling nggak 3-2 lah.
Waktu aku dan Sharleen masih heboh bersorak, ada yang mencolek punggungku. Sialan, di
Istora ada oom-oom hidung belang juga?!
Aku menoleh, sudah siap dengan semprotan makian di mulutku, tapi langsung tutup mulut
dan meringis malu begitu mendapati yang mencolekku tadi ternyata Pak Richard, pelatihku.
-
Jelas, aku dan Sharleen nggak menolak. Kan kami memang lagi butuh tambahan anggota tim
penggembira. Lagian, kalau sama Pak Richard bakal asyik banget deh. Sambil nonton, bisa
sekalian dapat ilmu, soalnya Pak Richard suka sekalian membahas pertandingan yang
berlangsung. Serasa kita dapat komentator pribadi gitu.
tunggal terbaik Belanda.
Aku manggut-manggut, dan teringat sesuatu.
Aku melongo. Kentut???
da gas yang keluar dari
tubuhku. Dan aku nggak merasa kentut!
Richard cengengesan. Aku langsung paham maksudnya. Siaul, pelatih satu ini ternyata iseng
juga.
Bapak! Ya nggaklah, Pak! Nggak bonafide banget saya. Masa kentut di event
internasional kayak Thomas--pura cemberut. Sharleen jelas, sudah
terbahak-bahak.
menang lawan yang lainnya, tapi pukulanbata.
Memang nggak gampang mengakui kesalahan. Sorry seems to be the hardest word.
-
Aku menceritakan soal Vita Marissa dan Lilyana Natsir yang kulihat melawan pemain Jepang
waktu itu. Tentang bagaimana mereka bisa mengontrol diri untuk nggak main pakai emosi.
-pa, Fraya. Lupakan saja. Kan memang sudah tugas Bapak sebagai pelatih
gsung plong.
Aku dan Sharleen serempak melongo melihat Pak Richard yang ternyata jauh lebih heboh
dibanding kami berdua. Ya ampun, pelatihku ternyata norak juga.
* * *
Indonesia menang lagi. Dan kali ini sapu bersih, 5-0! Aku benar-benar girang, kayak orang
menang lotre. Yes, kami masuk perempat final dengan status juara grup! Yang berarti lusa bakal
menghadapi Hong Kong. Aaahh... nggak sabar rasanya. Kepingin cepat-cepat menonton aksi tim
Uber Indonesia yang mendadak berubah jadi superior!
Aku dan Sharleen berniat cari makan lagi di luar Istora. Sharleen ngebet kepingin mi ayam
yang kemarin lagi. Enak banget katanya. Aku nggak doyan-doyan amat sih, tapi nggak pa-pa lah,
biar kutemani Sharleen memuaskan ngidamnya. Sayang Pak Richard harus buru-buru pulang
setelah pertandingan selesai tadi. Dia bilang harus jemput istrinya. Jadi, aku dan Sharleen tinggal
berdua lagi.
Waktu sampai di gerobak mi ayam yang kemarin, aku melongo. Ada Shendy, wartawan
majalah yang kemarin itu lagi. Wah, ternyata dia sama kayak Sharleen, kepincut mi ayam ini
juga.
upa. Nama lo langka
Aku nyengir. Memang dari dulu aku menyadari namaku nggak banyak yang punya. Seneng
aja gitu, nggak banyak yang ngembarin. Kan nggak lucu kalau ada kejadian kayak di kelas XII
sama-sama Melisa. Jadi kalau dipanggil
IPA-3 di sekolahku, ada tiga cewek yang namanya
-tiganya. Bukannya aku bilang nama Melisa itu kodian lho, tapi tahu
kan, contoh kasus aja.
Sharleen duduk lalu memesan mi ayam pada penjualnya.
Wah, ternyata beneran dia ingat naam semua temanku. Cuma naamku yang susah masuk ke
otaknya.
-
Sharleen.
Shendy ber-ooo ria.
-
karena melihat kamera canggih Shendy
Shendy lalu menunjukkan hasil jepretannya ke aku dan Sharleen. Wow, harus diakui dia
ternyata memang kompeten untuk jadi wartawan merangkap fotografer. Hasil jepretannya
bagus-bagus semua. Aku nggak ngerti gimana caranya dia bisa dapat hasil foto yang bagus gitu,
padahal kan objeknya bergerak terus, dan jelas bukan dengan slow motion.
--cengir kesenangan.
HP-ku mendadak bunyi, ada telepon masuk. Aku melihat layar, dan ternyata yang muncul
nama Albert.
Hmm, biarpun pacaran, aku sama Albert memang sama-sama nggak punya panggilan sayang.
Kayaknya lebih enak aja manggil nama masing-masing gitu. Kedengarannya aneh ya? Soalnya
setahuku sih banyak temanku yang saling panggil babe, honey, sayang, atau sebangsanya itu
dengan pacar masing-masing. Tapi biar deh, mungkin memang aku dan Albert aja yang nggak
romantis.
-kemarin, aku nonton Thomas-
Albert diam, tapi aku bisa mendengar dia mendesah.
Aku memutar bola mataku. Mulai lagi dia. Padhaal baru kemarin aku maafin, kenapa
sekarang dia cari gara-gara lagi? Kok dia nggak ngerti juga sih aku ini cinta mati sama
bulutangkis?
mungkin dong aku nyia-nyiain kesempatan untuk nonton live
Bukannya aku mau bikin dia kesal, tapi aku cuma kepingin dia bisa memosisikan dirinya sebagai
aku.
Albert diam lagi. Mungkin dia nggak bisa menjawab pertanyaanku.
-
Dan aku langsung memutuskan sambungan. Nanti kalau sudah sampai rumah, aku harus
telepon dia, katanya? Yang bener aja! Cuma untuk mendengar dia mengeluh dan ngomel lagi
soal kegilaanku pada bulutangkis? Nggak deh, makasih banyak.
menguping. Hmm, kayaknya cewek ini nggak cuma pantas jadi wartawan, jadi detektif juga dia
cocok.
--
melewatkan hari-
melewatkan kesempatan nonton Thomas-Uber Cup yang digelar di negara sendiri/ Yang bener
terus beranggapan seharusnya gue ikut ekskul cheers, biar bisa cocok sama dia... Tapi mana
mungkinlah gue ikutan cheers
Shendy manggut-manggut, setuju dengan sepenuh hati. Tapi aku sendiri malah jadi bingung,
kok aku bisa-bisanya curhat soal cowokku ke wartawan yang bisa dibilang, nggak kukenal? Yang
ketemu pun baru dua kali. Nggak biasanya aku ember begini.
basket atau cheers
Aku cuma bisa tersenyum kecut. Mana tahu Albert tentang itu?
Dan mana dia peduli?
* * *
Sehabis makan mi ayam, aku dan Sharleen masuk lagi ke Istora untuk nonton pertandingan tim
Thomas. Dan kami menyaksikan sendiri gimana tim Thomas Indonesia berhasil menyingkirkan
keraguan publik (setelah kemenangan yang kurang mengesankan atas Thailand) dengan
menggasak Jerman 5-0.
Seneng banget rasanya hari ini, tim Thomas-Uber Indonesia sama-sama menang dengan skor
sapu bersih. Kalau aja kegiranganku hari ini nggak dirusak oleh sikap konyol Albert di telepon
tadi siang. Aku benar-benar jengkel sama dia. Sepulang dari Istora pun aku memutuskan nggak
akan menelepon dia. Biarin aja, daripada dengerin dia ngomel lagi. Besok kalau dia tanya, aku
bakal bilang aku tepar sepulang dari Istora, dan satu-satunya yang sanggup kulakukan hanya
tidur. Nggak punya tenaga lagi untuk telepon dia.
Lagian, besok baik timThomas maupun Uber Indonesia nggak ada jadwal bertanding. Duaduanya
lolos dengan status juara grup, yang berarti baru akan bertanding lagi di perempat final
hari Rabu. Besok cuma ada jadwal playoff antartim yang nggak jadi juara grup.
Sebenarnya kepingin juga nonton tim-tim asing itu bertanding, tapi biarin deh... Besok aku
ikhlaskan aja nggak nonton, buat jaga-jaga biar Albert nggak terlalu senewen karena aku setiap
hari nongkrong di Istora. Dan biar aku lebih gampang juga untuk minta izin nonton perempat
final hari Rabu nanti. Kan aku nanti bisa kasih alasan kan-kemarin-aku-udah-nggak-nonton ke
dia. Asyiikk!
Sori, Al, tapi aku kan sudah pernah bilang, kamu cuma pacar keduaku. Pacar pertamaku tetap
bulutangkis.
* * *
Siasatku berjalan mulus. Karena hari Selasa aku bermanis-manis sama Albert, dan bilang bahwa
hari itu aku sudah menuruti omongannya untuk nggak tiap hari datang ke Istora, dia
mengizinkanku untuk nonton perempat final hari Rabu.
Jadi, hari Rabu sepulang sekolah aku ngibrit sendiri ke Istora. Guess what? Tim Uber
Indonesia menang telak 3-0 atas Hong Kong di perempat final, dan dengan demikian berhasil
meraih tiket ke semifinal! YESSSSS!
Hari ini yang paling seru, karena biarpun para sparring partner-ku nggak bisa ikutkan karena
ada acara masing-masing, aku tetap punya teman nonton bareng: Shendy. Heran, jangan-jangan
-Uber Cup. Habisnya, dia stand by terus sih di sana!
Kami sempat tukeran nomor HP juga, dan ternyat adi a memang teman yang asyik banget buat
diajak ngobrol. Apalagi, pengetahuannya soal bulutangkis jauh lebih banyak daripada aku, jadi
aku bisa nanya-nanya kalau ada yang nggak kumengerti.
Dan aku benar-benar nggak menyesal sudah datang ke Istora hari ini, karena tim Thomas
Indonesia juga menang atas Inggris 3-0! Well, pemain-pemain putra Indonesia benar-benar
menunjukkan kualitas mereka hari ini. Sony Dwi Kuncoro masih soft starter, ketinggalan lebih
dulu di set pertama dari Andrew Smith, tapi berhasil membalasnya di set kedua dan ketiga.
Mencuri angka pertama untuk Indonesia.
Dan jelas ganda putra Markis Kido/Hendra Setiawan bukan tandingan Robert Adcock/Robin
Middleton. Mereka menang mudah, 21-12, 21-10. Taufik Hidayat berhasil menyelesaikan
perempat final untuk Indonesia dengan mengalahkan pemain Inggris keturunan India, Rajiv
Ouseph.
Aaaahh... senangnyaaa! Jelas, aku nggak bakal melewatkan pertandingan mahaseru ini besok
dan lusa. Walau badai menghadang, aku bakal tetap datang ke Istora!
langsung rame-langsung rame-
Ayooo Indonesia!
TAPI ternyata yang menghadang niatku untuk nonton di Istora bukan badai.
Bukan juga hujan deras atau aksi mogok para sopir busway yang mengakibatkan aku jadi
nggak punya sarana transportasi ke Istora. Tapi Albert.
Obrolan menjengkelkan ini terjadi tadi pagi, waktu dia menjemputku untuk ke sekolah
bareng.
mengempaskan bokokngku ke jok depan mobilnya. Aku melongo. Nonton dia? Memangnya
Aku makin melongo, nggak ngerti. Nggak tahu ini memang karena Albert yang bicara dalam
bahasa Swahili, atau memang otakku yang lagi perlu di-tune-up.
Kayaknya Albert bisa melihat aku bener-bener lagi lemot, jadi dia memberi penjelasan
cowokku mendadak jadi bintang sinetron, dan sinetronnya bakal ditayangkan sore ini, ya?
Aku memutar otak secepat kubisa, dan langsung mencelos begitu ingat. Aaahh iya! Tim
Albert kan lagi ikut kejuaraan basket antar-SMA yang diadakan SMA Angelos! Aku benar-benar
nggak ingat! Ternyata mereka masuk final... dan finalnya bakal dihelat... sore ini?!
-anak pada mau nonton semua tuh. Nanti pulang sekolah
Aku menelan ludah. Nggak, aku nggak bisa ikut. Ada pertandingan lebih seru yang HARUS
kutonton sore ini. Kalau kulewatkan, mungkin aku bakal menyesal seumur hidup. Kapan lagi
tim Uber Indonesia bisa menjejak semifinal? Dan dengan performa yang luar biasa banget pula
sepanjang penyisihan kemarin.
Mampus. Partai pertama Uber Cup bakal mulai jam enam. Cukup nggak ya waktunya kalau
nonton Albert main dulu?
Aku kayak nggak bisa bernapas lagi. Aduuuh, daerah Kelapa Gading! Mana mungkin aku bisa
menempuh jarak dari sana dan tiba di Istora sebelum jam enam??? Belum lagi kalau Albert
mainnya lama. Belum lagi kalau macet. Belum lagi nanti di Istora pasti penuh sesak, yang datang
belakangan alamat dapat kursi paling belakang!
lbert lagi. Dia ini memang jago banget soal membaca ekspresi orang. Dia
bisa tahu aku mendadak gelisah kayak orang ambeien, padahal dari tadi pandangannya
terkonsentrasi ke jalan!
Adudududuh! Bilang nggak, ya? Albert pasti bakal ngamuk kalau aku bilang mau ke Istora.
Apalagi kalau dia nyadar, itu berarti aku lebih memilih ke Istora dibanding menontonnya berlaga
di final kejuaraan basket antar-SMA. Bisa-bisa dia makin melarangku main atau nonton
bulutangkis! Kan sudah seminggu ini Albert senewen terus karena mendapatiku suka nongkrong
di Istora. Jangan-jangan nanti dia meledak kalau aku bilang nggak mau nonton dia bertanding
-pa. Omong-
* * *
Di kelas, aku berpikir keras. Sampai dahiku sudah berlipit kayak rok! Huhuhu, gimana dong? Ini
bener-bener dilema. Kalau nonton Albert, aku pasti bakal menyesal setengah mati karena nggak
nonton semifinal Uber Cup. Indonesia vs Jerman lho. Pasti bakal seru banget!
Tapi kalau aku nonton ke Istora, Albert bakal marah besar. Dan dia juga bakal semakin nggak
suka sama bulutangkis. Bukannya aku peduli sih, dia kan dari dulu memang nggak suka. Tapi
aku ogah aja kalau dia nantinya jadi melarang-larang aku main atau nonton bulutangkis lagi, dan
semakin memaksakan keinginannya supaya aku masuk tim cheers. Tak usah yeee!
Aku, dan seisi kelasku, mengangkat kepala dari buku kami masing-masing, dan menoleh ke
arah datangnya suara. Itu tadi Meggie, dan dia menunjuk Julia, teman sebangkunya.
Aku berusaha menjulurkan leherku sepanjang mungkin. Julia kelihatannya memang nggak
sehat. Kepalanya menelungkup di atas meja, dan dia gemetar sedikit, mungkin demam.
Bu Ira berjalan mendekati meja Julia, dan meraba dahinya.
ba kamu telepon ke rumah, atau hubungi siapa yang bisa menjemput
Julia mengangguk lagi, dan mengeluarkan HP-nya. Aku bisa mendengar dia menelepon
kakaknya, minta dijemput. Setelah itu, Meggie mengantar Julia ke UKS.
Mendadak, di kepalaku melintas sebuah ide.
* * *
Aku sok menggeletukkan gigiku di depan Albert, dan berusa memeluk diriku sendiri erat-erat.
Gayaku sudah mirip orang demam di iklan obat turun panas di TV.
aku menyimpan jaket di lokerku di sekolah. Sekarang jaket itu bisa kupakai sebagai wardrobe
untuk keperluan akting di depan Albert.
Yeah, gara-gara melihat Julia sakit di kelas tadi, aku jadi punya ide untuk keluar dari masalah
pelikku. Aku bakal pura-pura sakit, dan dengan demikian aku bisa punya alasan untuk nggak
menonton Albert bertanding, tanpa perlu bikin dia ngamuk-ngamuk nggak jelas. Dan setelah
Albert pergi ke tempat bertandingnya tanpa mengajakku karena dia pasti bakal bisa menerima
kalau aku perlu istirahat di rumah aku bakal ngacir ke Istora dan nonton semifinal Uber Cup
di sana! Uhuuuyy!
Nggak ada jalan keluar yang lebih gokil daripada ini!
Yah, memang aku jadi agak nggak enak karena harus ngibulin Albert, tapi gimana ya... Albert
kan sering ikut pertandingan basket, aku bisa menontonnya next time, sementara Uber Cup
hanya dua tahun sekali, dan belum tentu juga diadakan di Indonesia lagi. Aku nggak mungkin
dong melewatkannya gitu aja.
-
Albert merapikan poniku yang menjuntai, dan rasa bersalahku ke dia makin besar. Jadi nggak
adil rasanya sudah bohong ke dia, saat dia memperlakukan aku dengan manis begini.
-
jam dua semalam, gara-gara keasyikan main The Sims Nightlife.
ya malah diterusin. Kamu itu udah kena tifus berapa kali, Aya? Jangan-jangan ini gejala lagi
Aku diam, dan menatap Albert dengan sorot mata innocent. Duh, dia perhatian banget, ya?
Dia tahu banget aku sudah beberapa kali kena tifus karena doyan begadang. Berarti alasan yang
kukarang tepat, Albert pasti percaya aku sakit lagi gara-gara semalam begadang, kan karena
m
Aku menggeleng. Kalau Albert mengantarku pulang, dan dia ketemu Mama di rumah, lalu
dia lapor aku sakit, semua rencanaku bakal gagal total. Boro-boro aku bisa ngabur ke Istora, yang
ada Mama bakal menyuruhku minum obat dan tidur!
Hmm.. aku harus cepat memutar otak.
ah... aku naik taksi aja. Nanti kamu telat tandingnya. Pulang sekolah mau
sama anak-anak langsung ke SMA Angelos, kan? Jauh banget lho dari sini ke Kelapa Gading,
masuk akal untuk jenis alasan yang terpaksa dikarang dalam hitungan detik kalau nggak mau
ketahuan bohong oleh pacar.
Albert diam, berpikir. Wah, alasanku benar-benar merasuk ke otaknya!
Weits, dia ragu-ragu, ini nggak boleh dibiarkan.
-pa kok pulang sendiri. Tinggal naik taksi, duduk, sampai deh di
Wah, gampang banget ternyata ngibulin dia!
Maksudku, iya, aku bakal telepon kamus ebelum aku naik busway ke Istora, hehe... YESSS!
Rencana berhasil, berhasil, horeeee! Kalau nggak ingat aku lagi akting sakit di depan Albert, aku
pasti sudah melompat-lompat meniru Dora the Explorer.
* * *
Aku berhasil sampai di halte Bundaran Senayan tanpa masalah. Albert dan anak-anak setim
baksetnya jelas sudah dalam perjalanan ke SMA Angelos. Aku sudah memastikannya tadi
sebelum berangkat, dengan menelepon Albert dan mengaku-aku aku sudah sampai di rumah
dengan selamat. Dan hebatnya, dia percaya!
Aduh, jadi merasa bersalah lagi. Tapi ya sudahlah, daripada aku menghabiskan sore ini
dengan duduk memandangi bokong para anggota cheerleaders yang melompat-lomopat di
hadapanku untuk menyemangati tim basket, jauh lebih baik aku duduk di dalam Istora,
mendukung tim negaraku yang sedang bertanding.
Aku sudah ganti baju dengan celana selutut dan kaus, yang memang sudah kubawa dari
rumah dan kujejalkan di dalam tas sekolahku. Sharleen, yang hari ini menemaniku nonton, juga
sudah ganti baju. Siap tempur! Charles dan Wilson lagi-lagi nggak bisa ikut, kali ini alasannya
karena harga tiket semifinal udah melonjak sama tingginya dengan harga minyak dunia, dan
hanya bisa didapat dari para calo.
Aku sudah bilang ke Sharleen soal kebohongan yang kusodorkan pada Albert, dan dia bisa
ngerti. Memang nggak enak banget punya pacar yang nggak bisa mengerti hobi kita, kata
Sharleen. Dia juga udah janji bakal tutup mulut. Siplah pokoknya!
Istora hari ini benar-benar meriah. Lautan suporter berebut masuk ke dalam dan mencari
tempat duduk yang paling strategis. Gila juga memang, dengan harga tiket yang sebegini mahal,
tapi antusiasme masyarakat tetap tinggi. Ini jelas membuktikan bulutangkis adalah cabang
olahraga yang paling populer di Indonesia, sekaligus paling berprestasi. Plus, turnamen
bulutangkis nggak pernah bikin rusuh, beda banget dengan pertandingan sepakbola, yang
banyakan rusuhnya (dan berakhir dengan tim Indonesia KALAH) daripada damainya.
Bukannya aku membanding-bandingkan lho ya... tapi kenyataannya emang gitu sih. Kalau
menurutku, mendingan semua orang Indonesia main bulutangkis aja.
Nah, balik ke Istora. Keriuhan penonton hari ini ternyata juga disebabkan fanatisme dadakan
akibat tim Uber Indonesia berhasil menembus semifinal. Sebelumnya, tim cewek kita memang
selalu dipandang sebelah mata. Kalau kalah pun nggak mengejutkan. Tapi, berhubung kali ini
bisa sampai babak semifinal, orang-orang langsung heboh kepingin nonton, dan ingin
membuktikan sendiri apa benar tim Uber Indonesia sedahsyat yang mereka tonton di TV.
Beberapa saat sebelum pertandingan mulai, aku meng-SMS Albert.
To: Albert
Good luck ya, Al, buat finalnya. Aku mau tidur dlu. Ngantuk
bgt nih pengaruh obat. Jgn tlp dlu. Nanti klo udh bangun, aku
sms km ya.
Beres, dengan begini dia nggak bakal menelepon aku. Kan gawat kalau di tengah
pert -DO-NE-backsound.
Kebohonganku bakal langsung terbongkar dong.
Waktu aku selesai SMS Albert, ternyata bertepatan dengan akan dimulainya partai pertama.
Indonesia vs Jerman hari ini akan mempertandingkan Maria Kristin Yulianti dan Xu Huaiwen di
partai pembuka (sama seperti Yao Jie yang sekarang membela Belanda, Xu Huaiwen juga pemain
kelahiran China, tapi kemudian hijrah ke Jerman karena persaingan di negaranya sangat ketat,
dan usianya sudah nggak muda lagi). Xu masuk dalam jajaran tunggal putri dengan peringkat 10
besar dunia, sementara Maria tercecer di bawah peringkat 30. Mungkin pertandingan yang akan
dianggap nggak seimbang, tapi siapa yang bisa memprediksi, dengan suporter tuan rumah
sebanyak ini?
Aku menoleh ke belakang, dan menelan ludah karena melihat semua bangku penonton penuh
terisi. Bahkan sampai bangku paling atas! Dahsyat abis!
sold out
-denger malah calo juga udah nggak punya stok lagi. Banyak tuh penonton yang
masih di luar, nggak kebagian tiket. Katanya udah disiapin giant screen sama panitianya, biar
uslah, panitianya udah well prepared
Satu lagi bukti kemantapan penyelenggaraan untuk turnamen bulutangkis: jumlah tiket yang
dijual memang disesuaikan dengan kapasitas tempatnya. Jadi kalau tiket udah terjual habis, ya
nggak ada lagi penonton yang bisa masuk. Dengan begitu kondisi di tempat bertanding juga
aman, terhindar dari overload yang mungkin bisa menimbulkan kerusuhan. Nggak kayak sepak
bola, kapasitas stadion tiga puluh ribu, eh penonton yang dijejalkan ke dalamnya lima puluh ribu
orang. Pantas aja rusuh melulu.
Hehe, kok aku jadi ngomel soal sepak bola melulu sih?
Aku melongok ke pinggir lapangan yang ditunjuk Sharleen. Benar saja, Maria Kristin, Xu
Huaiwen, wasit, dan para hakim garis sudah siap memasuki lapangan. Waktu Maria berjalan
melewati tribun penonton, hampir semua penonton di deretan terdepan mengulurkan tangan
untuk menyalami sekaligus menyemangatinya. Maria membalas sebisanya, sambil tersenyum.
Aku jadi merinding. Kalau saja dulu Mama ngasih aku izin untuk masuk klub, bisa saja aku
yang ada di posisi Maria sekarang...
Ah, kok jadi ngaco! Perjuangan Maria untuk sampai ke posisi tunggal putri utama Indonesia
pasti bukan hal yang gampang. Dia pasti merintis dari kecil, dari turnamen-turnamen lokal,
future series, international challenge, sampai akhirnya bis asampai ke event besar seperti Uber Cup
begini. Kalaupun aku masuk klub dulu, belum tentu juga aku bisa punya prestasi seperti dia.
Kedua pemain tunggal putri itu mulai melakukan pemanasan, dan akhirnya pertandingan
dimulai.
Xu Huaiwen memang menunjukkan kelasnya sebagai pemain papan atas dunia. Staminanya
gila, padahal setahuku umurnya sudah 34 tahun! Tapi dia bisa mengimbangi Maria yang lebih
mudah sepuluh tahun darinya. Cara mainnya kayak cowok, nggak feminin, dan terus
menyerang. Aku jadi merasa sedikit-
berubah jadi laki--agara gaya permainanku yang terus
menyerang.
Akibat serangan Xu Huaiwen yang terus-menerus, Maria akhirnya harus kalah dua set
langsung. Banyak orang di belakangku yang langsung mendesah kecewa, dan aku jadi jengkel
sendiri. Gimana ya, aku paling kesal kalau saat pertandingan belum selesai, orang sudah keburu
poin terakhir didapat. Dan please deh, ini masih partai pertama, masih ada empat partai lagi gitu
lho! Ditambah lagi, Jerman bukanlah negara yang kuat tradisi bulutangkisnya. Baru belakangan
ini nama mereka terdengar, dan itu pun karena prestasi Xu Huaiwen. Indonesia masih bisa
menang!
Partai kedua bakal digelar sebentar lagi. Kali ini susunannya sedikit beda dengan kemarinkemarin.
Yang biasanya tunggal-ganda-tunggal-ganda-tunggal diubah menjadi tunggal-tunggalganda-
tunggal-ganda, karena tunggal kedua Jerman, Juliane Schenk, bakal main lagi di partai
terakhir. Jadi, giliran mainnya ditukar dengan partai ketiga, biar dia punya lebih banyak waktu
istirahat di antara jeda dua pertandingan yang dilakoninya itu.
Hehe, kasihan banget ya Jerman, stok pemainnya terbatas, sampai merangkap-rangkap gitu.
Indonesia menurunkan Adrianti Firdasari di partai kedua. Dia nggak terkalahkan selama
penyisihan lalu, hebat banget! Aku bener-bener berharap Firda menang, biar Indonesia bisa
menyamakan kedudukan 1-1. Bahaya kalau Jerman sampai unggul 2-0 duluan.
Ternyata aku dan Sharleen akhirnya memang berkali-kali sport jantung! Firda lebih agresif
dibanding Maria, yang lebih mengandalkan penempatan bola. Dan posturnya juga tinggi,
memudahkan untuk menjangkau bola-bola yang sulit. Juliane Schenk kelihatan sedikit repot
untuk membalas Firda, dan akhirnya Firda bisa menang dua set langsung. Horeee... 1-1!
Menjelang partai ketiga, aku jadi kayak orang kumat ambeien lagi. Gelisaaaaahh mulu!
Sekaligus excited, karena yang bakal turun kali ini pemain favoritku, ganda putri Jo
Novita/Greysia Polii. Mereka ini yang disebut-sebut ganda putri superpower sepanjang
penyelenggaraan Uber Cup kali ini. Bukannya apa-apa, tapi mereka memang mainnya dahsyat
banget. Nyaris kayak ganda putra. Smash terus, hajar terus, sikat terus! Padahal postur mereka
mungil-mungil. Cuma sekitar 160 cm, tapi power-nya luar biasa.
Pihak Jerman menurunkan Brigit Overzier dan Kathrin Piotrowski. Banyak banget cowokcowok
yang bersiul sewaktu Brigit memasuki lapangan. Emang cantik banget sih, dan badannya
tinggi semampai. Kalau di Indonesia, aku jamin dia bakal jadi model catwalk top, bukannya jadi
atlet bulutangkis. Catering Wilson ehh... Catherine Wilson lewat deh!
Ternyata hari ini Jo/Greysia kembali menunjukkan tajinya.. Mereka menghajar pasangan
Jerman tanpa ampun dengan smash-smash tajam. Beberapa kali malah aku melihat Brigit dan
Kathrin geleng-geleng kepala, kayaknya bingung sedikit, dari mana pemain-pemain bertubuh
mungil seperti Jo dan Greysia bisa dapat suntikan tenaga untuk mengalahkan mereka yang punya
postur yang, seharusnya, lebih menguntungkan.
Waktu Jo/Greysia menutup pertandingan dengan skor 21-9, 21-13, Istora serasa meledak
-DO-NE-SIA! IN-DO-NE
lapangan sampai menjatuhkan raketnya, sebelum akhirnya berpelukan dengan Jo Novita. Mereka
mungkin masih nggak percaya, sudah membawa Indonesia berbalik unggul 2-1. Tinggal
selangkah lagi untuk ke final!
semangat.
Dia sampai berdiri dan loncat-loncat di tempat.
Aku nggak kalah histeris.
-degan banget! Habis ini yang main Pia Zebadiah, ya? Lawannya siapa?
Aku melongok ke scoreboard di lapangan, yang menampilkan nama Karin Schnaase. Hmm...
nggak pernah dengar. Tapi kalau dia sampai menduduki posisi tunggal putri ketiga Jerman,
pastinya dia bukan pemain asal comot.
Karin Schnaase. Kita optimis ajalah! Dan kalaupun ini nanti jadi 2-2, kita
nyengir semakin lebar. Nama Vita/Lilyana nyaris bisa menjadi jaminan kemenangan kami.
untung banget kita nonton di sini hari ini, Fray. Seru banget! Gue nggak bisa
Sharleen berorasi.
Aku manggut-manggut setuju. Jelas, kalau hari ini aku berakhir dengan menonton Albert, aku
pasti bakal menyesal seumur hidup. Yang di Istora sejuta kali lebih seru. Dan rasanya
nasionalisme merebak di dalam sini, seolah kami sudah bertanding di final yang sebenarnya.
Aku dan Sharleen terpaksa cooling down dulu karena partai keempat bakal dimainkan. Pia
Zebadiah sudah bersiap di player arena, dan teriakan-teriakan suporter masih tetap membuat
kupingku pekak. Ini bakal seru banget!
Dan bisa dibilang aku sekali lagi iri melihat Pia yang memasuki lapangan. Dia masih 19
tahun, cuma setahun di atasku, tapi bisa membela nama Indonesia di ajang bergengsi kayak gini.
Sementara aku? Cuma jagoan sekolah doang, jago kandang...
Game pertama sudah dimainkan, dan dalam waktu singkat sudah terlihat di depan mataku,
kualitas Karin ternyata masih di bawah Pia! Sering Karin melakukan kesalahan sendiri, entah itu
karena pengembaliannya nyangkut di net atau kontrol bolanya nggak akurat. Dia melepas bola
Pia karena mengira pukulan itu keluar, padahal masuk. Dan serangan-serangannya pun nggak
hebat, biasa saja. Pia makin merajalela. Orang-orang di belakangku, yang tadinya ngomel dan
-pasti--bakal-ke-
Waktu akhirnya Karin gagal mengembalikan bola Pia dalam kedudukan 16-20 di game kedua,
aku langsung loncat dari bangkuku dan teriak sekeras-kerasnya. Sharleen nggak kalah heboh, dia
malah memelukku kuat-kuat, seolah kamilah yang baru selesai bertanding dan menang.
Aku menoleh ke lapangan, dan ternyata semua pemain, pelatih, dan ofisial tim Uber
Indonesia sudah menghambur masuk ke lapangan. Greysia Polii malah menggendong Pia di atas
punggungnya, sementara yang lain bersorak-sorak. Sewaktu Greysia menurunkan Pia, ganti dia
yang digendong salah satu ofisial, dan diarak nyaris keliling lapangan! Beberapa pemain
membawa bendera Merah Putih, dan mengibar-ngibarkannya dengan penuh sukacita. Aku
sampai merinding melihatnya. Astaga, kami benar-benar masuk final! Kami punya peluang
untuk merebut kembali Piala Uber yang sudah lepas bertahun-tahun itu.
Vita Marissa dan Lilyana Natsir, yang rencananya bakal diturunkan di partai terakhir, tapi
nggak perlu lagi karena kami sudah merebut tiga partai, juga menghambur ke lapangan, dan
mengibar-ngibarkan bendera Indonesia. Greysia, aku baru memperhatikan, ternyata juga sudah
mencoret-coret pipinya dengan warna merah dan putih. Dia juga memasang bendera di
punggungnya seperti jubah Superman, dan menarik sedikit ujung bendera itu ke depan untuk
menciumnya.
Ya Tuhan.... yang bisa menandingi perasaanku saat ini cuma perasaan kagum dan bangga saat
Ricky dan Rexy merebut emas Olimpiade Atlanta 12 tahun lalu....
* * *
Dalam perjalanan pulang pun aku serasa masih mendengar segala pekik dan seruan histeris di
Istora tadi dalam kepalaku. Efek pertandingan tadi benar-benar dahsyat, dan potongan-potongan
pertandingannya pun seperti film yang diputar tanpa henti di depan mataku. Bagaimana Jo
Novita yang kecil mungil meloncat seolah bakal melakukan jumping smash, tapi ternyata dia
hanya melakukan dropshot. Pemain Jerman mati langkah, kecele. Bagaimana Firdasari
mengepalkan tangannya setelah berhasil mengalahkan Juliane Schenk. Bagaimana semau pemain
dan ofisial menghambur ke lapangan setelah Pia Zebadiah menang, seakan-akan kami sudah
menang di final.
Rasanya kalau nanti tim Uber Indonesia kalah di final sekalipun, aku tetap akan menganggap
mereka juara. Nggak gampang tampil di depan pendukung sendiri dengan ekspektasi yang
rendah, tapi akhirnya bisa membalikkan keadaan saat kita menang. Mungkin pemain-pemain
putri Indonesia sudah diperbaiki bukan cuma dari segi teknik bertandingnya, tapi juga dari segi
mental. Soalnya setahuku, sebelum ini pemain-pemain putri Indonesia suka drop duluan kalau
lawan yang mereka hadapi di atas kertas lebih kuat. Apalagi kalau lawannya pemain China,
waaahh... jangan ditanya. Kalau bisa ngibrit pun mungkin mereka bakal ngibrit. Tapis ekarang
semuanya berbeda... tim Uber Indonesia hebat!
* * *
-Claudia nyolot begitu melihatku muncul di
meja makan dengan wajah sumringah. Aku memang masih senang banget karena keberhasilan
tim Uber Indonesia maju ke final kemarin. Sampai pagi ini pun efek euforianya masih ada.
Dasar, kalau aku nggak lagi senang, udah kutoyor kepalanya!
baw
Claudia mati kutu mendengar ancamanku. Aku tertawa dalam hati. Tahu rasa!
Claudia nyengir dengan watados alias wajah tanpa dosa. Tapi biar deh, dengan situasi begini
aku jadi nggak perlu cerita kenapa aku riang gembira pagi ini. Kan bahaya kalau dia tanpa sadar
cerita ke Albert. Bisa terbongkar rahasiaku!
* * *
Sesampainya di sekolah, aku langsung menghambur mencari Sharleen di kelasnya. Masih
kepingin membahas pertandingan kemarin, sekaligus mengatur rencana untuk nonton semifinal
Thomas Cup nanti sore antara Indonesia vs Korea. Weits, jelas nggak boleh terlewatkan! Sayang
banget, Charles dan Wilson lagi-lagi harus absen karena masalah harga tiket. Untuuuuuung aja
aku dan Sharleen sudah menabung dari jauh-jauh hari untuk event ini, jadi kami memang sudah
nyiapin dana buat beli tiket yang harganya sudah kami perkirakan bakal melonjak itu. Gitu deh
kalau orang sudah cinta. Ngg... maksudku, aku dan Sharleen cinta pada bulutangkis, bkannya
aku dan Sharleen saling cinta. Ihh, yang bener aja.
Aku melongok ke dalam kelas XII IPA-4, dan ternyata Sharleen sudah datang. Dia lagi sibuk
komat-kamit di bangkunya.
menyuruhku duduk di sebelahnya.
buku fisika teronggok membuka di depannya. Kayaknya
sih dia tadi sedang komat-kamit menghafal rumus fisika sebelum aku datang. Yah, kalau begini
jadi nggak bisa ngebahas pertandingan kemarin deh.
a. Kuis lah, makalah lah, ulangan
lah. Tapi nggak pa-
Asyik! Acara gosipan nggak jadi batal!
merinding nih kalau ingat selebrasi setelah Pia menang itu. Gila banget ya! Baru kemarin gue
ngerasa nasionalis banget, bangga banget jadi orang Indonesia. Lo lihat nggak, kanan-kiri kita di
-bapak yang di belakang gue malah udah berkaca-
kaca gitu matanya. Hihihi.. Yah, tim Uber kita kan cuma ditarget sampai semifinal, tapi ternyata
mereka bisa sampai final. Kebayang nggak kalau ntar mereka menang? Wuahh... pasti bakal
-eh! Tapi nih, kalau mereka nggak menang pun, di mata gue mereka udah juara. Mereka
Aku seperti membeku di tempat waktu mendengar suara itu di belakangku. Sharleen juga
setengah melotot, menahan napas.
Aku menoleh, dan melihat Albert berdiri dari bangku yang didudukinya, bangku di sebelah
bangku Rocky, arah jam tubuh dari bangku tempat aku dan Sharleen duduk.
Ya Tuhan, kok bisa aku tadi nggak ngelihat dia ada di kelas ini juga? Ngapain dia di sini???
waktu kamu masuk ke kelas ini, aku udah mau manggil kamu. Tapi kamu ternyata nggak lihat
, dengan begitu aku
Suaranya tajam dan dingin, bikin rasa bersalahku meluap-luap. Ya, memang seharusnya
begitu sih, tapi kemarin semuanya terasa benar... Aku membohongi Albert cuma karena aku
kepingin melakukan hal yang benar-benar kusukai, yang nggak bisa dimengerti olehnya.
Ternyata aku membongkar rahasiaku sendiri. Dasar stupid!
Kok aku tadi bisa nggak melihat dia? Dan yang lebih bego lagi, kok aku bisa nggak ingat kelas
Sharleen juga adalah kelas Rocky, pasangan hombreng, eh... maksudku teman dekat Albert, yang
juga teman satu tim basketnya??? Pasti karena aku terlalu bernafsu untuk ketemu Sharleen dan
ngobrol-ngobrol, makanya sampai nggak menyadari keberadaan Albert! Dia juga pasti lagi di sini
dan membahas pertandingan bareng Rocky, pertandingan basketnya kemarin. Sialan!
Astaga. Pasti dia bakal mutusin aku...
Albert mencengkeram tanganku dengan sedikit kasar, dan menarikku keluar dari kelas XII
IPA-4. Aku sempat menoleh dan melihat Sharleen memandangiku dengan tatapan nggak enak.
Mungkin dia juga merasa bersalah karena lupa Albert ada di kelasnya saat aku dan dia heboh
membongkar keberadaan kami di Istora kemarin.
Yah, sudahlah, toh semua sudah terjadi. Kalaupun Albert mutusin aku gara-gara ini...
-
aku bohong karena aku tahu kamu pasti nggak bakal ngizinin aku nonton ke Istora kemarin.
Albert diam, dia menatapku dengan tatapan yang sulit kutebak apa artinya.
Are you trying to say... kamu lebih suka nonton pertandingan bulutangkis dairpada nonton
One million dollar question.
Kalau aku mau jujur, sebenarnya jawabannya gampang banget... Dan Albert seharusnyanggak
perlu nanya. Bukannya kelakuanku kemarin sudah menjawab pertanyaannya itu?
Kalau setelah ini dia mutusin aku, aku bakal terima. Bukan karena aku memang salah, tapi
aku akhirnya sadar bahwa dalam hal yang paling kusukai aja Albert nggak bisa mendukungku...
Fine
ternyata dia nggak mengucapkan itu. Albert malah berjalan lagi ke ambang pintu kelas XII IPA4,
dan berseru pada Sharleen dari sana.
-besok pertandingan apa
Aku mengintip sedikit ke dalam kelas XII IPA-4, dan melihat Sharleen kagok juga tiba-tiba
ditanyai begitu. Jangankan dia, aku saja kagok! Kenapa Albert tiba-tiba jadi nanya jadwal begini?
Apa dia bermaksud... mencari tahu kenapa aku begitu cinta sama bulutangkis, dengan cara
menemaniku nonton langsung di Istora? Nggak mungkin banget!
Indonesia lawan China. Lusa final Thomas Cup, kalau nanti Indonesia menang ya mereka
n. Dia jadi kedengaran kayak pembawa acara berita olahraga di
TV.
Albert kembali menoleh menghadapku, dan nggak tahu kenapa, aku tiba-tiba jadi nggak
berani membalas tatapannya.
Kalau hukuman yang kamu maksud itu berarti kamu mau minta putus...
melarang kamu nonton pertandingan di Istora. Nanti, besok, dan lusa. Kamu nggak boleh ke
Aku serasa disambar geledek!
What?!
Apa dia gila? Melarangku nonton bulutangkis di Istora, saat tim Uber Indonesia berhasil
menjejak final setelah dua belas tahun? Dan saat tim Thomas berpeluang untuk merebut kembali
Thomas Cup? No way!
Sialan, sialan, sialaaaannn! Dia menjadikan kesalahanku sebagai senjata!
merengek-
Aku memejamkan mata, berusaha meredam perasaan kesal yang nyaris meledak di dalam
diriku. Albert sialan, dia tahu banget apa hukuman yang membuatku bakal merasa benar-benar
tersiksa!
Tapi aku nggak mungkin melewatkan pertandingan nanti sore, dan besok, dan lusa... Aku
harus memutar otak. Dan kalau itu berarti aku harus membohongi Albert lagi...
Besok dan lusa juga. Untuk memastikan aku nggak kecolongan lag
Kakiku rasanya lemas seketika. Lebih baik dia masukkan aku ke kurungan besi aja sekalian.
Albert brengsek!
* * *
juga... Lusa memang belum pasti, tapi kalaupun tim Thomas Indonesia nggak lolos ke final, gue
Kali ini aku sudah
memastikan Albert nggak ada dalam jarak dengar. Mungkin aaj Adisty punya saran yang benarbenar
tokcer supaya akut etap bisa ngabur ke Istora, dan tetnu aja aku nggak kepingin Albert ikut
mendengarnya.
disalah-salahkan lagi. Aku butuh dia ngasih aku jalan keluar.
ngebohongin dia untuk ngelakuin hal yang bener-bener gue suka. Dan dia sekarang mau
menghukum gue dengan melarang gue nonton ke Istora, itu kan GILA! Dia tahu banget
nggak tahu harus bilang apa... Tapi siapa pun pasti marah sih kalau dibohongin, apalagi sama
Oke, kayaknya salah BANGET aku curhat sama Adisty. Dia kan nggak suka bulutangkis juga.
Dia nggak ngerti gimana rasanya begitu cinta sama olahraga satu itu, sampai rela ngebohongin
pacar.
an nih? Gue harus terima aja, dikurung sama Albert tiga hari ke
depan, dan menyaksikan pertandingan kelas dunia cuma dari TV, sementara sebenarnya gue bisa
nonton langsung di Istora, dengan uang tiket yang udah gue sisihkan jauh-
Adisty diam, kayaknya dia bingung juga mau ngomong lagi. Takut kalau dia jujur nanti aku
malah semakin sewot.
-besok, dan
-tiba. Mataku langsung melebar.
Aku menelan ludah.
gue, kalau lo minta putus kan jadinya dia bukan siapa-siapa lo lagi tuh, jadi dia nggak berhak
Aku menggeleng lemah. Itu bukannya nggak terpikir dalam otakku. Tapi masalahnya, seperti
yang pernah kubilang, ortuku sayang banget sama albert. Kalau aku mutusin dia, nanti Papa dan
Mama pasti nanyain kenapa Albert nggak pernah main ke rumah lagi. Dan kalau nanti aku
bilang kami sudah putus, atau lebih tepatnya aku sudah mutusin dia, aku pasti diomelin.
Kalau cinta sih... ya, aku dan Albert kan sudah pacaran hampir tiga tahun. Biar aku sekarang
lagi kesal setengah mati dan pengen melemparnya pakai bakiak sekalipun, aku bohong kalau
bilang aku nggak cinta dia lagi. Sepuluh persen masih ada lah.
Tapi akan lain ceritanya kalau Albert yang mutusin aku. Kalau itu yang terjadi, tentu aja aku
nggak bakal disalah-salahkan lagi oleh ortuku.Kalau aku beruntung, justru mereka akan jadi sebal
pada Albert. Mungkin malah memasukkan cowok itu dalam blacklist orang-orang yang
berkunjung ke rumahku.
Aku cuma bisa tersenyum lemah, dan berharap dalam hati semoga nanti sore Albert ada
urusan apalah yang membuatnya urung menjadikanku tahanan rumah di rumahku sendiri.
Dihukum
SIALNYA lagi, Mama malah meyambut dengan riang-gembira-penuh-sukacita kedatangan
Albert ke rumah sore harinya.
-
Wah, Mama nanyanya kayak aku dan Albert masih umur lima tahun aja. Maun main di sini?
Yang bener aja! Dia ke sini buat menghukumku, Ma!
-
gaya anak manis.
Aku menirukan gaya orang muntah di balik punggungnya. Mama, yang melihatku, langsung
melotot tajam.
ng Tante yang enaknya
Siaul, sekarang dia malah menjilat!
masuk dulu deh sama Fraya. Santai aja, anggap rumah sendiri, oke? Tante mau beresin tanaman-
Albert tersenyum puas dan masuk ke rumahku. Aku tetap tinggal di kebun, tempat Mama
mengurus tanaman-tanaman kesayangannya sebelum kedatanganku dan Albert tadi.
menghilang ke dalam rumah.
Mama berhenti mengguntingi ranting-
as-remas jariku dengan jengkel.
Mama mencuci tangannya dari keran air di samping kebun, lalu membersihkan noda tanah di
hidungku.
ku mengadu.
bagian yang ini.
Aku menimbang-nimbang dalam hati, apakah sebaiknya cerita ke Mama. Tapi karena tadi
aku sudah sedikit keceplosan, kayaknya aku nggak punya pilihan lain.
kepingin aku nonton dia. Tapi
kan kemarin ada semifinal Uber Cup juga, Ma, dan aku udah beli tiketnya... Dan Mama tahu
sendiri kan, gimana aku suka sama bulutangkis? Jadi aku... aku bohongin Albert. Aku pura-pura
sakit, supaya aku nggak perlu nonton Albert tanding. Aku bilang ke dia, bubar sekolah aku
Benar-benar melongo dengan mulut yang ternganga lebar.
besok, dan lusa. Dia juga rencana main di sini sampai malam, untuk ngawasin aku, biar aku
nggak kabur lagi
Mama masih melongo menatapku, dan aku ketar-ketir juga menunggu reaksinya. Apa Mama
bakal membelaku ya? Atau justru makin memojokkan aku?
Waduh, aku baru tahu ternyata yang anak Mama itu Albert, bukan aku! Dan Mama
kalau dia sedang marah atau kesal.
ingin kamu support dia saat dia tanding, eh kamu
sama semifinal Uber Cup, aku pasti ikut nonton dan support dia, Ma. Tapi ini kan lain...
Thomas-Uber Cup itu turnamen internasional, cuma ada dua tahun sekali, dan belum tentu juga
Wah, kayaknya beneran salah nih curhat sama Mama!
cemberut, masih nggak habis pikir kenapa Mama justru lebih membela Albert daripada aku.
* * *
sudah stand by di depan TV sudah stand by di depan TV
dengan muka ditekuk. Aku bisa mendengar riuh-rendah suara orang di belakangnya. Dia pasti
sudah di Istora.
-
di ruang makan. Bonyok gue malah ngasih dia makan enak. Sial banget nggak
sekali nggak nyadar ada Albert di kelas. Gue juga nggak ngeliat dia masuk kelas gue. Mungkin
dia udah datang sebelum gue, kali ya? Atau dia masuk waktu gue lagi sibuk belajar fisika, jadi
nggak merhatiin? Kalau aja gue tahu dia ada di kelas, gue pasti bakal bilang ke lo... supaya kita
ngobrol-
Nada suara Sharleen terdengar seperti dia benar-benar merasa bersalah, padahal itu sama
sekali bukan salahnya.
-pa, Shar. Lagian bukan salah lo kok. Gue juga nggak ngeliat dia tadi pagi. Yah,
mungkin emang udah nasib gue ya, ketahuan bohong. Gue juga minta maaf nih, lo jadinya hari
-istrinya, jadi gue nonton bareng
Aku cemberut lagi. Rasanya kali ini aku kepingin jadi Hiro Nakamura di serial Heroes, biar aku
bisa men-teleport diriku ke Istora Senayan. Kalaupun ketahuan Albert, toh aku sudah keburu
berada di tempat lain, dia nggak mungkin bisa mengejarku.
Yeah, back to your real life, Fraya.
dengan Sharleen, dan ternyata di HP-ku ada SMS masuk.
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Lo dmana? Kok nggak keliatan batang idungnya? Dtg ke istora kan?
Aku mengembuskan napas kesal. I wish.
To: Shendy-wartawan Shuttlers
Nggak. Gw dihukum sm cwo gw, nggk blh ke istora lg selama TUC.
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Yg bnr? wah, ikut sedih dgrnya. Emg knp lo dihukum?
To: Shendy-wartawan Shuttlers
Soalnya kmrn gw ngebohongin dia biar bs ke istora, trs td
ketahuan. Nasib •
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Astaga. Yasud, mg2 keadaan lo gak terlalu parah ya. C ya next
time.
Huhuhuhu... aku jadi makin kepingin ada di Istora sekarang....
* * *
Albert benar-benar bawa sial hari ini!
Bukan hanya karena aku jadi ngak bisa nonton live di Istora, dan tiket semifinal yang sudah
kubeli jadi sia-sia, tapi juga karena tim Thomas Indonesia kalah dari Korea! Kalahnya 0-3 pula!
Aku benar-benar kesal sampai langsung masuk kamar begitu pertandingan selesai. Biar aja Albert
masih di luar sama keluargaku, toh dia sudah tahu pintu keluar rumah ini ada di mana. Dia bisa
pulang sendiri!
Ihh... aku sebel banget sampai kepingin nangis rasanya. Kok bisa sih tim Thomas Indonesia
kalah dari Korea? Mana skornya telak banget. Aku masih nggak bisa percaya Indonesia bisa habis
dengan skor begitu. Padahal tim Thomas menargetkan juara.
Partai pertama waktu Sony Dwi Kuncoro melawan Park Sung Hwan, aku cukup optimis.
World rank Sony kan di atas Park. Sony memang kalah duluan di set pertama, tapi dia berhasil
memaksakan rubber set. Sayang, di set ketiga dia kalah lagi. Korea unggul duluan 1-0.
Partai kedua, Markis Kido/Hendra Setiawan, ganda putra nomor satu Indonesia dan dunia,
melawan Jung Jae Sung/Lee Yong Dae. Aku santai-santai aja, yakin Indonesia bakal bisa
menyamakan kedudukan. Eh, ternyata Lee Yong Dae bermain kayak orang kesetanan. Jumping
smash mulu, habis dicekokin ginseng kai ama pelatihnya! Indonesia kecolongan lagi, 2-0.
Partai ketiga. Taufik Hidayat melawan Lee Hyun Il. Aku makin ketar-ketir. Bukan apa-apa
sih, tapi belakangan ini grafik permainan Taufik memang lagi jelek-jeleknya. Dia seolah
kehilangan kelasnya sebagai peraih emas Olimpiade Athena tahun 2004 silam. Cara bermainnya
gampang ditebak, dan smash-smash-nya nggak setajam dulu lagi. Lee pun menang mudah dua set
langsung. Korea 3, Indonesia 0. Tamat sudah.
Mama sempat menatapku dengan pandangan nggak setuju, tapi aku sebodo amat. Daripada aku
tetap di ruang keluarga dan jadi meledak membabi buta saking kesalnya, kan lebih baik aku
ngamuk sendirian di kamar.
Huuhh... kesal kesal kesaaaalll!
Reality Bites
PAGI ini aku sengaja bangun setengah jam lebih awal dari biasanya, dan buru-buru cabut ke
sekolah. Alasanku cuma satu: kabur sebelum Albert menjemputku ke rumah. Hih, tak usah ya!
Aku masih amat sangat jengkel gara-gara semua kejadian kemarin, dan aku nggak bisa
membayangkan skenario apa yang bakal terjadi kalau aku dan Albert berada dalam satu mobil
dalam kurun waktu setengah jam, dengan kondisi emosiku yang sekarang. Jangan-jangan nanti
aku kebablasan melakukan tindak kekerasan padanya.
Oke, aku tahu aku memang kedengaran norak banget, tapi kalau kamu jadi aku, kamu pasti
bisa ngerti deh. Memang sih, albert nggak punya andil langsung dalam kekalahan tim Thomas
Indonesia (salah satu hal yang memperparah kekesalanku padanya), tapi kan tetap aja... dia
membuatku nggak bisa nonton pertandingan itu secara live! Dan entah aku harus bersyukur atau
malah mengomel karena hari Minggu nanti aku nggak begitu menyesal bakal melewatkan partai
final Thomas Cup. Yah, secara Indonesia juga nggak akan main di sana gitu.
Tapi hari ini, hari ini! Hari ini tim Uber Indonesia bakal bertanding di final melawan China.
Dan kalau nanti aku masih dilarang ke Istora, aku ngak tahu deh harus gimana lagi. Mungkin
aku perlu mengadukan Albert ke Komnas HAM. Dia kan sudah melanggar hak asasiku untuk
melakukan hal yang kusukai.
Jadi pagi ini aku lebih memilih berangkot ria dengan puluhan anak SMa lainnya, daripada
naik mobil nyaman bersama pacarku yang menyebalkan. Rencana berjalan lancar, aku sudah
cabut dari rumah sebelum Albert muncul. Claudia sempat melirikku penuh tanda tanya waktu
aku berangkat sekolah dengan pamitan yang hanya berupa gumaman pada Papa dan Mama, tapi
kayaknya dia menelan kembali semua kata-katanya waktu melihat wajah judesku. Anak pintar,
dia tahu kapan waktunya untuk diam.
Dia juga baru datang.
Adisty celingak
-nyebut nama anak tengil itu?
-cengir menggodaku.
Adisty mengangguk dan tersenyum maklum. Dia memang teman yang paling pengertian.
Sayang, masa-masa tenangku nggak berlangsung lama. Albert datang sepuluh menit
kemudian, dan dengan seenaknya dia langsung duduk di bangku Adisty. Mentang-mentang yang
punya lagi ke kantin, main duduk aja dia.
-
-
aku dong. Jadi aku nggak
Albert menghela napas, aku bisa mendengarnya dengan jelas.
-
Ih dasar! Pakai bawa-bawa Taufik Hidayat segala. Mana Albert agak nggak nyambung, lagi!
kan bukan salahku T
dasar dodol.
terdengar jengkel.
childish
Childish
itu yang childish, tahu nggak? Menghukum aku dengan melarang aku ngelakuin hal yang paling
aku suka!
Aku membuka mulutku, nyaris meneriakkan bahwa aku bilang begitu waktu itu karena
mengira hukumannya bakal berupa pemutusan hubungan antara aku dan Albert, tapi katakataku
tertelan lagi. Nggak tahu kenapa. Mungkin dalam hatiku, aku merasa sayang juga kalau
harus mengakhiri hubunganku sama Albert yang sudah dua tahun ini. Atau aku nggak mau
benar-benar dianggap childish, seperti yang dibilang Albert tadi. Entahlah.
, tapi sebagai cowokku, aku
minta kamu ngertiin apa yang bener-bener aku suka. Aku juga nggak pernah ngelarang kamu
main basket, kan? Aku selalu bisa ngerti, bahkan kalau kamu nggak bisa jemput aku karena ada
latihan basket. Kenapa sekarang kamu minta aku nonton kamu tanding, saat kamu tahu ada
turnamen bulutangkis yang bener
Albert melongo. Mungkin dia heran juga aku bisa ngoceh sepanjang itu. Aku tipe orang yang
identik dengan kalimat-kalimat pendek. Ngomong seperlunya saja, apalagi kalau lagi marah.
Tapi tadi aku sudah mengomel panjang kali lebar kali tinggi, pasti kedengarannya aneh banget.
Fiuh... udah deh, kalau udah begini, diskusinya nggak bakal selesai. Mau aku ngomong kayak
apa pun ke dia, ujung-ujungnya dia bakal menyalahkan aku juga.
Aku melongo, nggak mau menatap Albert. Thank God, dia nggak mengoceh lagi.
** *
Aku dan Albert pertama ketemu saat MOS SMA kami, SMA Pembangunan. Di hari pertama,
waktu upacara sebelum MOS, aku menangkap basah dia ngeliatin aku. Lucu banget sih waktu
itu. Dia langsung salting begitu kulihatin balik.
Albert ganteng, jadi banyak cewek yang naksir dia. Dan seperti yang pernah kuceritakan
sebelumnya, aku juga nggak bisa dibilang jelek. Banyak juga cowok, termasuk kakak-kakak
senior pembimbing MOS, yang naksir aku. Sayangnya, hal itu kayaknya membuatku jadi terlihat
genit di depan para senior cewek. Yang bener aja, aku toh nggak pernah flirting sama mereka
(para senior cowok maksudku, bukan senior cewek). Aku sendiri juga bingung kenapa tiba-tiba
banyak senior cowok yang suka nyamperin aku di kelas saat jam istirahat.
Aku masih ingat banget kejadiannya, dulu ada senior bernama Frederick yang naksir aku.
Waktu itu Frederick termasuk deretan senior yang populer, dan semua cewek yang naksir dia
tiba-tiba aja jadi memusuhi aku. Termasuk Mischa, cewek senior judes yang sudah lama naksir
Frederic, tapi kayaknya nggak pernah dianggap.
Mischa dan gengnya mencegat aku satu siang sepulang sekolah, dan dia langsung mengatai
aku seenak udelnya. Aku sudah hampir mendamprat balik, waktu Albert tiba-tiba aja muncul,
dan mengatai Mischa dengan kata-kata yang tajam tapi sangat berkelas. Aku lupa apa tepatnya
kata-katanya waktu itu, pokoknya Mischa sampai speechless di hadapan Albert. Aku sendiri
bingung, apa kata-kata Albert itu spontan keluar dari mulutnya, atau dia sudah mengarangnya
sejak dia naksir aku, dan tahu aku dalam target sasaran Mischa. Entahlah.
Yang jelas, setelah itu Mischa dan senior mana pun nggak pernah lagi berani menggangguku.
Mungkin Mischa sudah menebar gosip ke anak-anak seangkatannya bahwa aku punya bodyguard
yang galak, kali ya? Dan setelah itu aku dan Albert jadi dekat, sampai akhirnya kami jadian. Aku
sayang banget sama Albert, biarpun setelah beberapa bulan kami jadian aku baru tahu dia
ternyata nggak begitu suka sama fanatismeku akan bulutangkis.
Sebelumnya, waktu SMP, aku pernah jadian sama cowok yang ikut ekskul bulutangkis bareng
aku, namanya Philip. Orangnya baik banget, dan tentu saja kami amat sangat nyambung
ngomongin bulutangkis. Aku dan Philip juga sering main bulutangkis bareng, dan dua tahun
berturut-turut selalu barengan nonton Indonesia Super Series di Istora. Kami pacaran dua tahun,
tapi selepas SMP Philip dikirim ortunya masuk senior high di Australia. Kami putus baik-baik
waktu itu, dan berjanji akan tetap in touch lewat SMS dan chatting, at least untuk ngomongin
bulutangkis, karena di Australia sana kan bulutangkis nggak populer, jadi Philip pasti nggak akan
punya teman diskusi bulutangkis di sana.
Sayangnya, aku sibuk dengan kegiatanku sendiri, dan mungkin Philip udah ketemu cewek
bule cantik di Aussie. Jadi setelah satu bulan SMS-an, chatting, dan kirim e-mail, kami mulai
menjauh satu sama lain. Dan aku jadian sama Albert.
Di awal jadian sama Albert, aku merasa menemukan pengganti Philip, soalnya dia kelihatan
cukup antusias kalau kuajak ngobrol soal bulutangkis. Tapi karena dia nggak ngerti banyak,
banyakan aku yang mengoceh tentang bulutangkis di depan dia. Aku sih senang-senang aja,
mengoceh tentang hal yang jadi obsesiku, sampai mulut berbusa pun nggak masalah. Tapi seperti
yang kubilang tadi, setelah beberapa bulan mungkin Albert jadi enek, dan dia mulai suka
mengalihkan pembicaraan kalau kuajak ngobrol soal bulutangkis. Itu sih nggak apa-apa. Tapi
sebalnya, dia mulai menjelek-jelekkan bulutangkis juga, dan selalu membanding-bandingkannya
dengan basket dan cheers. Aku sempat bingung waktu itu, karena awalnya kan aku
membayangkan Albert bakal seperti Philip, yang bisa jadi teman diskusi bulutangkis yang asyik.
Tapi akhirnya aku sadar, Albert bukan Philip, dan mungkin dulu dia antusias mendengar semua
ocehanku tentang bulutangkis karena waktu itu kami masih masa pedekate dan baru jadian, jadi
semuanya masih dibutakan cinta. Hm... kedengarannya jadi kayak lagu dangdut, tapi emang
kenyataannya gitu sih.
Akhirnya aku mengambil jalan tengah. Aku nggak lagi ngomongin bulutangkis sama Albert,
kecuali dia yang mengungkit duluan (seringnya sih dalam konteks meremehkan dan
membanding-bandingkan). Cuma, nggak tahu kenapa, aku tetap bisa tahan kalau Albert ngoceh
segala macam tentang basket di depanku. Aku juga senang-senang aja kalau dia minta aku
menungguinya latihan basket, atau nonton dia tanding. Tapi kalau momennya bersamaan
dengan Thomas-Uber Cup seperti kemarin... harusnya dia tahu dong, mana yang bakal aku
pilih?
* * *
Aku benar-benar nggak habis pikir. Setelah kujutekin habis-habisan kemarin, Albert tetap nekat
datang ke rumahku sore ini! Padahal aku udah ngarep dia kapok, sehingga aku bisa ngibrit ke
Istora nonton final Uber Cup. Tapi ternyata mimpiku buyar!
Biarpun kucuekin sepanjang perjalanan pulang, Albert santai aja. Sampai di rumahku, dia
main sama Lio, karena aku langsung ngumpet di kamar, ogah dekat-dekat Albert kalau nggak
terpaksa. Masih sebal! Untungnya, biarpun Mama sayang banget sama Albert, cowok itu tetap
nggak dikasih izin masuk ke kamarku. Atau mungkin Albert masih tahu sopan santun, nggak
tahu lagi deh.
Yang jelas, aku baru keluar kamar jam enam sore, saat Uber Cup ditayangkan di TV. Albert
nggak duduk di sebelahku seperti kemarin, dia duduk di sofa pojok sambil memangku Lio.
Hmm... mungkin itu juga salah satu alasan kenapa aku masih pacaran sama Albert sampai saat
ini. Selain ortuku, Lio juga sayang banget sama Albert. Lio selalu nanyain kalau dia sudah lama
nggak melihat Albert (yang seringnya karena saat Albert mengantarku pulang sekolah, Lio lagi
bobo siang), dan setiap kali Albert datang Lio selalu jadi riang gembira, seolah Albert itu
Sinterklas. Pokoknya, mereka kompak banget lah. Entah pakai pelet apa si Albert.
-
Yeah, bagus sekali Claudia! Tengoklah ke sebelah kananmu, di sana tersedia jawaban kenapa
aku harus menghabiskan sore laknat ini di depan TV, sementara seharusnya aku bisa ada di
tempat pertandingan bulutangkis dengan atmosfer terdahsyat di dunia! Aku nggak mengada-ada.
kalau bukan teriakan IN-DO-NE-pemain Indonesia yang memukul bola,
Indonesia sudah mendekati angka 21) dan fanatisme penonton yang hadir di sana setiap
diadakan turnamen bulutangkis.
Claudia kayaknya menyadari perubahan ekspresiku, plus mataku yang melotot garang pada
Albert di sofa pojok. Dia mengerling pada Albert, dan terlihat sedikit syok.
gossip queen. Claudia tahu Albert nggak begitu suka pada fanatismeku akan bulutangkis, tapi dia
belum tahu sekarang ini aku sedang dihukum. Albert kayaknya nggak bisa mendengar
pertanyaan Claudia, selain kaerna bisikannya yang masuk level gelombang infrasonik, Albert juga
tengah asyik mendengar celoteh Lio yang berisik itu.
Claudia melongo, dan langsung menoleh menatap Albert dengan gaya dramatis, sebelum
akhirnya menatapku lagi.
karena gue mendadak sakit. Padahal gue ngarang alasan gitu supaya bisa ngabur ke Istora. Jadi
dia nggak ngebolehin gue ke Istora lagi selama Thomas-Uber Cup ini. Dan untuk memastikan
Oh-my-God. -mangap tak percaya.
udah mau
Aku membetulkan letak posisi dudukku dengan bersemangat, demi melihat logo Thomas-
Uber Cup yang nongol di TV. Tentu aja bakal hambar nonton cuma dari TV, tapi kalau cuma
ini yang bisa kudapat sekarang, at least aku harus berusaha menikmatinya, kan? Untung aja
Albert nggak sampai melarangku nonton dari TV juga. Awas aja kalau iya!
Presenter muncul di TV, bersama komentator pertandingan. Mereka membahas fenomena
tim Uber Indonesia yang berhasil menembus final, dan bagaimana riuhnya Istora sore ini.
Gegap-gempita, penuh sorak-sorai, berharap Indonesia mampu membuat kejutan lagi dengan
menaklukkan China. Aku memandang gambar penonton-penonton Istora yang sedang disorot
dengan mupeng. Oh, how I wish I was there!
Setelah dua kali jeda iklan yang membuatku makin dag-dig-dug nggak keruan, akhirnya
perwakilan kedua negara berjalan memasuki lapangan. Sebelum partai pertama, ada semacam sesi
perkenalan. Setiap pemain yang mewakili negaranya akan dipanggil namanya untuk kemudian
maju satu langkah dan melambai pada penonton.
Aku melotot ketika melihat sesuatu yang untk pada kontingen tim Uber Indonesia. Greysia
Polii, pemain ganda bertubuh mungil tapi punya power yang luar biasa itu, muncul dengan
menggunakan topi model tanduk, bak helm yang biasa dipakai bangsa Viking zaman dulu, tapi
topinya berwarna merah-putih. Nggak cuma itu, dia juga memakai bendera merah-putih sebagai
jubah. Bendera itu berkibar-kibar di punggungnya seperti jubah Superman saat dia berjalan.
Wow! Lucu banget!
Aku jadi teringat aksi atraktif Greysia saat di semifinal melawan Jerman dua hari lalu.
Bagaimana dia bisa begitu ekspresif menunjukkan kegembiraannya, dan sekaligus memancing
rasa nasionalisme setiap penonton yang hadir. Sekarang pun dia melakukan hal yang sama, dan
penonton bersorak gembira saat melihat motivator mereka lagi.
Beberapa pemain China melongo tak percaya saat melihat penampilan Greysia, tapi itu tak
kubu
China, mereka semua berwajah tegang sebelum memasuki lapangan. Walaupun kekuatan China
jelas masih selevel di atas Indonesia, pasti mereka tak berharap bertemu tim tuan rumah di
h kecemasan bahwa
tim Uber Indonesia akan mampu mencuri kembali trofi yang sejak 1996 lepas ke negeri Tirai
Bambu itu.
Tepuk tangan bergema sangat riuh ketika Greysia dipanggil namanya dan maju selangkah. Ia
melambaikan tangan dengan senyum mengembang lebar, membuat Lio, yang belum mengerti
bulutangkis sekalipun, jadi menatap layar TV dengan ketertarikan yang tak pernah kulihat
sebelumnya. Seolah ada magnet dalam sosok Greysia.
Seolah aku melihat DIRIKU di posisi yang sama dengannya.
Greysia hanya tiga tahun lebih tua dariku, tapi ia sudah mengikuti turnamen hingga keliling
dunia dengan membawa nama Indonesia. Dan sekarang ia berdiri di tempat yang luar biasa,
berhadapan dengan para penonon yang juga luar biasa, dalam kejuaraan beregu bulutangkis yang
paling bergengsi.
Kalau saja dulu Mama mengizinkanku les bulutangkis, mungkin sekarang aku akan ada di tim
yang sama dengan Greysia... Mungkin aku juga aakn berdiri di tengah Istora, melambaikan
-ku...
Aku menggeleng, berusaha mengusir bayangan itu. Ini tidak segampang yang aku bayangkan.
Memangnya hanya dengan les bulutangkis sejak umur enam tahun, aku akan bisa menembus
Pelatnas? Keep on dreaming, Fraya dear. Banyak pengorbanan yang pasti harus kutempuh jika
ingin berada di posisi yang sama dengan Greysia saat ini.
Tapi tetap saja, aku merasakan sakit dalam hatiku. Aku tak akan bisa mewujudkan mimpi
itu... Tahun-tahun di saat aku seharusnya berlatih keras dan mengikuti setiap kejuaraan junior
telah lewat, kuhabiskan hanya dengan menanti-nanti olahraga yang kucintai itu muncul di layar
TV. Berlatih sekeras apa pun aku sekarang ini, aku tak akan bisa seperti Greysia atau yang
lainnya...
n lamunanku kontan buyar.
Ternyata aku melamun lumayan lama, karena sekarang di TV Maria Kristin dan Xie Xingfang
sudah melakukan pemanasan, bersiap untuk partai pertama di final Uber Cup ini.
-
Claudia. Dengan ekor
mataku, aku bisa melihat Albert memperhatikanku dari sofa di pojok sana.
Aku membenarkan posisi dudukku di sofa, berusaha memusatkan perhatian ke TV lagi, tapi
lamunanku tadi ternyata masih mengusik. Aku nggak akan pernah bisa mewujudkan mimpiku
sekarang, sekeras apa pun aku berusaha. Satu-satunya yang kuinginkan hanyalah bisa memutar
kembali waktu...
Tapi waktu tak pernah bisa kembali, ia justru melaju semakin cepat menuju masa depan, di
saat kau menginginkannya berhenti.
Aku menelan ludah, merasakan bola mataku memanas. Kenyataan itu menghantamku begitu
kuat, sampai rasanya aku sesak napas. Kenapa aku ini? Semua harapanku seolah hilang, karena
aku tahu mimpi terbesarku tak akan mampu teraih lagi. Tiba-tiba saja aku merasa tak peduli
diriku cantik, punya pacar ganteng dan populer, punya keluarga yang berkecukupan dan
harmonis... Apa artinya semua itu, jika mimpiku, cita-cita dan obsesiku telah melayang pergi,
dan tak ada satu pun yang bisa kulakukan untuk meraihnya lagi?
Aku mengerjap, berusaha menyedot kembali air mata yang tertampung di mataku, siap
meluncur turun. Belum pernah sebelumnya aku begitu berharap aku sendiri saja dan tak ada
seorang pun yang bisa melihatku, karena aku sedang benar-benar ingin meledak dalam tangis.
kecurigaan Claudia. Untunglah, dia termasuk anak yang cuek dan mmm... agak lemot. Jadi dia
percaya saja dengan bualanku.
Maria Kristin sudah bersiap main sekarang. Ia yang mendapat bola pertama. Wasit sedang
memberikan informasi sebelum pertandingan dimulai.
On my right, Xie Xingfang, China! On my left, Maria Kristin Yulianti, Indonesia! Yulianti
serve
bergidik. Halusinasiku mulai menghadirkan kalimat yang
On my left, Fraya Aloysa
On my right, Xie Xingfang, China! On my left, Maria Kristin Yulianti, Indonesia! Yulianti
serve
bergidik. Halusinasiku mulai menghadirkan kalimat yang
On my left, Fraya Aloysa
Aku mengerjap sekali lagi, berusaha menelan halusinasi itu bulat-bulat. Itu nggak akan pernah
terjadi. Aku hanya menyakiti diriku sendiri dengan semua mimpi itu. Kenapa aku nggak
bersyukur saja dengan kondisiku saat ini? Aku toh bukannya anak yatim-piatu di Afrika yang
sedang kelaparan dan menunggu mati. Hidupku tak bisa dibilang buruk
dengan
mengesampingkan fakta bahwa apa yang paling kuinginkan dalam hidupku justru tak bisa
kuwujudkan. Jadi atlet bulutangkis bukan hanya mimpi semu masa kecilku, yang meledak sesaat
lalu tenggelam. Aku seperti berkomitmen penuh padanya, ingin meraih tapi tanganku tak
sampai...
Selama pertandingan Maria vs Xie Xingfang, aku lebih banyak melamun. Seperti yang sudah
diduga, Maria takluk. China memimpin 1-0.
Biasanya dalam kondisi Indonesia tertinggal seperti ini, aku sudah heboh sendiri. Sudah bawel
melontarkan saran-saran sok bijakku, bahwa Maria tadi seharusnya begini dan begitu. Tapi kali
ini aku diam. Mulutku terkunci, tapi batinku berperang.
Partai kedua ganda putri. Indonesia menurunkan Vita Marissa dan Lilyana Natsir, sementara
China diwakili oleh ganda terbaik mereka, sekaligus peringkat satu dunia saat ini, Yang Wei dan
Zhang Jiewen.
Walaupun Vita/Lilyana hanya ranking tujuh dunia, secara skill mereka tak kalah dari
Yang/Zhang. Banyak penempatan bola dari Vita yang tak bisa dikembalikan pasangan China itu.
Mereka seolah mati langkah saat melihat shuttle cock mati di daerah permainan mereka. Sayang,
set pertama berakhir untuk keunggulan China, 21-15.
Claudia agak gelisah di belakangku. Sepertinya justru dia yang terbawa suasana pertandingan.
Beberapa kali dia mengomel karena bola yang dibiarkan keluar oleh Lilyana ternyata justru
masuk. Lio yang nggak ngerti apa-apa juga nggak mau kalah. Dia bersorak waktu Lilyana
berhasil melakukan smash tajam. Hanya Albert yang diam saja, juga aku.
-tiba nongol di ruang keluarga, dan duduk di sebelahku.
-
underestimate banget deh. Kalah sih kalah, Ma, tapi masa belum dua jam main
udah tamat 3-
biasanya Claudia jago nyahut kalau diajak ngobrol soal bulutangkis begini.
kalau Indonesia menang kan Aya teriak-teriak mulu. Kalau Indonesia kalah, Aya bakal duduk
langsung mengubah ekspresiku.
pan kaus Albert kuat-pan kaus Albert kuat-
kuat, seolah nggak mau dipisahkan darinya. Albert nyengir melihat tingkah adik bungsuku itu.
-
Lio dengan sayang. Aku memperhatikan dengan kaget. Mama kelihatan terharu mendengar katakata
Albert. Ya ampun, Mama! Mellow abis deh!
Aku menelan ludah. Ini benar-benar gawat. Albert memang sudah mengambil hati Mama
sejuta persen! Pantas Mama lebih ngebelain Albert daripada aku, saat Mama tahu Albert
menghukumku dengan melarang aku nonton final Uber Cup di Istora!
Rubber seeeettt! Oh my God, rubber set! Rubber set, Aya,
Aku tersentak dari adegan melankolis antara Mama dan Albert di hadapanku, dan mendapati
Claudia sedang mencengkeram lengan bajuku, sekaligus menarik-nariknya dengan gembira. Dia
tadi bilang... rubber set?
Aku menoleh dengan kecepatan tinggi ke arah TV, di sana tampak Vita/Lilyana dan
Yang/Zhang bertukar tempat. Pertandingan belum berakhir, itu berarti... Vita/Lilyana merebut
set kedua?
Aku melotot semampu yang dilakukan mata sipitku, dan melihat angka 21-15, 19-21 di layar
TV. Astaga! Indonesia berhasil merebut set kedua ini! Mereka nggak mengalah begitu saja. Kami
punya harapan untuk mencuri nilai dari partai ini.
Atmosfer tegang langsung melandaku. Set penentuan ini harus dimenangkan Indonesia.
Kalau China sampai menang lagi, bisa gawat. Mereka bakal unggul 2-0, dan rasanya mustahil
mengejar ketertinggalan dua partai dan berbalik menang, jika lawannya China. Apalagi, setelah
ini Adrianti Firdasari yang bakal bermain melawan Lu Lan. Bukannya aku meremehkan Firda,
tapi, astaga, yang bakal dia lawan itu Lu Lan! Ranking dua dunia, sementara Firda masih di luar
top 25. Akan sulit baginya, belum lagi ditambah beban mental gue-harus-menang yang bakal
diembannya jika Indonesia keburu tertinggal 2-0.
Set ketiga sudah dimulai. Nggak seperti sebelumnya, kali ini perhatianku terfokus penuh pada
layar TV. Beberapa kali aku memang merasakan hantaman realitas di dalam hatiku bahwa citacitaku
sudah buyar, seperti yang kurasakan tadi, tapi aku berusaha mendorongnya ke bagian
belakang kepalaku. Nggak boleh cengeng dulu sekarang. Harus fokus nonton set ketiga!
Set penentuan ini berjalan cepat. Pasangan Indonesia mengeluarkan kemampuan terbaik
mereka agar bisa mencuri set sekaligus partai ini, tapi kubu China rupanya nggak mau kalah.
Mereka menyadari betapa bahayanya jika Indonesia mampu menyamakan kedudukan, dengan
posisi sebagai tuan rumah. Lebih aman bagi China jika mereka mengamankan set ini.
Kedua pasangan yang bermain ngotot itu membuatku lupa sejenak pada hantaman realitas
yang membuatku jadi orang yang nggak punya semangat hidup tadi. Ini benar-benar
pertandingan kelas dunia. Luar biasa! Aku sungguh idiot menyaksikannya hanya lewat TV,
padahal sebenarnya aku bisa nonton langsung di Istora. Kalau saja aku mau nekat menuruti saran
Adisty dengan memutuskan Albert, cowok itu pasti nggak punya hak apa pun lagi untuk
melarangku ke Istora...
Pada poin-poin kritis di akhir pertandingan, aku melihat Adhyaksa Dault, Menteri Pemuda
dan Olahraga, disorot oleh kamera TV dalam posisi sedang berdoa. Kedua tangannya terangkat,
mulutnya berkomat-kamit, jelas sekali mengharapkan Indonesia diberi kemenangan. Aku ikutikutan
berdoa di dalam hatiku, dan kali ini doa betulan, bukannya alasan kosong seperti yang
kusodorkan pada Claudia saat ia memergokiku melamun tadi.
Sayang, doaku dan Pak Adhyaksa nggak terkabul. China menutup set ketiga ini dengan 2116,
sekaligus memastikan mereka unggul 2-0 dari Indonesia.
-
menepuk punggungku.
Aku terlongong-longong. Ini beneran Claudia nih, yang ngomong begitu? Beneran adikku,
Miss-udahlah-pasti-Indonesia-kalah, yang superpesimis itu? Yang beberapa hari lalu bilang Sony
Dwi Kuncoro pasti kalah melawan Bonsak Ponsana, padahal saat itu baru set pertama?
Apa semalam adikku diculik alien (karena dianggap sangat tepat merepresentasikan sifat
pesimis manusia bumi, dan karena itu para alien ingin menelitinya), dan yang duduk di
sebelahku sekarang adalah alien yang sedang menyamar jadi Claudia?
Astaga.
h ngomong kalah-kalah
Wah, kayaknya bener-bener alien nih...
Uber nggak ya
membuatku seolah tersengat listrik ribuan volt.
Albert mendadak menoleh, menatapku tajam.
-
u lo main bulutangkis jago. Kali aja kalau lo dulu beneran masuk klub,
sekarang lo bakal ada di Istora. Bukan nonton doang, tapi jadi pemain, kayak Lilyana Natsir,
Aku merasakan ribuan tinju di ulu hatiku. Apa Claudia sungguh-sungguh berpikir begitu,
atau dia hanya asal ngoceh? Kalau dia memang cuma ngoceh, kenapa yang diocehkannya bisa
persis sama dengan apa yang ada di otakku sekarang?
Kalau saja dulu Mama nggak melarangku masuk klub, mungkin saja...
sama Lilyana itu nggak segampang yang lo
juga, mungkin.
Gue bisa dapat akses masuk gratis ke Istora waktu lo tanding, sekaligus bisa pamer sama tementemen
gue kalau lo atlet bulutangkis top. Oh, biar mulutnya si Amelia bawel itu monyong kalau
dia tahu kakak gue lebih ngetop dari kakaknya! Tahu nggak, Aya, kakaknya Amelia itu kan cuma
masuk finalis model smapul, eh... gitu aja dia pamernya selangit. Sampai enek gue dengernya.
Beneran deh, seandainya aja lo masuk tim Uber, dia pasti nggak bisa pamer lagi sama gue, karena
kakaknya cuma beken tingkat nasional, sementara kakak gue tingkat internasional! Eh, atau
seandainya lo dulu nggak bikin kacau pemilihan model yang lo ikutin itu, gue yakin lo juga bisa
Albert, yang tadi melotot, sekarang terkikik geli di seberang sana.
Aku benar-benar bengong mendengarnya. Ya ampun, anak ini kenapa sih? Norak banget! Jadi
tadi dia menyinggung-nyinggung kalau-saja-aku-dulu-masuk-klub-dan-sekarang-tergabungdalam-
tim-Uber itu hanya karena dia ingin bisa pamer sama temennya yang bernama Amelia itu?
menampilkan Firdasari dan Lu Lan yang berjalan memasuki lapangan. Aku nggak mungkin
melewatkannya hanya karena mendengar ocehan Claudia yang nggak jelas itu.
Set pertama dimulai, dan Lu Lan langsung menunjukkan kelasnya. Tapi di mataku, ia justru
terlihat nggak mengeluarkan seluruh kemampuannya. Mungkin dia menganggap enteng Firda,
jadi nggak perlu bertanding sekuat tenaga pun dia bakal menang.
Sayangnya, dugaanku benar. Lu Lan mencuri set pertama dengan mudah, 21-12. Tinggal
memenangkan satu set lagi, maka China akan mempertahankan Piala Uber di negeri mereka.
Aku perih mengingatnya. Mana set kedua Firda banyak melakukan kesalahan sendiri, juga
memberikan bola tanggung yang dengan enak di-smash oleh Lu Lan dan menghasilkan angka
baginya. Aku jadi jengkel. Mungkin kalau aku yang main, aku nggak akan membiarkan Lu Lan
mengecohku dengan bola-bolanya yang...
Aduh, Fraya, sadar dong, sadaaaarr! Ngomong apa kamu ini? Kamu kan cuma duduk di
depan TV, mudah bagimu buat bilang begini-begitu. Firda kan ada di bawah tekanan harus
menang, dan dia ditonton puluhan ribu orang! Nggak mudah berada dalam posisi seperti itu!
aku mengomeli diriku sendiri dalam hati.
Tapi akhirnya, aku tetap harus menerima Lu Lan merebut set kedua dengan angka yang lebih
mudah, 21-10, sekaligus menyudahi partai final ini dengan kemenangan untuk China. Lu Lan
hanya bertepuk tangan di atas kepalanya, lalu berpelukan singkat dengan pelatih dan rekan-rekan
senegaranya. Nggak ada atraksi heboh seperti yang dilakukan tim Uber Indonesia ketika kami
lolos ke final kemarin. Mungkin bagi China, mempertahankan Piala Uber adalah sesuatu yang
biasa, nggak perlu dirayakan dengan euforia berlebihan.
Aku bangkit dari sofa yang kududuki, nggak berminat lagi melihat pemberian medali ataupun
buket bunga kepada pemain-pemain China dan Indonesia. Atau melihat para pemain China
bergiliran memegang Piala Uber dengan wajah sumringah. Bukannya nggak bisa berbesar hati
menerima kekalahan, tapi sudah terlalu banyak kejengkelan yang berdesakan di kepalaku hari itu,
dan aku butuh mengeluarkannya kalau nggak mau jadi gila.
Aku masuk ke kamarku tanpa menggubris Albert, Claudia, Mama, atau siapa pun lagi. Di
kamar, aku membenamkan kepalaku dalam bantal dan menumpahkan tangisku di sana.
Kekesalan karena Albert melarangku pergi ke Istora, penyesalan karena dulu aku nggak terus
ngotot masuk klub bulutangkis sehingga kini aku harus menelan kenyataan bahwa cita-citaku
nggak mungkin teraih lagi, dan rasa sedih akibat kekalahan tim Uber Indonesia yang begitu telak
menumpuk jadi satu di dadaku, membuat air mataku mengalir deras.
Aku menangis sejadi-jadinya.
Gloomy Days
HARI Minggu pagi, aku bangun dengan susah payah karena mataku lengket penuh air mata,
dan berusaha mengingat-ingat, kenapa aku merasa begitu merana?
Ah ya, aku ingat:
1. Tim Uber Indonesia kalah dari China.
2. Tim Thomas bahkan nggak masuk final.
3. Aku nggak diizinkan Albert nonton langsung di Istora.
4. Dan mulai hari ini aku harus hidup dengan kenyataan bahwa impian terbesarku nggak
akan pernah bisa terwujud, sekeras apa pun aku berusaha.
Selama sepuluh menit aku berbaring meringkuk di atas ranjang, dan merasakan permukaan
bantal yang lembap di bawah pipiku. Air mataku semalam belum kering rupanya. Dan aku
masih merasa begitu nelangsa...
Kenapa dulu Mama melarangku? Kenapa dulu aku menurut begitu saja tanpa menanyakan
alasannya pada Mama? Kenapa aku dulu begitu bodoh? Les bulutangkis toh bukan sesuatu yang
negatif, dan aku yakin ortuku sanggup membiayaiku mengikutinya. Fisikku juga kuat sejak kecil,
aku jarang sakit, dan nggak mudah capek, jadi Mama melarangku ikut les pasti bukan karena
alasan yang sama dengan alasan Tante Wenny untuk anak-anaknya.
Apakah karena Mama menganggap jadi atlet akan membuat masa depanku jadi nggak jelas?
Tapi apa yang bisa kita prediksi tentang masa depan? Sarjana-sarjana yang pintar saja sekarang
banyak yang menganggur. Jadi, sekolah dan kuliah yang benar bukan jaminan kita akan punya
masa depan yang jelas.
Atau... Mama dulu mengira bulutangkis hanyalah kegemaran sesaatku saja, dan aku akan
bosan setelah beberapa waktu? Kenapa Mama nggak bisa melihat bahwa itu impianku? Aku toh
bukannya surut setelah dilarang ikut les waktu itu. Aku terus menggilai bulutangkis, ngejogrok di
depan TV setiap ada pertandingan, berharap aku bisa seperti pemain-pemain idolaku yang di TV
itu... Kenapa Mama nggak bisa melihatnya? Apakah impiannya lebih penting daripada
impianku? Apakah cita-citaku nggak membuatnya puas dan bahagia? Apa ia ingin membentukku
menjadi Fraya yang diinginkannya, bukannya membiarkan aku bertumbuh dengan impianku
sendiri?
Aku nggak ingin marah sama Mama, dan aku yakin Mama pasti ingin yang terbaik untukku,
walau itu dilihat dengan sudut pandangnya sendiri, tapi tetap saja sekarang aku sangat menyesali
cita-citaku yang telah amblas itu.
Ya Tuhan, kalau saja aku bisa memutar waktu....
* * *
Seharian ini aku mengurung diri di kamar, hanya keluar untuk makan dan mandi. Orang rumah
kelihatannya pergi semua, dan aku bersyukur karena punya keluarga yang sangat pengertian.
Mungkin mereka mengira aku masih kesal dengan kekalahan tim Uber Indonesia semalam, atau
mungkin dikira aku sedang ngambek sama Albert dan masih kesal, jadi aku dibiarkan begitu saja.
Aku memang lebih suka begini jika ada masalah, dibiarkan berpikir dengan tenang dan nggak
digerecoki segala macam pertanyaan. Nanti jika ingin cerita, aku bakal cerita sendiri. Papa,
Mama, dan Claudia juga menganut paham serupa. Kalau Lio sih aku belum tahu, kan dia masih
kecil. Masalah seberat apa sih yang bakal dipunya anak berumur lima tahun?
Aku meraih koran hari ini dari meja tamu, dan melihat foto tim Uber terpampang di halaman
depan, bersama ofisial dan seluruh pelatih mereka. Meskipun kalah, mereka tetap terlihat
gembira, karena prestasi yang mereka capai telah melampaui target. Sebelumnya, mereka hanya
ditarget sampai ke semifinal. Siapa yang menyangka mereka justru akan melangkah ke partai
puncak?
Tapi melihat foto itu malah membuat hatiku makin pedih. Aku nggak akan pernah ada di
foto yang sama dengan mereka. Aku selamanya hanya akan jadi penggemar, padahal aku ingin
sekali bisa melakukan hal yang sama...
Dari kecil aku sudah menyadari aku punya rasa nasionalisme yang tinggi. Entah kenapa, tapi
setiap melakukan sesuatu, aku selalu berpikir aku ingin jadi anak yang berguna untuk bangsa dan
negara. Kedengarannya naif, dan mungkin lebay, tapi memang seperti itulah yang ada dalam
diriku sejak dulu. Mungkin aku memang seharusnya dilahirkan untuk jadi seorang atlet. Di
dalam diriku sudah tertanam skill, semangat pantang menyerah, rasa nasionalisme, dan keinginan
untuk main bulutangkis. Yang tidak kumiliki hanya kesempatan. Amblas begitu saja karena
larangan dari Mama saat aku berusia sepuluh tahun.
Aku meraih koran hari ini, dan beranjak ke teras rumah. Burung kenari peliharaan Papa
berkicau ribut di dalam sangkarnya. Aku biasanya suka bersiul memancing kicauan burungburung
berwarna kuning cerah itu, tapi sekarang aku nyaris nggak punya niat untuk melakukannya.
Aku nggak punya niat melakukan apapun, seolah semua semangat hidupku lenyap. Aku
orang yang hidup tanpa harapan dan cita-cita.
Aku ingat belum menyalakan HP, jadi aku masuk ke kamar untuk mengambil HP-ku, lalu
menyalakannya sambil duduk di kursi teras. Beberapa SMS mengalir masuk setelah aku
menyalakan HP, mulai dari Sharleen, Charles, Wilson, dan tentu saja Albert.
From: Albert
R u alright?
Nggak, Albert, aku sama sekali nggak baik-baik saja. Aku sudah kehilangan semangat hidup,
dan setiap kali mengerjap saja aku rasanya sudah akan menangis. Kenapa hidup ini cuma satu
kali? Kenapa jika kita menyesali sesuatu dan ingin mengubahnya, kita tak mampu? Kalau saja
manusia bisa memutar waktu...
Aku melamun, mencoba memperkirakan akan seperti apa diriku yang sekarang, jika saja aku
dulu diizinkan oleh Mama, atau mungkin memaksakan kemauanku, untuk masuk klub
bulutangkis dulu.
Aku, seperti yang pernah dibilang Adisty, Claudia, Sharleen, Charles, Wilson, dan puluhan
orang lainnya, MUNGKIN akan berhasil menembus Pelatnas. Atau at least aku cukup
berprestasi untuk tingkat nasional. Dan kalau itu terjadi, tentu saja aku nggak akan bersekolah di
sekolahku yang sekarang. Aku akan masuk SMA khusus di Ragunan, tempat para atlet seumurku
bersekolah.
Aku nggak akan mengenal Albert, apalagi jadian dengannya. Tapi nggak pa-pa, aku nggak
keberatan soal yang satu itu.
Aku juga pasti akan menghabiskan hariku dengan latihan dan terus latihan. Itu juga nggak
masalah, aku sanggup menghabiskan berapa jam pun di lapangan bulutangkis, selama aku belum
pingsan.
Seandainya aku memang masuk Pelatnas, aku pasti setidaknya sudah menjejak sepuluh
negara-negara Asia, seperti Thailand, India, Singapura, Jepang, Taiwan, dan sebagainya, untuk
ikut turnamen bulutangkis. Dan mungkin karena itu aku akan jadi penyumbang terbesar koleksi
magnet kulkas mancanegara milik Mama.
Tapi yang terpenting... aku pasti sudah melakukan hal yang berguna untuk Indonesia.
Bukannya cuma jadi anak SMA yang kerjaannya tiap weekend nongkrong nggak jelas di mal,
belanja ini-itu, makan, nonton, dan pacaran.
Tidak apa-apa, aku hanya akan kehilangan teman-teman SMA-ku seandainya itu terjadi.
Memang susah membayangkan bakal seperti apa hidupku tanpa Adisty dan Sharleen, tapi yah...
mereka bakal baik-baik saja tanpa aku, kan? Akan ada Fraya-Fraya lainnya yang menggantikanku
menjadi sahabat mereka.
Aku merasakan air mataku menetes lagi. Ya Tuhan, kalau bisa, ingin sekali kucabut perasaan
pedih ini. Ia menikam begitu dalam, sampai aku nyaris sesak napas karenanya. Tadinya aku
mengira, kalau cita-citaku nggak tercapai, ya sudahlah... Tapi aku nggak pernah menyangka, di
umur 18 tahun aku sudah akan menyesali jalan hidupku.
Sudah terlambat untuk mengejar semuanya, sudah nggak ada lagi harapan yang tersisa.
Kalaupun aku masuk klub sekarang, paling aku hanya akan jadi orang-orang yang sekadar main
bareng setiap sore di gedung klub, bukannya berlatih secara intensif dan pergi ke negara-negara
lain untuk bertanding membawa nama negara.
Aku sudah pernah bilang kan, jadi atlet bulutangkis itu seperti menandatangani kontrak
seumur hidup? Sekali melakukannya, akan susah bagimu untuk mengambil jalan lain.
Tapi jika ada kontrak seumur hidup yang harus kupilih, kontrak inilah yang ingin
kutandatangani.
* * *
Jam setengah enam sore, aku sudah mandi dan duduk manis di depan TV, tapi posisi dudukku
kaku dan sorot mataku menerawang, seolah aku penderita stroke, dan yang bisa kulakukan
hanyalah menatap lurus ke depan. Hari ini, dan entah sampai berapa hari ke depan, tingkah
lakuku pasti akan seperti robot.
Aneh, rasanya ada yang kurang...
Aku menatap sekeliling, dan menyadari aku hanya duduk sendiri di ruang keluarga, sementara
kemarin ruangan ini penuh dengan Claudia, Lio, Mama, Papa, dan... Albert.
Oya, Albert! Kok dia belum datang? Apa dia nggak kepingin mengawasiku supaya aku nggak
ngibrit ke Istora? Hari ini kan final Piala Thomas...
Ah aku tahu, dia pasti nggak datang karena:
1. Final Piala Thomas hari ini akan mempertandingkan Korea vs China. Albert pasti
menduga aku nggak akan tertarik ke sana karena nggak ada Indonesia-nya. Jadi, karena aku
nggak ada niat ke sana, dia pun nggak perlu datang ke sini mengawasiku.
2. Dia mengira aksi dramatisku masuk kamar dan nggak keluar-keluar lagi setelah final Piala
Uber kemarin itu adalah semata-mata karena aku ngambek padanya, dan hari ini dia ogah
menerima perlakuan yang sama lagi, makanya nggak datang.
3. Albert takut aku masih marah padanya. Apalagi aku belum membalas SMS-nya tadi pagi.
Malas aja. Dan biasanya kalau aku lagi ngambek, dia memang membiarkan kepalaku dingin
dulu, nggak langsung menelepon atau merongrong dengan SMS lainnya.
4. Albert tahu diri, dan dia nyadar kehadirannya sekarang nggak kuharapkan.
Aku menghela napas. Nonton rame-rame memang kadang membuatku sebal karena jadi
bising dan aku nggak bisa menikmati pertandingan dengan fokus (apalagi kalau Claudia udah
Aku hampir saja memanggil Bi Munah, pembantu keluargaku, untuk menyuruhnya
menemaniku nonton bulutangkis di sini, tapi aku lalu teringat, jam segini pasti Bi Munah lagi
asyik-asyiknya nonton sinetron dangdut. Itu lhooo... sinetron Indonesia tapi yang dibumbui
nyanyian dan tarian ala film-film India. Plus nyaris semua pemainnya pakai wig dan suaranya di-
clubbing. Bi Munah tergila-gila banget sama sinetron semacam itu, dan tentu saja aku akan
seolah menyiksanya, jika merenggutnya dengan paksa dari menonton sinetron di TV belakang
hanya untuk menemaniku nonton bulutangkis di sini. Mungkin bagi Bi Munah, siksaan itu akan
sama beratnya seperti apa yang kurasakan saat Albert melarangku nonton Thomas-Uber Cup
langsung di Istora.
Jadi, aku tetap membenamkan bokongku di sofa, dan menatap TV dengan setengah
melamun. Benar-benar masih sulit dipercaya, final Thomas Cup kali ini tanpa Indonesia.
Nonton China vs Korea terasa hambar, dan aku nggak minat mendukung dua-duanya. Mau
dukung Korea, aku masih kesal karena mereka yang mengalahkan tim Thomas Indonesia di
semifinal. Tapi mau dukung China pun aku ogah, karena tim Uber mereka juga kemarin
mengandaskan tim Uber Indonesia.
Memang, China sangat hebat di segi prestasi bulutangkisnya. Regenerasi pemain mereka juga
bagus sekali. Belum habis era pemain hebat yang satu, sudah muncul pelapisnya yang nggak
kalah tangguh. Dengar-dengar sih memang pelatihan para atlet bulutangkis di China sangat
keras. Aku malah pernah mendengar rumor bahwa setiap pagi para atlet bulutangkis China harus
berlari naik ke atas bukit sambil memanggul karung pasir untuk melatih fisik mereka. Yeah, gila
memang. Tapi itulah kenapa mereka sekarang bisa segitu sarat prestasi.
Just wondering, seandainya aku jadi atlet, apa aku bakal mendapat latihan sekeras itu juga ya?
Dan apa aku sanggup?
Ah, jadi mikirin itu lagi! Seharian ini pikiran itu sudah memburuku terus seperti hantu, dan
aku nggak bisa diam lima menit tanpa kepikiran hal itu lagi. Rasanya, sepanjang hari ini, jika aku
melakukan apa pun, aku tahu itu nggak bakal ngaruh pada mimpiku. Aku hanya akan terus
melalui hari-hari hidupku dengan rutinitas yang membosankan.
Bukannya aku nggak bersyukur pada Tuhan untuk hidupku, tapi... aku penasaran, apa yang
bakal terjadi dalam hidupku jika dulu aku memilih jalan yang berbeda dengan jalan yang kulalui
sekarang? Apa aku akan sukses mengejar mimpiku, atau justru malah putus asa di tengah jalan,
dan ujung-ujungnya balik jadi anak SMA seperti sekarang?
I never know.
Layar TV sekarang menayangkan Park Sung Hwan dan Lin Dan yang mulai memasuki
lapangan. Senyum Lin Dan mengembang lebar sekali, seolah dia yakin 100% bakal membawa
kemenangan bagi timnya malam ini. Hanya opini pribadiku, tapi aku nggak begitu suka Lin
Dan. Tampangnya snob banget.
Dan Park Sung Hwan, ya ampun... dia kebalikan dari Lin Dan! Wajahnya selalu
menunjukkan ekspresi memelas pasrah, siap kalah, dan menyerah. Yah, tapi itu kan cuma
ekspresi wajahnya. Toh begitu-begitu juga dia yang mengalahkan Sony Dwi Kuncoro dua hari
lalu.
Pertandingan berlangsung cepat. Park merebut set pertama, tapi Lin Dan membalasnya di set
kedua dan ketiga, sekaligus memastikan China unggul 1-0.
Partai kedua Korea menurunkan Lee Yong Dae/Jung Jae Sung, sementara China menurunkan
Cai Yun/ Fu Haifeng. Kayaknya Yong Dae dicekoki ginseng lagi oleh pelatihnya, jadi dia main
bak kesetanan. Korea unggul dua set langsung, menyamakan kedudukan menjadi 1-1.
Hari ini rasanya berlangsung begitu cepat. Baru kali ini aku nonton bulutangkis tanpa
jejeritan histeris di depan TV. Aku hanya duduk diam, kadang memperhatikan pertandingan
yang sedang berlangsung, kadang tenggelam dalam lamunanku sendiri.
Partai ketiga, China menurunkan Bao Chunlai, pebulutangkis China yang paling banyak
mempunyai penggemar di Indonesia karena wajah imutnya, sementara Korea menurunkan Lee
Hyun Il. Set pertama berjalan alot. Kejar-mengejar angka terus terjadi. Berkali-kali Bao match
point, tapi nggak berhasil menyelesaikannya. Lee terus berusaha mengimbangi dan memaksakan
deuce, tapi akhirnya Bao menutup set pertama dengan 28-26. Rekor angka tertinggi selama
Thomas-Uber Cup ini.
Set kedua, Bao bermain lebih cerdik, dan menutup dengan mudah, 21-11. Kedudukan jadi 21
untuk China.
Berhubung belum ada yang merebut tiga partai, maka partai keempat dimainkan. Ganda
kedua China adalah Xie Zhongbo/Guo Zhengdong, sementara Korea diwakili oleh Lee Jae
Jin/Hwang Ji Man.
Kedudukan unggul 2-1 ternyata membawa semangat sendiri bagi Xie/Guo. Mereka ingin
secepatnya menuntaskan permainan, sementara kualitas ganda kedua Korea tak sebaik ganda
pertama mereka. Walaupun Korea sempat memaksakan rubber set, tetap pada akhirnya China
mengambil partai ini, sekaligus memastikan Piala Thomas tetap di negeri mereka untuk dua
tahun ke depan.
Yeah, bagus banget, piala Thomas dan Uber dikawinkan sekali lagi oleh China. Entah untuk
yang keberapa kalinya.
Aku bangun dari sofa dan mematikan TV. Lagi-lagi aku malas nonton acara penyerahan piala
dan pengalungan medali. Dan entah kenapa, walau hari ini aku nggak melakukan kegiatan apa
pun (banyakan meringkuk di sofa dan ranjang doang), aku merasa capek luar biasa. Sepertinya
ada karung untuk latihan fisik para atlet bulutangkis China yang dibebankan di atas
punggungku.
Aku masuk kamar, mematikan lampu, dan membenamkan diriku di ranjang lagi.
* * *
Kayaknya aku nggak pernah semalas ini pergi ke sekolah. Bahkan biasanya habis libur panjang
pun aku tetap semangat masuk sekolah. Kali ini benar-benar aneh, dan yah... aku tahu kenapa:
karena walaupun sekolah selalu digembar-gemborkan sebagai jalan untuk meraih masa depan
yang kita inginkan, itu nggak berlaku bagiku. Masa depan yang kuinginkan kan untuk jadi atlet
bulutangkis, dan sekolah sama sekali nggak membantuku mewujudkan mimpi itu.
Hidupku benar-benar menyedihkan. Tapi, jelas ortuku nggak bakal mengizinkanku bolos
sekolah hari ini. Dan karena Albert nggak datang menjemputku pagi ini (mungkin sekarang
ganti dia yang ngambek karena SMS-nya kemarin nggak kubalas?), aku terpaksa naik angkot ke
sekolah.
Sampai di sekolah, aku menggelosor di mejaku. Tak bersemangat... tak bersemangat...
Good morning
pemilik suara itu adalah Adisty.
Bad morning
Aku masih menelungkupkan kepalaku di meja, nggak menjawab pertanyaan Adisty.
-
para artis yang akan
-
para artis yang akan
bercerai saat ditanyai infotainment apa alasan mereka untuk bercerai.
Kali ini aku mengangkat
lama, sementara lama-lama perbedaan gue dan Albert makin mencolok, dan chemistry di antara
kami m
Oh no, jangan bilang perbedaan yang semakin mencolok itu adalah masalah lo tergila-gila
tergila-gila
pada bulutangkis, Dis, gue terobsesi. Jadi atlet bulutangkis adalah impian terbesar dalam hidup
gue, dan Albert nggak bisa mengerti itu. Walaupun sekarang gue nggak bisa mewujudkan impian
gue itu, at least gue ingin kegilaan gue pada bulutangkis nggak diusik, tapi apa yang dilakukan
Albert? Dia ngelarang gue nonton live kejuaraan bulutangkis paling bergengsi sedunia yang
an itu sama
aja dengan menyiksa gue... Gue lebih milih diputusin daripada dilarang nonton Thomas-Uber
Sebuah suara terdengar di belakangku, dan aku tahu, sekali lagi, aku telah membuka rahasia
isi hatiku sendiri.
Albert berjalan mendekati bangkuku, sementara Adisty menatapku dengan ngeri.
fine
Aku menatap Albert tanpa berkedip. Ini hal yang sangat kuinginkan beberapa hari lalu, tapi
sekarang saat ini terjadi, aku justru merasa biasa saja. Nggak senang, nggak sedih, aku hanya bisa
menatap Albert dalam diam.
know. Dan gue nggak pernah bisa
Aku masih tetap diam.
selalu berusaha jadi cowok terbaik buat lo. Nyatanya, hanya karena gue ngelarang lo nonton ke
Istora, yang adalah sebagai hukuman atas kesalahan lo sendiri, lo nyuekin gue habis-habisan di
rumah. Masuk kamar dan nggak keluar-keluar lagi saat tim yang lo banggakan setengah mati
kalah. Please deh, Fraya,
Kali ini aku menatap Albert lebih tajam. Apa katanya tadi, dia berusaha jadi cowok yang
terbaik buatku? Nggak salah tuh? Kalau emang benar seperti itu yang dia lakukan, seharusnya
kan dia mengerti apa yang aku suka, bukannya malah melarang-larang aku dan selalu menyindir
hobiku, plus membanding-bandingkannya dengan cheers?
Albert menatapku galak, melemparkan tas sekolahnya ke bangkunya, lalu berjalan ke luar
kelas dengan marah.
Adisty, yang tadi menjauh sedikit saat Albert masuk kelas, tergopoh-gopoh mendekatiku.
bertengkar sengit dan bilang enough-enough
-
larang terus sama dia. Paling nggak sekarang gue bebas main dan nonton bulutangkis kapan pun
gue suka, tanpa ada cowok tengik melarang-abku seenak udel.
sementara aku kembali menelungkupkan kepala di atas meja.
Aku baru saja putus dengan cowok yang kupacari selama dua tahun, tapi sama sekali nggak
ada gejolak emosi dalam diriku.
Itu karena hatiku sudah sesak penuh perasaan putus asa karena aku nggak akan pernah meraih
cita-citaku, tak ada ruang untuk perasaan yang lain lagi.
* * *
Seminggu sudah berlalu sejak aku dan Albert putus. Anehnya, aku nggak merasakan perbedaan
yang berarti, cuma frekuensiku naik angkot saja yang meningkat, karena sekarang nggak ada
cowok yang mengantar-jemputku ke sekolah lagi. Yang lain rasanya biasa saja, dan aku masih
tetap seperti robot yang menjalani hidup dari hari ke hari tanpa semangat. Aku hidup hanya
karena saat bangun hari itu ternyata aku mendapati diriku masih bernapas.
Gosip menyebar di sekolahku sama cepatnya dengan koneksi Internet tercanggih, dan dalam
sekejap saja semua orang tahu aku dan Albert sudah putus. Dampaknya, sekarang banyak cewek
yang dengan sukarela menggosongkan kulit mereka dengan berjemur di lapangan, menonton
Albert main basket tiap jam istirahat. Beberapa teman cowokku juga mendadak sedikit ganjen
padaku, sok perhatian dan SMS-SMS nggak penting, tapi semuanya kucuekin.
Sekarang di bawah mataku ada lingkaran hitam besar, karena mendadak aku jadi susah tidur.
Itu karena setiap mau tidur, yang ada dalam bayanganku adalah: aku akan bangun besok pagi,
melakukan lagi rutinitas yang membosankan, dan sudah nggak punya lagi impian yang bisa
kukejar. Tapi, kebanyakan teman sekelasku dan fans
-ku itu. Mereka mengarang cerita bahwa mataku sembap begini karena aku menangis setiap -ku itu. Mereka mengarang cerita bahwa mataku sembap begini karena aku menangis setiap
malam setelah diputusin Albert.
Yeah, yang bener aja.
Albert sendiri sekarang agak menghindariku. Kalau kebetulan kami berpapasan pun, dia
hanya diam dan langsung berlalu lagi. Yang aku syukuri, waktu ditanya beberapa orang tentang
apa alasannya memutuskan aku, Albert tutup mulut. Mungkin dia gengsi juga harus mengakui
bahwa di mataku dia kalah penting dibandingkan bulutangkis, dan karena itu sudah nggak tahan
lagi. Entahlah.
Masalah dengan Albert dan teman-temanku selesai, tapi ternyata hal yang sama nggak terjadi
pada keluargaku.
Sore itu, ketika aku pulang sekolah, Lio sudah menungguku di teras rumah. Dia baru selesai
mandi, dan aroma sabun bayinya harum sekali. Aku langsung menciuminya dengan gemas.
Aku langsung diam. Kenapa aku bisa lupa Lio cinta mati sama Albert? Sudah seminggu dia
nggak melihat Albert mengantarku pulang sekolah, pantas dia bertanya-tanya. Aduh, gimana ya
ngejelasin aku dan Albert udah putus?
Aku menggigit bibir. Biasanya kalau Albert mengantarku pulang, dia bakal mampir sebentar
dan mengajak Lio ke lapangan basket kompleks perumahanku yang nggak jauh dari sini. Dia
bakal menunjukkan kebolehannya sebagai kapten tim basket sekolah, dan Lio akan
menontonnya melakukan lemparan three point dengan mata membelalak terpesona. Setelah itu,
Albert bakal menggendong Lio di atas kepala dan menyuruh Lio memasukkan bola basket ke
dalam ring, membuat Lio merasa hebat juga karena bisa melakukan slam dunk.
Kenapa aku nggak memperhitungkan semua itu sewaktu putus dari Albert minggu lalu?
Lio menggeleng kuat-
Albert!
Oke, kayaknya aku memang benar-benar harus terus terang sama anak kecil ini.
Aku berdiri dan pindah duduk di kursi teras, lalu mengajak Lio bicara sambil menggenggam
tangannya.
sedih yang nggak
Aku memejamkan mataku. Ya ampuuuunn... gimana aku harus ngejelasin? Melihat tampang
sedih Lio sekarang aja aku rasanya sudah kepingin nangis.
-kira gitu, Lio. Kak Aya nakal, dan Kak Albert nggak mau berteman lagi sama -kira gitu, Lio. Kak Aya nakal, dan Kak Albert nggak mau berteman lagi sama
Lio menatapku dalam-dalam setelah aku mengucapkan kalimat itu. Aku sampai nggak
percaya anak lima tahun ternyata bisa melakukan hal semacam itu.
pedih.
Mendadak, tangis Lio meledak. Ia melepaskan tangannya dari genggamanku, dan berlari
masuk ke rumah sambil memanggil-manggil Mama. Aku langsung merosot lemas di kursi.
Seminggu ini aku menghindar cerita pada Mama soal putusnya aku dan Albert, tapi kelihatannya
sebentar lagi aku harus menjelaskan juga.
Dugaanku benar. Nggak sampai lima menit kemudian, Mama muncul di teras dengan
tatapan menuntut penjelasan. Tangan kanan Mama menggandeng Lio yang masih menangis.
Oh no, not that calling-me-Fraya-thing again! Mama pasti bakal ngamuk!
teras.
Mama melongo, sementara Lio, entah kenapa, menangis semakin keras. Seolah aku dan
Albert ini orangtuanya, dan kami bakal bercerai.
Ita dan memintanya membawa Lio yang sedang menangis masuk ke rumah. Itu tanda bahwa
Mama bakal bicara serius denganku.
-hal yang sewaktu baru jadian,
sepertinya bakal bisa kami atasi, tapi ternyata nggak segampang yang aku kira. Semuanya jadi
makin buruk belakangan ini, dan aku sama Albert juga makin sering berantem. Aku pikir, nggak
saat dia
datang ke sini di hari final Thomas-
Aku menunggu Mama meledak marah, tapi ternyata Mama hanya diam selama beberapa
detik sebelum akhirnya bicara lagi.
-lama Lio bakal terbiasa, Ma. Mungkin
alau begitu. Mama sangat menyayangkan, tapi Mama percaya kamu sudah
Mama menepuk lenganku, lalu berjalan masuk ke rumah. Aku menekan punggungku ke kursi
teras dan memejamkan mata.
Ya, sekarang aku sudah besar. Aku tahu risiko dan konsekuensi dari setiap keputusan yang aku
buat. Kalau saja delapan tahun lalu aku juga tahu bahwa menyerah begitu saja pada larangan
Mama untuk masuk klub bulutangkis akan membuatku begini nelangsa di masa depan, pasti
dulu aku akan lebih berusaha membujuk Mama.
Alasan Mama
Aku menenggak air mineralku banyak-banyak. Sharleen baru saja membabatku dua set
langsung, hal yang sangat jarang terjadi sebelumnya. Sebelum ini, kalaupun aku kalah dari
Sharleen, pasti kalahnya rubber set, dan dengan skor yang tipis. Tapi kali ini Sharleen begitu
mudah menjungkalkanku.
-
bawah mata lo makin mirip
Aku refleks meraba pelupuk mata kananku, dan mengusapnya perlahan. Semalam tidurku
gelisah, dan aku terbangun jam empat subuh tanpa bisa tidur lagi. Jadi aku menyalakan
komputer dan mencari situs majalah Shuttlers, lalu membaca artikel-artikel hasil tulisan Shendy
yang berhasil kutemukan di sana. Shendy jenis jurnalis yang mampu memasukkan jiwa ke dalam
setiap tulisannya. Beberapa yang kubaca, seperti artikel tentang bagaimana Greysia Polii berjuang
menjadi atlet sampai seperti sekarang, ditulis dengan sangat bagus, sampai-sampai aku merinding
saat membacanya. Karena keasyikan browsing, aku sampai nggak sadar hari sudah pagi, dan aku
nggak boleh tidur lagi kalau memang nggak mau telat ke sekolah.
Aku menghela napas dan duduk bersila di lantai kayu sports hall tempat kami bermain.
Sharleen mengikutiku. Ekskul hari ini sudah selesai. Pak Richard dan sparring partner-ku yang
lain sudah pada pulang. Tadi aku dan Sharleen memang berniat main satu game sebelum pulang,
hal yang memang biasa kami lakukan. Jadi, sekarang hanya tinggal kami berdua di hall yang luas
ini.
Aku mengernyit, tapi rupanya Sharleen nggak kelihatan sedang bercanda. Rupanya dia benarbenar
mengira lingkaran hitam di bawah kedua mataku ini gara-gara aku patah hati diputusin
Albert. Well, padahal aku menangisinya pun nggak. Tapi siapa Nindy itu?
anyway. Gue dengar sekarang
am, tapi itu hanya karena aku nggak tahu harus berkomentar apa am, tapi itu hanya karena aku nggak tahu harus berkomentar apa
lagi. Jadi sekarang Albert sudah mulai pedekate ke cewek lain? Baguslah. Dia sebenernya cowok
yang baik, kalau saja dia mau lebih mengerti rasa sukaku pada bulutangkis.
Aku menggigit bibir, dan menimbang-nimbang dalam hati. Apa Sharleen akan menertawaiku
kalau aku menceritakan padanya tentang obsesiku yang nggak kesampaian? Apa dia bakal
menganggapku konyol, dan bakal meledekku sepanjang masa?
Tapi mendadak aku sadar, kalau ada orang yang bisa mengerti perasaanku, Sharleen-lah
orangnya. Bukan Albert, Mama, Adisty, ataupun Claudia, tapi Sharleen. Kecintaannya pada
bulutangkis kan nggak jauh beda denganku.
I wish I could turn back the time
-cita dan impian terbesar dalam hidup gue, hanya karena nyokap
Sharleen diam sesaat, lalu mengerjap tak percaya karena mengerti apa yang kumaksud. Dulu
aku memang pernah cerita padanya tentang kegagalanku masuk klub bulutangkis karena
ditentang Mama.
Sharleen tepat sasaran.
Aku mengangguk.
-
dulu gue masuk klub, mungkin gue
Aku sesak napas saking gembiranya. Sharleen juga pernah merasakan hal seperti itu! Berarti
aku masih normal!
perasaan gue. Tapi lama-lama gue seperti diingatkan, kalau gue bisa memutar waktu pun, nggak
ada yang men
hebat? Gue tahu kemampuan gue, Fray, dan gue bukan jenis pemain yang luar biasa. Banyak
pemain di luar sana yang punya kualitas lebih baik, dan gue bukan orang yang siap menerima
kenyataan cita-
Aku merasakan lidahku kelu.
ah itu lain ceritanya. Gue yakin dengan skill lo sekarang, lo pasti bisa menembus
Pelatnas. Masuk jajaran pemain hebat juga pastinya. Tapi Tuhan tahu yang terbaik buat kita
berdua, kan? Gue percaya apa pun yang gue terima sekarang, itu adalah yang terbaik, dan gue
berusaha menyukurinya, walaupun... yah... gue masih sering juga mupeng kalau lihat Maria
Kristin atau Lilyana Natsir di TV, hehehe... Aduh, kok jadi curhat mellow
Sharleen menjitaki kepalanya sendiri, tapi aku masih terpaku diam pada ekspresi dan posisiku
tadi.
terima pemain dengan usia gue, usia kita sekarang, tapi sudah nggak ada lagi. Maksimal empat
belas tahun, and it was so long time ago when I was fourteen
Sudah terlambat. Sudah terlambat. Sudah terlambat...
-sama tahu kan, pemolesan atlet bulutangkis itu dimulai sejak kecil?
Ki
Aku menelan ludah. Biarpun aku bisa menduga fakta ini, tapi mendapat kepastian tentangnya
benar-benar menyakitkan. Tadinya sempat ada harapan bodoh bahwa, mungkin saja, masih
belum terlambat bagiku untuk mengubah arah. Bahwa, mungkin saja, aku masih bisa meraih
cita-citaku karena ada klub yang bisa menerimaku jadi anggotanya dan menggemblengku...
bulutangkis seperti ini. Tapi lumayan lah, daripada n
Aku nggak menjawab, kugigit bibirku kuat-kuat. Mungkin benar kata Sharleen, kami masih
cukup beruntung bisa ikut ekskul bulutangkis, daripada nggak sama sekali, tapi aku tetap merasa
nggak puas. Seolah aku ini burung rajawali, tapi dipaksa menjadi anak ayam yang oke-oke saja
tinggal di kandang.
Sharleen mengguncang-guncang badanku, dan aku kontan tersentak.
kemarin,
-benar disadarkan gue kepingin jadi
sudah nggak ada kesempatan
lagi untuk jadi seperti mereka. Gue pikir, kenapa gue nggak berusaha menikmati hidup aja?
Kenapa gue harus memaksakan diri? Gue masih bisa menikmati bulutangkis, walau nggak terjun
Aku berusaha memahami kata-kata Sharleen, tapi nggak tahu kenapa, pikiranku seperti
-kata Sharleen Wiryono. Aku nggak mau semua
kalimat itu meresap ke dalam diriku. Aku masih belum bisa menerima bahwa aku sudah
kehilangan semua harapan....
* * *
Tanpa terasa, sudah tiga minggu aku dan Albert putus, dan hidupku makin terasa hampa.
Bukan, bukan gara-gara putusnya aku dan Albert, atau karena Albert sudah resmi jadian dengan
Nindy minggu lalu, tapi semata-mata karena aku hidup tanpa harapan dan impian lagi. Setiap
pagi aku hanya bangun dan melakukan rutinitas yang membosankan: mandi-berangkat-sekolahpulang
sekolah-belajar-mandi-makan-tidur-bangun lagi, begitu terus setiap harinya. Hidupku
kosong seperti hidup Bella Swan setelah ditinggal Edward Cullen.
Lama-lama aku muak pada diriku sendiri. Sampai suatu hari aku ingat, sampai sekarang aku
belum tahu pasti apa alasan Mama melarangku masuk klub bulutangkis sewaktu aku kecil dulu.
Ya, sekarang aku sudah cukup besar. Mama pasti bisa menjelaskan alasannya, dan aku juga pasti
bisa memahaminya.
Aku nggak mau kalau ternyata besok aku ketabrak angkot saat mau berangkat sekolah, aku
belum tahu apa alasan Mama melarangku masuk klub bulutangkis itu, bisa-bisa aku jadi arwah
penasaran karena masih ada urusanku yang belum selesai di dunia ini!
Mm... nggak segitunya sih... Tapi yah, pokoknya aku harus mencari tahu dari Mama saat ini
juga!
Mama di mana ya sore-sore begini? Tadi sih waktu aku pulang sekolah...
Ah ya, pasti di kebun!
Aku setengah berlari menuju kebun depan, dan ternyata dugaanku benar. Mama ada di sana,
sedang mengguntingi dedaunan kering dari tanaman-tanamannya yang memenuhi kebun.
-nimbang dalam hati. Apa aku serius mau
menanyakan hal ini ke Mama? Apa Mama bakal marah nanti? Karena aku meragukan apa yang
dipandangnya sebagai yang-dia-lakukan-demi-kebaikanku-sendiri?
-
bunganya. Duh! Salah sikon! Mama tuh paling nggak nyambung diajak ngomong kalau lagi
asyik berkebun. Bisa-
setelah memanggilnya tadi,
tapi tangannya masih asyik mengguntingi dedaunan kering.
Oke, now or never!
Mama diam sejenak, tapi tangannya terus bekerja.
ya.
Ngg... kayaknya bener deh, Mama nggak nyambung dengan pertanyaanku.
bilang Mama nggak
Aku melongo selebar-lebarnya.
Aku meremas-remas tanganku dengan gelisah. Jangan-jangan habis ini Mama marah besar,
dan bakal melarangku ikut ekskul, atau nonton, atau suka lagi pada bulutangkis. Tapi aku harus
mencari tahu, apa alasan Mama dulu. Harus!
amu jadi atlet
Aku mencelos, dan memutar kembali ingatanku ke saat itu. Aku, berumur sepuluh tahun,
minta Mama memasukkanku ke klub bulutangkis di dekat rumah. Mama bilang nggak boleh,
tanpa memberi alasan apa pun. Dan memang saat itu aku mau ujian kenaikan kelas...
Aku tersentak dari lamunanku, dan kembali ke masa sekarang. Mama berdiri di depanku,
menatapku lekat-lekat.
nya waktu itu... setelah ujian, aku minta masuk klub,
setelah ujian selesai. Tapi waktu itu Mama kira kamu sudah hilang minat pada bulutangkis.
Aku terpaku di tempatku dengan mulut menganga lebar dan mata yang berulang kali
mengerjap. Jadi... itukah alasan Mama sebenarnya?
Hanya itu?
Dan aku mengira, impianku sudah terkubur selamanya karena nggak mendapat restu
orangtuaku, padahal Mama melarangku masuk klub hanya karena aku memintanya sebelum
ujian kenaikan kelas?
Aku meraskaan dadaku sesak. Ini tidak benar. Rasanya aku akan lebih bisa menerima kalau
Mama bilang alasannya dulu adalah karena ia menganggap bulutangkis tidak akan memberikan
masa depan yang menjanjikan bagiku, atau karena Mama lebih suka aku jadi dokter, pengacara,
Impian terbesarku hancur hanya karena aku nggak mau meminta kejelasan pada Mama dulu.
Padahal kalau saja aku melakukannya, mungkin sekarang aku...
Aku tersentak, dan mengusir air mata yang menuruni pipiku secepat kubisa dengan tangan.
-
Dan aku berlari menghambur masuk ke kamarku, nggak keluar-keluar lagi biarpun Mama
memanggilku berulang kali.
* * *
Ketika akhirnya aku keluar dari kamar untuk mencari makan karena lambungku meraung-raung,
Mama sudah siap menginterogasiku. Tapi, sebelum Mama sempat menanyakan apa pun, aku
sudah berlari ke kulkas dan mengganyang donat J.Co yang kutemukan di sana dengan rakus.
ahal tadi Mama sudah panggil-panggil kamu untuk
Aku nggak menjawab, masih terus mengunyah donatku, merasakan potongan-potongan
kacang almond di lidahku.
Mama memberi isyarat supaya aku duduk di kursi pantry, dan aku tahu, itu berarti Mama
bakal mulai bicara serius denganku.
Nggak sampai satu menit, teh hangat sudah tersaji di hadapanku. Mama membuat es teh
untuk dirinya sendiri, dan mengambil sepotong donat lagi dari kulkas.
-basi, sebelum Mama mulai menginterogasiku. Entah
kenapa, aku merasa akan lebih baik kalau aku mengulur waktu pembicaraan ini sedikit. Mungkin
dengan begitu aku bisa lebih menenangkan diriku.
lagi.
donat yang masih ada dalam mulutku dengan susah payah karena mendengar kalimat Mama itu.
tanpa semangat hidup...
Aku tercekat. Rupanya Mama memperhatikan juga semua tingkah lakuku, padahal aku sudah
berusaha sebisa mungkin agar kelakuanku tidak terlihat aneh, dan agar aku tidak diinterogasi
begini. Tapi kayaknya kejadian tadi sore di kebun sudah menggagalkan segala usahaku untuk
berpura-pura normal.
itulah yang melintas di otakku.
sama Albert.
sore, kamu nangis gitu aja setelah nanya apa alasan Mama melarangmu masuk klub bulutangkis
dulu. Itu jelas nggak ada hubungannya sama Albert. Ada apa, Aya
Dan tanpa bisa dicegah lagi, aku menangis tersedu-sedu di hadapan Mama. Kenyataan bahwa
Mama bisa menebak apa yang sedang kurasakan, bahwa aku ada masalah dan berpura-pura aku
baik-baik saja, membuat tangisku pecah.
Mama memelukku tanpa mengatakan apa-apa, hanya membelai rambutku perlahan. Aku
seperti kembali ke masa kecilku. Di saat aku ketakutan karena ada hujan petir atau teringat film-
film hantu di TV, aku selalu mencari Mama untuk minta dipeluk, dan setelah itu aku bakal
merasa aman dan tenang.
Lalu aku menjelaskan masalahku pada Mama dengan tangis sesenggukan. Aku lega bisa
bercerita, tapi terselip juga rasa takut... jangan-jangan Mama kira aku bakal menyalahkannya,
karena memang bisa dibilang dialah yang membuat cita-citaku kandas begitu saja, walau aku
sama sekali nggak menyalahkannya.
Mama terdiam beberapa saat setelah aku selesai mengeluarkan unek-unekku, dan perasaanku
makin tak keruan. Apa jadinya kalau Mama marah padaku? Mama jenis orang yang jarang
marah, tapi sekalinya ngambek, ia akan sangat susah dibujuk dan diajak berdamai.
kamu kehilangan kesempatan untuk mewujudkan impian terbesarmu.
Mama terdiam lagi, dan sedetik kemudian aku melihat air mata mengalir turun di pipinya.
Aku syok, tapi tanganku refleks mengusap air mata di pipi Mama.
dan mau bertanya lebih jauh apa alasan Mama, semua ini juga nggak bakal terjadi. Tapi
-betul cinta sama bulutangkis, Mama pasti akan
membantumu mewujudkan cita-citamu. Tapi waktu itu kamu masih kecil, dan Mama kira kamu
-pa kok. Aku memang sedih, dan rasanya hampa banget sekarang
ini. Tapi aku tahu semua yang sudah terjadi sekarang adalah yang terbaik. Tuhan pasti punya
rencana lain yang lebih indah buat aku, Ma. Jadi Mama jangan menyalahkan diri Mama sendiri,
Mama mengangguk, dan aku merasa batinku perih. Kenapa aku ini? Kenapa aku jadi seperti
memojokkan Mama? Padahal ia sudah melakukan begitu banyak hal untukku sejak aku lahir.
Dan kalaupuns ekarang aku nggak bisa jadi atlet bulutangkis seperti yang kuinginkan,
memangnya kenapa? Aku toh masih punya kehidupan yang baik, keluarga yang utuh dan
berkecukupan, tubuh yang sehat, mungkins emua yang diinginkan cewek seumuranku. Kenapa
aku harus mengeluh?
Lagi pula, jadi atlet mungkin nggak segampang dan seindah yang kubayangkan.
Indonesia Super Series 2008
SETELAH adegan curhat melodramatis yang terjadi antara aku dan Mama di pantry waktu itu,
rasa hampa di dalam diriku sedikit memudar. Bukan hilang seluruhnya, karena aku masih saja
suka cengeng mengingat cita-citaku yang nggak mungkin kuwujudkan lagi, tapi... time heals. Aku
sudah mulai bisa menerima kenyataan.
Sebagai kompensasi karena nggak mungkin lagi mengejar cita-citaku untuk menjadi atlet, aku
menenggelamkan diri dengan segala hal dan informasi tentang bulutangkis. Aku bergabung
dengan semua milis bulutangkis yang kutemui di Internet, juga dengan forum-forum pecinta
bulutangkis. Bukannya aku dulu nggak melakukan itu, tapi dulu aku sekadar join, lalu jadi
member pasif. Sekarang aku berusaha sebisaku jadi member yang aktif, termasuk ikut acara-acara
latihan bareng yang sering diadakan komunitas salah satu milis yang kuikuti.
Mama juga sekarang sangat mendukungku ikut kegiatan latihan-latihan seperti itu. Mungkin
sekarang ia ingin menyokongku masuk ke dunia yang kusukai itu, karena dulu ia tak
melakukannya. Bukan karena dulu ia tak mau, taip karena dulu Mama tak tahu aku serius soal
bulutangkis.
bisa kubeli karena harganya selangit. Raket itu Yonex ArcSaber 9
yang biasa digunakan pemain-pemain sekelas Maria Kristin dan Xie Xingfang!
Aku nyaris nggak percaya waktu suatu siang sepulang sekolah aku menemukan bungkusan
berisi raket itu di atas tempat tidurku. Rupanya Mama diam-diam menyuruh Claudia
Hebatnya lagi, Mama bahkan membelikanku raket baru, yang kuincar sejak dulu tapi belum
,
folder-folder di laptop-ku, tempat aku menyimpan banyak sekali foto dan informasi
tentang raket itu. Lalus etelah tahu raket apa yang sedang kuincar, Mama langsugn mencarinya
di toko perlengkapan olahraga, dan membelikannya untukku. Yes!
Kembali lagi ke kegiatan latihan bareng yang sering kuikuti sekarang ini. Jadi jagoan
bulutangkis di sekolah ternyata tak membuatku bisa memenangi sesi latihan yang diadakan dua
kali seminggu itu dengan mudah. Aku minim pengalaman, dan lawan-lawan yang pernah
kuhadapi paling hanya para sparring partner-ku di sekolah, sementara peserta-peserta lainnya
sudah sering berlatih bersama dan punya teknik permainan yang lebih matang. Ditambah lagi,
kebanyakan anggota latihan itu adalah bapak-bapak. Tapi mereka semua baik dan
memperlakukanku seperti anak sendiri, karena rupanya banyak juga yang memiliki anak
seumuranku. Tapi anak-anak mereka sebagian besar telah bergabung di klub bulutangkis sejak
kecil, malah banyak yang sekarang sudah ikut event-event ke luar negeri, dikirim oleh klub-klub
tempat mereka bernaung.
Ada suatu kali aku iri sekali mendengar cerita Pak Yoso, yang anaknya dikirim mengikuti
International Challenge ke Paris oleh klub bulutangkis tempatnya bergabung, tapi aku
memendam rasa iri dan mupengku itu kuat-kuat. Baru setelah aku pulang dan sendirian di
kamar, aku tenggelam dalam tangis. Aku terus saja kepikiran, seandainya aku dulu masuk klub,
apakah aku bisa dikirim ikut turnamen-turnamen sampai ke luar negeri juga? Tapi aku tahu, itu
pemikiran yang bodoh. Nggak ada gunanya aku terus memikirkannya sekarang, toh itu nggak
bakal mengubah apa-apa. Hanya membuatku nggak bersyukur saja.
Tanpa kurasa, hari demi hari berlalu, dan tiba-tiba saja Djarum Indonesia Super Series sudah
di depan mata. Kali ini aku excited luar biasa menunggu event itu berlangsung, karena sekarang
sudah nggak ada lagi pacar bawel yang bakal mengomeliku jika aku tiap hari menyatroni Istora
untuk nonton bulutangkis. Dan Mama pun nggak akan cerewet lagi jika aku pulang malam garagara
nonton bulutangkis. Mama malah memberiku uang jajan lebih supaya aku bisa beli tiket
kelas VIP untuk babak semifinal dan final. Horeeee!
* * *
Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Aku berniat nonton Indonesia Super Series
ini mulai dari hari pertama. Pokoknya, aku nggak boleh kelewatan sedikit pun. Bakal menyesal
sampai nenek-nenek nanti!
Banyak orang yang baru akan nonton pertandingan kelas dunia saat sudah menginjak babak
semifinal atau final. Menurutku itu salah besar, apalagi kalau tujuan nontonnya adalah bisa
ketemu atlet-atlet terkenal untuk minta tanda tangan atau foto bareng. Di babak-babak puncak,
seperti semifinal dan final, biasanya pengamanan bagi atlet bakal sangat ketat, dan akan makin
susah menjangkaunya. Sementara kalau masih babak kualifikasi dan penyisihan, belum banyak
yang datang menonton, pengamanan pun jadi sedikit longgar. Kebanyakan atlet top yang sudah
selesai bertanding nggak langsung balik ke hotel, tapi tetap di Istora untuk menonton rekanrekan
atau calon lawannya bertanding. Dan saat itulah mereka paling mudah untuk didekati!
Plus, mereka juga bakal bersikap super-ramah, karena sedang dalam suasana santai. Lain
ceritanya kalau mereka diburu saat akan bertanding di semifinal atau final. Jelas saat itu mereka
nggak akan menggubris, karena ingin fokus ke pertandingan penting yang bakal mereka hadapi.
Aku jenis pecinta bulutangkis yang nggak terlalu menggilai atlet-atletnya, lain dengan
Sharleen yang tergila-gila pada Simon Santoso dan Lee Yong Dae, pemain ganda putra Korea,
atau seperti si Wilson yang pecinta berat tunggal putri China, Zhu Lin. Aku menggilai
bulutangkis sebagai satu keseluruhan. Soalnya, menurutku nih ya, kalau kita menggilai atlet
tertentu, mungkin rasa suka kita pada bulutangkis bakal memudar jika si atlet pensiun atau
prestasinya mendadak jeblok. Itu sudah terbukti pada kasus Tante Sissy dan Tante Wenny
dengan Ricky Subagdja, hehe. Lain ceritanya kalau aku benar-benar suka pada bulutangkis.
Biarpun pemain-pemain lama pensiun dan muncul pemain-pemain baru, aku bakal tetap suka
bulutangkis. Bukannya aku nggak punya atlet favorit. Aku suka Lilyana Natsir, Maria Kristin,
dan Greysia Polii, tapi itu sebatas pemain favorit aja, karena aku suka gaya permainan mereka.
Aku tetap suka bulutangkis sebagai satu keseluruhan.
Hari pertama itu aku datang bareng Sharleen ke Istora. Wilson dan Charles beranggapan hari
ini belum akan seru karena masih babak kualifikasi, jadi mereka nggak ikut.
Aku dan Sharleen sampai di Istora jam dua siang, dan hanya tersisa beberapa pertandingan
yang bisa kami tonton, karena babak kualifikasinya sendiri sudah dimulai sejak jam sepuluh pagi
tadi. Pertandingan hari ini kebanyakan antar sesama pemain Indonesia yang memperebutkan
tiket ke babak utama. Banyak pemain yang bahkan harus bertanding dua kali hari ini, pada sesi
pagi dan sesi sore, karena meskipun peserta babak kualifikasi banyak, panitia hanya
menganggarkan satu hari saja untuk babak ini. Jadi kasihan juga sama pemain-pemain yang
bertanding dua kali dalam sehari itu. Tapi mereka memang dilatih untuk menjadi atlet andalan.
Stamina mereka benar-benar memungkinkan untuk bertanding dua kali sehari. Kalau aku sih
mungkin sudah teler.
Hari kedua aku datang ke Istroa sambil, tentu saja, membawa tim penggembiraku. Kali ini
anggotanya lengkap, mulai dari Sharleen, Wilson, Charles, sampai Pak Richard pun ada. Dan
ada tambahan satu anggota lagi kali ini: Claudia. Aku nggak tahu pasti apa alasannya ikut. Dia
sih bilang kepingin ngerti tentang bulutangkis juga, tapi aku dapat bocoran dari Sharleen bahwa
Claudia ikut hari ini karena dia bernafsu sekali kepingin foto bareng Simon Santoso. Claudia
ingin memamerkan foto itu ke teman-temannya, terutama musuh abadinya, Amelia.
Ya ampun, anak itu... benar-benar anak yang aneh!
Berhubung turnamen ini diselenggarakan di negeri sendiri, yang berarti nggak perlu
mengeluarkan biaya transportasi dan akomodasi yang besar, Indonesia menurunkan banyak
sekali atletnya, termasuk para atlet nonpelatnas yang tergabung dalam salah satu klub
bulutangkis besar Indonesia, PB Djarum. Aku benar-benar senang, karena semakin banyak wakil
Indonesia, berarti semakin besar peluang Indonesia untuk juara! Nggak peduli deh pemain
Indonesia mana yang nantinya meraih gelar juara, yang penting orang Indonesia.
Aku sudah cukup pengalaman untuk nggak membeli tiket VIP untuk babak kualifikasi dan
penyisihan. Ngapain gitu lho, secara pas dua babak awal itu kan belum banyak penonton, jadi
yang beli tiket tribun pun bisa diam-diam duduk di bangku VIP karena nggak ada penjaga yang
mengawasi.
Tapi hmm... kok tumben ya tiket babak kualifikasi dan penyisihan tahun ini dijual? Indonesia
Super Series tahun-tahun sebelumnya nggak pernah tuh menjual tiket kualifikasi dan penyisihan.
Tiket yang dijual baru tiket babak perempat final ke atas. Tapi mungkin ini karena pengaruh
Thomas-Uber Cup yang mahadahsyat kemarin, yang menghadirkan animo luar biasa, makanya
panitia menduga Indonesia Super Series kali ini pun bakal dijubeli penonton, hingga akan
menguntungkan kalau menjual tiket mulai babak-babak awal.
Aku baru saja mendaratkan bokongku di bangku Istora yang keras dan bersiap menonton
pertandingan antara Adrianti Firdasari dan Hwang Hye Youn dari Korea, waktu HP-ku
berbunyi. Ada SMS.
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Nonton Indo SS gak? Ato masih dihukum cwo lo?
Aku mesam-mesem membaca SMS itu. No way, Shen, gue sekarang udah nggak punya pacar
bawel yang bakal melarang-larang gue memuaskan kegilaan pada bulutangkis lagi!
To: Shendy-wartawan Shuttlers
Ntn dong! Gw udh pts sm cwo tengil itu, i’m free! :D Ini gw lg di
istora. Lo dmana, kok ga kliatan?
selesai membalas SMS Shendy. Tangannya menuding ke player area di seberang tempat kami
duduk.
menoyor Claudia pelan.
-goyangkannya dengan gaya
yang sangat menyebalkan. Persis gaya Lio minta dibelikan es krim kalau kami sedang di
supermarket.
card
nggak mendapatkan jawaban sesuai yang diharapkan dariku, Claudia beralih menanyai Sharleen.
Dasar anak rese!
card bakal langsung
manja semakin
menjadi-jadi. Bikin aku bete setengah mati.
duduk-duduk di tribun. Nah, kita bisa nyamperin pas itu. Atau nanti deh gue minta tolong
temen gue yang
ultimatumku.
Aku melengos. Dasar, kalau ada maunya aja, baru deh dia muji-muji!
-sebut tadi.
-
Aku membuka SMS yang baru masuk, dan ternyata benar dari Shendy.
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Thank GOD! Hehehehehe. Gue di pinggir court 2 nih, kliatan gak?
Masih kerja, ntr ye ketemuan. Sharleen dll ikt ga?
To: Shendy-wartawan Shuttlers
Gpp, gw jg bersyukur kok :p hoo iya, beres deh. Ntr ya ktmuan.
Sharleen cs ikut kok. Ada adk gw jg nih. Dia ngebet pgn ft sm simon.
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Blg ama ade lo, tgguin aja simon hbs main, ntr jg dia duduk di
tribun, samperin deh! ;) Atau kl bs, nanti gw bantu deh..
Aku menunjukkan SMS terakhir Shendy pada Claudia, yang langsung membuatnya
belingsatan kesenangan kayak orang kena serangan cacing kremi.
Yes,
gue bakal foto sama Simon Santoso, yeeess
tinggi-tinggi, sampai beberapa penonton yang duduk di dekat kami menoleh. Ya ampun, anak
ini beneran bikin malu deh! Tahu begini, tadi nggak kubolehin ikut.
ikit
campuran malu karena kami jadi bahan tontonan akibat tingkah konyol Claudia barusan.
maksudnya? Shar, maksudnya a
sekarang juga ikut cekikikan karena melihat wajah bingungnya.
dicekokin ginseng mulu sama pelatihnya. Indonesia Super Series kali ini dia nggak datang,
tawaku makin pecah.
soalnya kali ini Korea
cuma ngirim pemain-
Claudia ber--ria, sementara aku berteriak kesal karena melihat Firdasari baru saja kalah
dari Hwang Hye Youn di lapangan. Aduh! Hari ini saja sudah banyak sekali tunggal putri
Indonesia yang kalah. Mulai dari Maria Febe, Rosaria Yusfin Pungkasari, Maria Elfira, sampai
Firda. Mana nanti Maria Kristin bakal melawan Pia Zebadiah, yang berarti hanya akan ada satu
tunggal putri Indonesia yang tersisa di putara dua besok, hiks...
-lagi mengusikku. Dia nggak lihat
apa kalau aku lagi bete karena tunggal putri Indonesia sudah pada rontok semua? Masih mau
menggangguku dengan segala celotehan nggak pentingnya???
Claudia menunjuk seorang cowok yang sedang bermain ganda putra di lapangan tiga, dan
tanpa perlu memutar otak pun aku sudah bisa memberikan jawabannya.
Aku memutar bola mataku dengan kesal. Claudia ini, dia sebenarnya datang ke sini mau
ngecengin cowok-cowok atlet yang bertanding ya? Sialan! Seharusnya aku bisa menebak
motivasinya itu sejak awal.
Semua cewek maniak bulutangkis seperti aku dan Sharleen pasti kenal nama Edward Satria,
salah satu pemain ganda putra paling hebat yang pernah dimiliki Indonesia periode tahun 2000an.
Waktu itu Edward bersama pasangannya, Antonius Sujudi, menguasai hampir semua gelar
juara turnamen yang ada. Satu-satunya yang bisa menandingini mereka hanya ganda putra
Indonesia lainnya, Candra Wijaya/Tony Gunawan. Edward/Antonius berhasil menyabet tiga
gelar juara dunia berturut-turut, dan mungkin merekalah yang bakal menyabet emas di
Olimpiade Sydney 2000 kalau bukan karena cedera lutut parah yang dialami Antonius beberapa
minggu sebelum Olimpiade dihelat, yang membuat impian mereka untuk ikut dalam pesta
olahraga paling bergengsi sejagat itu kandas. Emas Olimpiade Sydney untuk ganda putra
akhirnya jatuh ke tangan kompatriot mereka, Candra/Tony.
Edward Satria dan Antonius Sujudi sekarang sudah pensiun, dan memilih karier sebagai
pelatih di Pelatnas Cipayung. Salah satu anak didik Edward adalah adik bungsunya sendiri,
Edgar, yang sedang bertanding sekarang ini.
Bukan rahasia lagi, dalam bulutangkis banyak kakak-beradik yang terjun bersama. Seperti
Indra, Candra, dan Rendra Wijaya. Juga Alan Budikusuma dan Johan Hadikusuma. Edward dan
Edgar Satria juga seperti itu, plus satu lagi saudara tengah mereka, Evelyn. Hanya saja, prestasi
Evelyn nggak berkembang seperti kakaknya, sehingga ia memutuskan berhenti di tengah jalan.
Sekarang yang tersisa hanya Edgar, dan dia pun belum menunjukkan prestasi berarti. Tapi aku
maklum, karena Edgar masih muda. Kalau nggak salah, satu-dua tahun di atasku, tapi di bawah
didikan kakaknya, aku berani bertaruh, player one day. Cuma masalah waktu
aja.
Aku memperhatikan permainan Edgar dan partnernya, Steven Hardono, yang sedang
melawan pasangan junior Malaysia yang nama di punggungnya tak bisa kulihat, karena
punggung mereka menghadap tribun seberang. Permainan Edgar/Steven mirip permainan
Markis Kido/Hendra Setiawan. Steven yang bertubuh pendek lebih aktif di garis belakang,
mengembalikan bola-bola tinggi dengan smash tajam, sementara Edgar yang tinggi justru
ditempatkan di depan net, untuk mematikan bola tanggung yang tak bisa dikembalikan dengan
sempurna oleh lawan akibat smash dari Steven.
Edgar/Steven bermain kompak, sampai-sampai aku terpesona meliahtnya. Seolah melihat
Ricky/Rexy truun kembali ke lapangan bulutangkis, hanya saja dengan semangat dan jiwa yang
lebih muda. Dan sudah jelas, siapa yang bakal menjadi penerus Markis Kido/Hendra Setiawan
jika mereka lengser nanti...
Mulutku terbuka dan mengatup seperti ikan mas koki sepanjang melihat Edgar dan Steven
bermain. Claudia, Sharleen, Charles, Wilson, sampai Pak Richard juga sama terpesonanya.
Claudia bahkan nggak lagi menggubris Simon Santoso yang sudah mulai bermain di lapangan
sebelah!
Pasangan Malaysia dibuat keteteran setengah mati oleh Edgar dan Steven. Skill kedua
pasangan itu sebenarnya berimbang, tapi bola-bola mati di depan net selalu dengan cepat
diserobot oleh Edgar, membuat bola tak bertahan lebih dari tiga kali pukulan sejak serve dan
akhirnya mati di bidang permainan lawan.
olong ya, orang di Pelatnas itu latihan dan menimba ilmu biar bisa berprestasi di luar
negeri dan mengharumkan nama bangsa, bukannya ngabisin waktu dengan ngecengin temen
-kata Claudia yang menyebut-nyebut
-ujungnya selalu berakhir dengan situasi
yang menguntungkannya. Minta ampun!
latihan, mata harus tetap waspada ngelirik yang ganteng
mesum.
Aku menirukan gaya orang muntah demi melihat lagak adikku yang nggak normal itu.
segala celotehan aneh Claudia.
Aku mengertakkan gigiku diam-diam, nggak tahu apa aku seharusnya mengomel atau
bersyukur karena ketertarikan mendadak Claudia pada bulutangkis ternyata semata dipengaruhi
keberadaan Edgar Satria dan Simon Santoso.
-
Claudia, dan dia jadi kelihatan sedikit bete. Tiket putaran kedua besok harganya pasti lebih
mahal. Hari ini sih Claudia kubayari, tapi besok? Tak usah yee!
memberitahuku, sambil menunjuk pemain-pemain yang masuk ke lapangan tiga setelah Edgar
dan Steven cabut dari sana.
Untunglah, masih ada Sharleen yang menjagaku tetap waras dan ingat tujuan utamaku datang
ke Istora ini yaitu untuk nonton pertandingan bulutangkis
di
tengah kegilaan yang
disebabkan oleh Claudia.
* * *
Kami naik taksi tadi, karena sudah nggak ada busway lagi malam-malam begini. Tapi
untungnya, karena sudah larut, lalu lintas jadi lengang dan taksi bisa melaju mulus serta argonya
nggak melonjak selangit ketika sampai di rumah kami. Kalau macet, kebayang nggak berapa
uang yang bakal kami keluarkan untuk naik taksi dari Senayan ke Bintaro?
sedang berdiri sambil mengucek-ngucek matanya di sebelahku, kelihatan ngantuk berat.
-nanya mulu kayak anak tiga tahun, bikin orang nggak konsen nonton aja!
Udah gitu, dikit-
mengadu.
kalau dia na
in memang seperti itulah aku.
-tiba. Mata sipitnya yang tadi tinggal lima watt sekarang
melotot semampu yang bisa dilakukannya, bikin aku kaget setengah mati.
anya Mama bingung.
Hah, aku sudah bisa menebak siapa yang dimaksudnya!
-api.
Satria kan pemain lama, Claud... Dia udah tua, kok kamu masih bilang dia keren sih? Kamu
suka sama oom-
yang Cl
jelasku.
lama yang sudah oom-oom, hehe... Tapi emang bener ganteng ya Aya, si Edgar itu?
not bad
not bad
Aku mengembuskan napas dan memutar bola mataku. Kayaknya aku memang nggak
seharusnya membawa Claudia ke Istora tadi siang.
* * *
Hari ketiga Indonesia Super Series, alias memasuki putaran kedua, aku dan tim hura-huraku
kembali datang dengan kekuatan penuh. Sebelum masuk Istora tadi aku janjian ketemu dulu
dengan Shendy, karena kemarin rencana ketemuan kami batal karena dia harus mengejar
beberapa pemain Denmark untuk diwawancarai, sementara aku nggak bisa menunggu gara-gara
Claudia udah ngantuk dan merengek terus minta pulang secepatnya.
Huh, aku rasa itu karena Edgar Satria sudah nggak kelihatan lagi batang hidungnya, dan
pesona Simon Santoso di mata Claudia sudah hilang total akibat Edgar. Jadi Claudia merasa
nggak punya alasan lagi untuk berlama-lama di Istora.
satu per satu, yang mereka balas dengan ramah, sebelum akhirnya tatapannya berhenti pada
Claudia, yang baru kali ini dilihatnya.
i Claudia untuk bikin malu lagi hari ini,
sebenarnya aku lebih senang nggak mengakui dia sebagai adikku, tapi... ya sudahlah, daripada dia
nanti ngadu ke Mama, bakal berabe! Mana tadi Mama sudah mewanti-wanti aku supaya menjaga
Claudia baik-baik. Mama juga ngasih aku uang tambahan untuk beli tiket masuk plus ongkos
transport plus uang makan si Claudia tengil ini! Ck! Kayak mengajak anak umur tiga tahun
jalan-jalan saja. Plis deh, Claudia kan udah empat belas tahun!
dengan gaya yeah-yang-bener-aja. Sharleen cekikikan di belakangku.
image palsunya
di
Shendy ngakak, jenis respons yang sama sekali nggak kuduga.
incaran ABG-
asal.
-eh. Lo nggak lihat permainannya kemarin?
incaran ABG-
asal.
-eh. Lo nggak lihat permainannya kemarin?
Aku mengangguk, karena di luar rasa beteku gara-gara hormon feromon Edgar yang
menyembur berlebihan pada Claudia kemarin, aku tetap bisa melihat bahwa cowok itu memang
bisa bermain bulutangkis.
Ya iyalah. Kalau nggak, mana mungkin dia diturunkan di turnamen sekelas Indonesia Super
Series ini! Aku menertawai cara pikirku sendiri tadi.
kata temen lo! Insting gue akan cowok hebat memang nggak bisa
emarin,
Aku manggut-manggut.
Claudia tiba-tiba menyikutku, sambil memberi isyarat dengan matanya pada Shendy. Aku
mengernyit, tapi lalu sadar apa yang dimaksud Claudia. Kemarin kan Shendy bilang, kalau bisa,
dia bakal bantu Claudia supaya bisa foto bareng Simon Santoso. Tapi hmm... aku yakin yang
jadi target sasaran adikku untuk foto bareng hari ini pasti sudah berubah.
-nyengir nggak penting.
sudah kuduga itu. Aku tadi memang sengaja menyebut nama Simon dnegan slow motion, biar
Claudia sendiri yang meralat kata-kataku.
janji, ya? Atlet itu kan kayak
artis, kadang susah ditemuinya. Udah gitu, keramahan atlet sering tergantung mood. Yah, lo
doain aja Edgar menang hari ini, biar mood-
gat. Aku, lagi-lagi, cuma bisa
menghela napas melihat tingkah tengil adikku itu.
* * *
Doa Claudia terkabul. Edgar dan Steven menang, melaju ke perempat final setelah
mengandaskan pasangan Jepang di pertandingan yang mereka lakoni tadi.
Pertandingannya sendiri lumayan alot, dan karena pasangan Jepang itu seusia Edgar dan
Steven, mereka juga punya stamina yang sama luar biasanya. Tapi, Edgar dan Steven benar-benar
layak diandalkan di masa depan, karena meski berada di posisi terjepit karena kalah lebih dulu di
set pertama, mereka justru bisa merebut dua set berikutnya, dengan mengandalkan banyak
penempatan bola yang akurat.
Satu hal yang bisa kulihat dengan jelas adalah, ketika pasangan Jepang mulai berada di bawah
tekanan dan makin banyak melakukan kesalahan sendiri, Edgar/Steven justru makin tenang dan
terkontrol. Emosi mereka terkendali, dan satu demi satu poin berhasil diraih hingga akhirnya
mereka berhasil memenangi pertandingan tadi.
itu pertandingan
berakhir. Kali ini aku ikut nyengir senang. Rasa nasionalismeku, yang memang selalu fanatik
akan pemain Indonesia, menyeruak ke permukaan.
mood
Claudia sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya dengan tak sabar.
-nya juga nggak langsung ngacir begitu selesai tanding kayak
Claudia
kemarin? Kalau dia ngabur begitu selesai main, mampus deh gue! Kapan gue bisa foto
-
Claudia menggebuk punggungku keras, sukses membuatku meringis menahan sakit. Ya
ampun, dia nggak nyadar apa tangannya itu segeda tutup tong sampah? Digebuk pakai tangan
segede itu membuat punggungku langsung mati rasa!
-
eh malah manas-manasin. Padahal lo juga
Claudia nggak menjawab, lebih karena nyadar ia sudah sekakmat gara-gara kalimat
ngawurnya tadi. Dasar tukang ngaco, aku kan nggak pernah bilagn seperti yang diocehkannya
tadi itu!
Dan akhirnya, sepanjang sisa waktu kami duduk bersebelahan di tribun Istora itu, aku
mendiamkan Claudia. Dia nggak berani mengusikku lagi, dan hanya duduk dengan tampang
bosan karena setelah bertanding ternyata Edgar Satria duduk di player area, area terlarang bagi
orang yang tak punya ID card. Itu berarti Claudia nggak bisa nyamperin Edgar untuk minta foto
bareng.
* * *
-i pada Sharleen yang berjalan menuju pintu keluar -i pada Sharleen yang berjalan menuju pintu keluar
Istora karena ia sudah dijemput. Pak Richard sudah pulang duluan, disusul Charles dan Wilson
yang bawa motor sendiri-sendiri. Jadi sekarang tinggal aku dan Claudia, menunggu Papa yang
akan menjemput kami tapi masih terjebak macet di tengah jalan. Aku dan Claudia terpaksa
menunggu lebih lama, sementara teman-temanku sudah pulang semua.
HP-ku berbunyi. Aku melihat nama yang berkedip-kedip di layar. Shendy.
-celinguk karena melihat hanya aku
dan Claudia yang tersisa.
Shendy berjalan di depanku, menuju ke arah ia datang tadi, sementara aku dan Claudia
mengekor di belakangnya. Ternyata Shendy membawa kami ke dekat tempat parkir beberapa
bus. Di dekat kami ada sebuah pintu yang kelihatannya menuju bagian belakang Istora.
ada di situ. Ada beberapa orang di sekitar kami yang sedang asyik mengobrol. Kelihatannya
mereka panitia dan pekerja media, karena mereka semua pakai ID card.
Aku baru saja hendak duduk di tembok pembatas di sebelah Shendy, waktu kulihat ada sosok
yang berjalan keluar dari pintu dan menuju bus.
Wow, Greysia Polii!
melambai, sebelum akhirnya celingak-celinguk dan nyadar Greysia melambai pada SHENDY,
bukan aku. Aku bisa mendengar Claudia cengengesan melihat aku yang kege-eran. Dasar anak
sialan!
kalau dilihat dari dekat begini. Putih, cantik, imut-imut.
keakraban mereka. Kayaknya Shendy sudah kenal baik dengan Greysia.
kalau gitu. Gue balik duluan, ya? Take care!
Greysia melambai lagi pada Shendy, dan tersenyum pada aku dan Claudia, lalu berjalan
memasuki salah satu bus yang diparkir di dekat kami. Rupanya itu bus khusus yang bakal
membawa atlet dan ofisial kembali ke hotel! Dan pintu yang ada di dekat kami ini pintu khusus
untuk keluar-masuk atlet, panitia, ofisial, dan orang-orang lainnya yang memiliki ID card! Wow,
kenapa aku nggak bisa menebaknya dari tadi?
Aku baru mau bilang sesuatu ke Shendy, waktu pintu di dekat kami membuka lagi, lalu
keluar Maria Kristin! Astaga, Maria Kristin asli! Aku belum pernah melihatnya dari jarak sedekat
ini!
Lagi-lagi aku melongo hebat, karena sama sekali nggak menyangka Maria Kristin juga kenal
Shendy.
dy mengulurkan tangannya, yang dibalas
oleh Maria.
But thanks, anyway
Good luck
Sama seperti Greysia, Maria juga akhirnya melambai pada Shendy dan berjalan memasuki
salah satu bus yang ada di dekat kami, bus yang sama dengan yang dimasuki Greysia tadi.
Sebelum kalimatku selesai, orang yang nyaris kuucapkan namanya muncul.
Oh-my-God dar aku melongo.
Edgar Satria sedang berjalan ke arah kami, dan dia ternyata naujubile gantengnya kalau dilihat
dari jarak sedekat ini!
serangan rasa iri menghantamku. Padahal tadi Shendy juga disapa Greysia Polii dan Maria
Kristin, dua pemain bulutangkis yang bisa dibilang paling kuidolakan, tapi aku sama sekali nggak
merasa iri. Hanya karena Edgar menyapa Shendy saja...
congrats ya udah menang tadi. Besok perempat final Super
Edgar mengangguk, senyum lebar mengembang di wajahnya, membuat Claudia yang berdiri
di sebelahku makin terbengong-bengong saking terpesonanya.
Ya ampun! Pantes aja Claudia ngebet banget pengin foto bareng cowok satu ini. Senyumnya
itu lho! Ganteeeeeeng banget!
Shendy.
.
file drawing pertandingan di otaknya,
aku merasakan serangan iri yang tadi
-baik ya, lawan lo besok Zakry Abdul Latif sama Fairuzizuan
-made in
file drawing pertandingan di otaknya,
aku merasakan serangan iri yang tadi
-baik ya, lawan lo besok Zakry Abdul Latif sama Fairuzizuan
-made in
dan aku yakin, cewek secuek apa pun yang melihatnya saat ini, pasti akan langsung leleh di
tempat!
-Uber Cup masih dibawa-
Kami semua menoleh, dan melihat Steven Hardono muncul dari dalam Istora.
dan setelah menyapa Shendy (ya ampun, cewek satu ini benar-benar kenal semua pemain
bulutangkis!), Steven masuk lagi ke Istora.
ia menawarkannya pada Shendy.
ngambil sepotong dari dalam kotak, dan aku
bisa melihat kotak kue itu ternyata berisi martabak.
menatapnya, plus nggak nyangka ia bakal menawariku makanan padahal bisa dibilang kami
nggak saling kenal, aku justru menolak martabak itu dengan tergagap-gagap.
Edgar akhirnya berkeliling menawarkan martabak pada orang-orang yang kebetulan berdiri di
sekitar kami, dan semuanya menerima makanan gratis itu dengan riang gembira. Aku jadi
tertawa geli di dalam hati. Cowok ini lucu ya. Sebenarnya dia pemain bulutangkis atau seksi
konsumsi sih?
Tapi beberapa menit kemudian aku terbengong-bengong lagi, karena Edgar sudah selesai
menawarkan martabak pada semua orang di sekitar kami, dan ia kembali menawariku!
Aku menggeleng lagi.
-
Akhirnya dia menyerah juga, dan beralih menawari Claudia. Aku masih senyam-senyum
sendiri melihat tingkah Edgar. Benar kata Shendy, Edgar benar-benar cowok yang ramah!
kepalanya ke arahku, setelah Edgar membuang kotak martabaknya yang sudah kosong ke tempat
sampah, dan mendadak aku jadi panas-dingin.
selama beberapa detik sebelum akhirnya tersadar karena disikut Claudia, dan menyambut uluran
tangan Edgar.
Astaga, dia tahu arti namaku! Dia tahu! Ya ampun ya ampun ya ampuuuun!
Edgar tersenyum lagi, tapi kali ini rasa kecewa menyelip muncul di diriku. Bukannya aku
sombong atau apa, tapi selama ini kalau ada cowok yang mengajakku kenalan, mereka pasti akan
sedikit menggombal setelah aku menyebutkan namaku. Kebanyakan bilang bahwa namaku
cantik secantik wajahku, atau gombal lainnya yang sejenis itu. Tapi Edgar, yan gbahkan bisa
menebak arti namaku, justru nggak memuji sama sekali. Ia cuma tersenyum manis.
adikku
tanpa babibu lagi.
tangan Edgar.
Aku membuka menu kamera di HP Claudia, lalu memotret Claudia dan Edgar dua kali.
Aduuuuh, kok tiba-tiba aku jadi kepingin foto bareng Edgar juga ya?
kembali HP-nya dari tanganku, dan sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata pun, ia
setengah mendorongku, sampai aku berdiri persis di sebelah Edgar.
berusaha memotretku dan Edgar. Aku berusaha melirik Claudia dengan jenis tatapan awas-lo-yahabis-
ini-lo-nggak-bakal-selamat, tapi Claudia menghindari tatapanku terus. Ya ampun, aku
grogi banget nih berdiri di sebelah Edgar!
menyempilkan dirinya di antara aku
dan Edgar, benar-benar agresif! Aku jadi nggak punya kesempatan untuk mengomelinya.
Claudia mengajak Edgar ngobrol-ngobrol sebentar, dan aku cuma bisa menyimak obrolan
mereka setengah-setengah, karena lidahku terlalu kelu untuk digerakkan sejak aku ada di dekat
cowok yang satu ini. Aneh banget! Kemarin dan hari ini aku juga melihatnya di lapangan, tapi
rasanya biasa aja... Kenapa setelah dia berdiri di depanku begini aku jadi terpesona banget ya?
Setelah kira-kira setengah jam mengobrol dengan Edgar, diselingi melihat Vita Marissa,
Hendra Setiawan, dan Jo Novita, yang semuanya masuk ke dalam bus atlet setelah menyapa
Shendy dengan ramah (anak ini bener-bener populer di kalangan atlet bulutangkis Indonesia!
Semua atlet top mengenalnya!!!), HP-
Aku mengangkat telepon, Papa bilang ia sudah sampai, dan menyuruhku serta Claudia untuk
ke pintu depan.
Edgar.
Claudia kelihatan nggak rela ketika aku setengah menyeretnya menuju gerbang depan. Jelas,
dia masih mupeng ngobrol-ngobrol sama Edgar sekaligus ngeliatin wajah ganteng cowok itu.
Tapi kan kasihan Papa kalau kelamaan menunggu kami.
Namun, ketika sudah menjauh beberapa meter dari Edgar, aku merasakan sesuatu yang aneh
di hatiku... Perasaan senang dan bahagia yang sempat hilang sejak aku sadar aku nggak bisa
mewujudkan cita-citaku lagi sekarang menyeruak di dalam diriku, dalam dosis yang sangat
besar.
Dan aku yakin, perasaan senang dan bahagia itu ada hubungannya dengan Edgar Satria.
* * *
-seri. Kelihatannya lagi bah
yang terpantul di sana. Hmm... memang wajahku kelihatan beda dari biasanya. Benar kata
Adisty, aku kelihatan bahagia.
-
-
-n menyimpan
nya.
Yeah, we got Bu Irma for first period today. What a nice day!
Aku menelan ludah dengan susah payah. Bahagia orang jatuh cinta, katanya?
tehe. Makanya gue nanya sama lo, Neng! Ada gebetan baru, ya? Siapa nih? Gue
dengan mengeluarkan buku teks fisika juga dari tasku.
--ngedipkan matanya
dengan ganjen.
-
lengkap dengan bunyi ketok-agi ini kita akan ada kuis. Simpan
Kehebohan yang menyerang kelasku sesudah pemberitahuan dan perintah itu bercampur
antara protes akan adanya kuis dadakan dan dengung kekhawatiran mereka yang nggak yakin
bakal dapat nilai bagus. Tapi untuk pertama kalinya, aku bersyukur Bu Irma bikin kuis dadakan,
karena itu berarti aku selamat dari rentetan interogasi Adisty. Walaupun untuk kuis kali ini aku
bakal dapat nilai jelek karena sama sekali nggak mengerti materi dari pelajaran-pelajaran
sebelumnya, tapi biar deh... Toh selama ini nilai fisikaku memang nggak pernah bagus.
sedetik setleah aku mengembuskan napas lega karena mengira sudah lolos dari jeratannya.
Aduh sial, bego banget aku mengira ia bakal melepaskanku!
* * *
Tapi ternyata, aku bisa lepas dari ancaman interogasi Adisty.
Setelah kuis fisika, dia jadi stres parah karena nggak bisa mengerjakan satu pun soal, dan
karena itu lupa menginterogasiku lagi.
Adisty jenis orang yang jika punya masalah akan terus kepikiran. Dia juga termasuk segelintir
murid yang peduli banget sama nilai-nilai pelajarannya. Jadi, sekali dia berpeluang dapat nilai
jelek, pikiran itu akan terus menghantuinya.
yang sudah pulih dari trauma pasca kuis fisikanya, tapi ternyata Sharleen.
ngkahku menuju kantin. Yang
dimaksudnya tentu ingin bareng ke Istora untuk nonton Indonesia Super Series lagi nanti sore.
-
apa yang terjadi di Istora semalam setelah Sharleen pulang.
Sharleen melotot, dan mulutnya ternganga lebar. Aku sama sekali nggak
menyangka reaksinya bakal begitu heboh.
kelihatan gemas sendiri.
elepon, dia ngajak gue ke elepon, dia ngajak gue ke
belakang Istora, dan kami ketemu atlet-atlet yang mau naik bus buat balik ke hotel. Terus ada
Edgar, ya udah... ngobrol-
o udah pernah ngobrol sama beberapa atlet juga,
yang bisa dibilang lebih top dan senior dibanding Edgar, kenapa sekarang lo jadi ngiri sama
Aku memutar bola mataku. Ternyata feromon Edgar memang luar biasa ampuhnya. Bukan
hanya Claudia yang klepek-klepek dibuatnya, tapi juga Sharleen! Padahal Sharleen bahkan belum
sempat melihat cowok itu dari dekat dan mengobrol dengannya seperti yang kualami kemarin.
ari dekat lebih ganteng, ya? Orangnya baik nggak? Terus, lo ngobrol
-satu nih. Dia memang lebih ganteng sih kalau dilihat dari dekat.
Orangnya juga baiiiik banget. Kami ngobrolin macem-macem, dan ternyata hari ini tuh
Challenge
Aku mengangguk. Kemarin Edgar memang cerita bahwa ia baru ikut tiga turnamen Super
Series: Malaysia, Singapura, dan Indonesia Super Series ini. Sebelumnya ia hanya turun di
turnamen-turnamen yang kelasnya di bawah SS, seperti International Challenge atau Grand Prix.
dan di dua SS sebelum ini ia selalu gugur di putaran kedua, jadi berhasil menembus babak
perempat final kali ini sudah jadi prestasi yang bagus banget.
-
-kata Shendy kemarin.
-eh. Kemarin malah Edgar bilang Zakry/Fairuz itu Lee Yong Dae/Jung Jae Sung made in
Malaysia
-
Aku mengangguk setuju, teringat penampilan Lee Yong Dae di Thomas Cup bulan lalu, yang
membuatku meledeknya dicekoki-ginseng-setiap-hari saking energik dan primanya dia di
lapangan.
* * *
Aku dan Sharleen langsung meluncur ke Istora sepulang sekolah. Claudia yang kemarin bernafsu
untuk ikut, mendadak batal karena dia lupa seharusnya hari ini dia nonton Nidji taping acara By
Request di SCTV. Hehe, ternyata Edgar pun belum sanggup mengalahkan Nidji di mata Claudia.
Banyak pemain Indonesia yang bakal berlaga hari ini, tapi jelas, yang paling kutunggu
adalah... Edgar.
Nggak tau kenapa, sejak ngobrol-ngobrol sama dia kemarin, aku jadi seperti ketagihan untuk
ketemu dan ngobrol sama dia lagi. Edgar itu... gimana ya jelasinnya, sangat menarik. Terlepas
dari wajah gantengnya lho ya. Dia enak diajak ngobrol, ramah, lucu, seru, sampai kemarin aja
aku merasa agak nggak rela ketika harus pulang. Rasanya masih kepingin ngabisin waktu bareng
Edgar.
Jam empat tepat, partai yang mempertandingkan Edgar Satria/Steven Hardono melawan
Fairuzizuan Tazari/Zakry Abdul Latif dimulai. Di set pertama kekuatan mereka terlihat
berimbang. Sama-sama pasangan muda dan penuh semangat, pertandingan ganda putra yang
saut ini dibanjiri smash keras yang dilancarkan bergantian oleh kedua kubu. Seolah pertandingan
ini memperebutkan gengsi siapa ganda putra yang bakal paling bersinar di masa yang akan
datang. Sayang, Fairuz/Zakry lebih unggul, mereka merebut set pertama dengan selisih poin
tipis, 21-19.
Set kedua berlangsung lebih panas. Ada insiden ketika bola Fairuz yang dilepas saja oleh
Edgar karena dikira keluar ternyata dinyatakan masuk oleh hakim garis. Edgar terlihat sedikit
emosi, dan setelah itu permainannya jadi terusik. Beberapa kali ia kulihat melampiaskan
kekesalan dengan melakukan smash sekeras-kerasnya, tapi karena dilakukan dengan emosi, bola-
bola itu selalu menyangkut di net. Edgar membuang empat atau lima angka percuma untuk
Fairuz/Zakry.
Gara-gara kehilangan konsentrasi itu, Edgar/Steven akhirnya harus kalah di set kedua,
sekaligus memupus harapan untuk menjejak semifinal Super Series pertama mereka. Sharleen
langsung mendesah kecewa begitu pukulan terakhir Edgar dinyatakan keluar oleh hakim garis.
Aku juga jadi terduduk lesu di bangkuku. Memang masih banyak pemain Indonesia yang lolos
ke babak selanjutnya, tapi nggak tau kenapa aku drop banget menyadari besok nggak akan
melihat Edgar bertanding lagi.
Aku melihat Steven meninggalkan lapangan dengan lesu, sementara Edgar terlihat mengobrol
serius dengan pelatih sekaligus kakak kandungnya, Edward Satria. Aku menebak Edgar sedang
dimarahi, karena Edward terlihat gusar sekali.
Menurutku, wajar saja Edward jadi senewen begitu. Masalahnya, Edgar/Steven nggak kalah
kelas dari Fairuz/Zakry, tapi hanya gara-gara konsentrasi Edgar yang terpecah akibat emosi tadi,
mereka jadi kalah. Padahal, mereka main di kandang sendiri. Dan seharusnya nih ya, pemain
yang baik, apalagi yang sudah tingkat nasional seperti Edgar/Steven, bisa mengontrol emosi saat
di lapangan. Nggak boleh terusik hanya karena satu keputusan hakim garis yang dianggap kurang
menguntungkan.
Edgar, Steven, dan Edward sudah tak terlihat lagi batang hidugnnya, dan mendadak aku jadi
kehilangan minat nonton, padahal di lapangan sekarang sedang bertanding Nova
Widianto/Lilyana Natsir melawan ganda Korea. Aku jadi kepikiran, jangan-jangan tadi itu
terakhir kali aku bisa melihat Edgar? Kan dia sudah kalah. Mungkin dia nggak bakal muncul lagi
di Istora besok-besok. Padahal aku berharap banget bisa ngobrol-ngobrol sama dia lagi kayak
kemarin.
HP-ku berbunyi, ada SMS masuk.
From: +628179475XXX
Hai, fray. Ini Edgar. Dateng ke Istora ga?
Aku memekik pelan, lalu melirik Sharleen di sebelahku. Sepertinya dia nggak dengar aku
memekik saking asyiknya nonton pertandingan. Kubaca lagi SMS di HP-ku, lalu aku
menggeleng pelan. Nggak, nggak mungkin ini Edgar beneran. Dari mana dia tahu nomorku,
coba! Pasti ini kerjaan orang iseng kayak Claudia. Ya, pasti Claudia! Adikku itu pasti lagi mati
gaya menunggu acara Nidji-nya yang belum juga dimulai, jadi dia berniat mengusiliku, mungkin
pakai HP salah satu teman Nidjiholic-nya. Dasar anak iseng!
Kubalas SMS itu.
To: +628179475XXX
Heh, nggak usah iseng deh ya! Ganggu aja!
Setelah SMS itu kukirim, tak ada balasan lagi. Semakin yakinlah aku bahwa itu ulah usil
Claudia. Dasar anak tengil! Emangnya dia kira aku gampang dikadalin? Huh, tak usah ya!
* * *
Seluruh pertandingan perempat final hari ini selesai jam sembilan malam. Indonesia meloloskan
Flandy Limpele/Vita Marissa, Simon Santoso, Sony Dwi Kuncoro, Nova Widianto/Lilyana
Natsir, Maria Kristin, Shendy Puspa Irawati/Meiliana Jauhari, dan Vita Marissa/Lilyana Natsir
ke semifinal besok. Lumayan, tujuh wakil di empat nomor. Kalau saja tadi Edgar/Steven menang
juga, Indonesia masih akan punya wakil di ganda putra, dan menjaga peluang untuk menyapu
bersih semua gelar di Indonesia Super Series tahun ini.
Seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh, ternyata Shendy.
dahinya, wajahnya terlihat capek, tapi sumringah. Mungkin karena dia benar-benar menyukai
pekerjaannya ini.
Kami berjalan bertiga menuju pintu keluar Istora.
-
Aku bisa merasakan Sharleen yang berjalan di sebelahku berhenti melangkah, dan bengong di
tempat. Reaksiku setali tiga uang.
ing, lebih karena aku nggak tau harus ngomong apa.
Terus dia minta nomor HP lo, ya gue kasih aja. Nggak pa-
Aku semakin nggak bisa mengatupkan mulutku. Edgar minta nomer HP-ku? Dan Shendy
memberikannya? Berarti yang tadi SMS aku itu... yang kubalas dengan superjutek itu...
OH MY GOD! -orang di sekitar kami kontan menoleh, dan aku cuma
bisa cengengesan karena terpaksa jadi pusat perhatian begitu banyak orang.
-garuk kepala.
-pa sih, Shen, cuma... tadi ada yang SMS gue, ngaku-ngaku dia Edgar...
Karena gue mikir nggak mungkin Edgar beneran yang SMS gue, dan kemungkinan besar itu
kerjaan orang iseng, ya gue jutek banget balas SMS-
Aku mengeluarkan HP, dan mencari SMS dari nomor tak dikenal itu di inbox-ku. Untung
belum kuhapus. Shendy langsung mencocokkannya dengan nomor Edgar di phonebook-nya.
phonebook-nya, dan aku kontan
mencelos mendapati nomor itu sama persis dengan nomor yang mengirimiku SMS tadi siang.
Mati aku!
Aku mendengar suara terkikik dan menoleh, melihat Sharleen setengah mati menahan tawa
sampai mukanya merah.
kedodolanku.
tek banget. Dia takut lah bales SMS itu lagi. Udaaah, buruan deh
bales SMS-nya. Bilang yang sebenernya aja, tadi lo ngira dia orang iseng, dan lo baru tau
-lebar.
berarti harus menuruti kata-kata mereka.
To: +628179475XXX
Hei, gar. Fraya nih. Sorrrrry bgt, td gw ga tau ini no lo. Gw kira
adik gw yg iseng. Maaf ya. Gw msh di istora nih. Lo di mana?
HP-ku berbunyi lagi, ada SMS dari Edgar.
From: +628179475XXX
Hehe gpp kok. Yaaaah syg bgt gw udh blk ke hotel. Kirain lo ga
dtg. Tau gt kita nongbar td. Bsk ke istora lg ga?
Aku menelan ludah. Ini bukan pertama kalinya aku dapat SMS dari cowok yang
menunjukkan tanda-tanda bakal ngajak jalan bareng seperti ini. Waktu aku masih jadi pacar
Albert pun banyak yang tetap nekat mengirimiku SMS yang senada dengan SMS Edgar ini.
Dulu-dulu sih aku menanggapinya dengan cuek, tapi sekarang... kok aku jadi deg-degan ya?
membaca SMS yang tertera di layar HP-ku.
Tiba-tiba Sharleen merebut HP dari tanganku, membaca SMS yang ada di sana secepat kilat,
dan langsung menjerit histeris.
ra
Aku melihat alis Shendy terangkat heran, mungkin takjub karena Sharleen yang selama ini
dikenalnya alim ternyata bisa heboh juga seperti Claudia.
h banget gini?
bad
mood lah. Emang lo mau nongkrong bareng orang yang lagi bad mood
Sharleen garuk--nya yang tadi,
takjub.
uruti desakannya untuk membalas SMS
Edgar.
To: +628179475XXX
Iya, besok gw ke Istora lagi
Nggak sampai semenit, SMS balasan Edgar masuk. Kali ini Sharleen ngotot ikutan langsung
membacanya.
From: +628179475XXX
Ya udah, klo gt besok kita nonton bareng ya. Gw kan ga tanding lg
besok. Bsk kabarin aja klo dah nyampe istora.
membuka mulut.
Shendy
Perasaanku saat ini benar-benar nggak bisa dideskripsikan.
Edgar Satria
SEMIFINAL Indonesia Super Series hari ini baru digelar mulai jam empat sore, tapi Sharleen
sudah heboh mengajakku ketemuan di Istora jam tiga.
-cepat datang.
ada ruginya juga kan datang pagian? Biar VIP juga pasti nanti ada VIP yang
Hmm, aku mencium adanya motif lain.
-
Sharleen diam, tapi aku sudah bisa membayangkan tampangnya yang sedang menimbangnimbang
sebaiknya jujur atau nggak padaku di seberang sana.
-gara Edgar mengajakku
nonton bareng di Istora hari ini, Sharleen jadi histeris banget (karena kan berarti dia juga bakal
nonton bareng Edgar Satria sang cowok feromon itu). Aku sih memperkirakan Edgar baru akan
datang ke Istora di tengah-tengah pertandingan. Kayaknya nggak mungkin dia datang sejak
partai pertama. Lagian, dia juga udah nggak tanding hari ini.
sooner is better, kan? Daripada kita telat terus sampai sana ternyata
bilang aja lo pengin cepet-
Aku sudah hampir mengomel lagi karena harus berangkat lebih awal ke Istora gara-gara
Sharleen, padahal tadinya aku lagi leyeh-leyeh di kamar, tapi nggak tahu kenapa mendadak
jantungku dag-dig-dug nggak keruan lagi, persis ketika aku pertama kali ngobrol dengan Edgar
dua hari lalu. Persis ketika kemarin Edgar mengajakku untuk nonton bareng di Istora hari ini.
G
* * *
Perkiraanku salah. Aku baru saja sampai di Istora ketika nama Edgar berkedip-kedip di layar HPku.
sangat ganjen dan halus.
Nanti kalau gue udah ketemu dia
missed call
Aku menelepon Sharleen untuk bilang aku sudah di Istora, sekaligus memberitahukan
posisiku. Nggak sampai semenit, Sharleen nongol di depanku. Kami langsung masuk Istora
bareng.
stand by di sini. Aturannya kan dia udah nggak
-
Aku berusaha mencerna asumsi Sharleen itu. Benar juga. Kalau Edgar masih menginap di The
Sultan bareng teman-temannya yang bertanding hari ini, pasti tadi dia berangkat naik bus bareng
mereka juga. Atlet-atlet yang bakal bertanding harus stand by di tempat pertandingan jauh
sebelum pertandingan pertama dimulai. Mau nggak mau Edgar berangkat awal juga kalau tadi
dia bareng mereka.
Aku dan Sharleen memasuki Istora, dan karena Istora masih kosong, kami dengan gampang
menemukan Edgar yang berdiri di dekat player area. Ia langsung melambai-lambaikan tangan
begitu melihat kami. Kelihatannya dia memang mengamati orang-orang yang muncul di pintu
masuk deh.
Edgar berjalan mendekat, dan detak jantungku mulai menggila lagi. Aku juga bisa merasakan
Sharleen menegang di sebelahku seiring semakin dekatnya jarak Edgar dengan kami.
naik bus dari hotel, jadi mesti
cepet-
-
yanya sambil menoleh pada Sharleen.
Dua orang itu bersalaman, dan aku jelas banget bisa melihat Sharleen salting. Nggak
menyalahkan dia juga sih, Edgar memang charming banget. Rasanya setiap cewek yang berada di
dekatnya pasti bakal langsung kehilangan fokus. Untung aja Edgar nggak main ganda campuran.
Kalau iya, pemain cewek yang jadi lawannya pasti bakal nggak fokus setiap berhadapan sama dia,
hehehe...
gar.
player area
Aku dan Sharleen kontan berpandangan. Player area? Untuk turnamen seprestisius ini? Bakal
bisa duduk di antara pemain-pemain top dunia? Kayaknya ngabisin uang jajan sebulan pun kami
rela demi bisa duduk di sana!
Tapi, mmm... harus jaim dikit dong di depan Edgar.
player area
-pa kok. Banyak juga keluarga atau temennya anak-anak yang
Dalam hati aku bersyukur karena lagi-lagi Claudia nggak ikut hari ini. Nggak kebayang kalau
dia ikut dan kami duduk di player area, pasti dia langsung rusuh kalau melihat Maria Kristin atau
siapalah di sana.
Akhirnya aku dan Sharleen mengekor Edgar menuju player area. Langkahku dan Sharleen
nyaris melayang saking hepinya. Dari jauh saja aku sudah melihat Sony Dwi Kuncoro, Zhu Lin,
Lilyana Natsir, Zakry/Fairuz (yang kemarin mengalahkan Edgar), dan sederet pemain top
lainnya yang duduk di sana. Beberapa sedang bersiap bertanding dengan melakukan pemanasan.
Edgar yang berjalan lebih dulu dari kami akhirnya memutuskan duduk persis di depan Sony
Dwi Kuncoro. Sharleen kelihatannya nyaris nggak bisa menahan kepalanya untuk nggak terusterusan
menoleh ke belakang. Dia gelisah sendiri di bangkunya, sama kayak aku. Gimana nggak,
tunggal putra terbaik Indonesia, pemain peringkat lima dunia, duduk di belakang kami! Hanya
usaha untuk jaim di depan Edgar-lah yang menahan kepalaku untuk terus menghadap ke depan.
Beberapa pertandingan sudah dimainkan di keempat lapangan di depan kami. Sharleen heboh
sendiri. Dia memang suka berubah jadi aneh kalau sudah nonton bulutangkis secara live. Aku
beralih menatap edgar, ia kelihatan asyik mengamati court 2, yang mempertandingkan
Zakry/Fairuz elawan ganda Korea, Ko Sung Hyun/Kwon Yi Goo. Lalu tiba-tiba aku teringat
sesuatu.
Edgar memotong sebelum aku selesai bicara. Ia nyengir salting dan menggaruk-garuk kepalanya.
-pa sih, kan tiap pertandingan ada menang ada kalah. Lagian lo sama Steven
udah bagus banget kok, berhasil masuk perempat final. Masih banyak turnamen lainnya lah.
sama sekali nggak terlihat menguping obrolanku dan Edgar. Bukannya apa-apa, tapi aku jadi
nggak enak kalau apa yang bakal kusampaikan ke Edgar ini akan membuatnya malu di depan
-gara keputusan
hakim garis yang menyatakan Fairuz masuk. Harusnya lo lebih bisa mengontrol emosi lo, dan
Edgar terdiam, dan aku mencelos dalam hati. Damn, apa sih yang barusan kubilang? Kenapa
aku bisa segitu pedenya ngasih nasihat ke Edgar, padahal bisa dibilang aku ini cuma anak SMA
yang terobsesi pada bulutangkis karena cita-cita masa kecilnya nggak kesampaian, sementara
Edgar adalah atlet nasional yang sudah tinggal di Pelatnas paling nggak lima tahun, dan pasti
dapat bimbingan dari pelatih-pelatih bulutangkis terbaik se-Indonesia setiap hari. Kenapa aku
bisa sebegitu sotoynya??? Ini sama seperti anak TK menasihati anak kuliahan!
Aku nggak akan kaget kalau setleah ini Edgar bakal menendangku, dan Sharleen, keluar dari
player area.
-kata yang
meluncur keluar dari mulutku tadi. Soalnya, kalau dicerna lagi, aku seolah menyalahkan Edgar
atas nihilnya wakil Indonesia di nomor ganda putra di Indonesia Super Series kali ini.
-apa, Fray. Pelatih gue,
alias kakak gue sendiri, juga bilang seperti yang lo bilang itu kok. Emang udah nggak seharusnya
dalam turnamen internasional kayak gini, dan di perempat final pula, gue masih nunjukin emosi
Aku tercenung. Edgar dengan besar hati mengakui kesalahannya! Kesalahan yang bahkan
mungkin bukan benar-
Asli deh, seumur hidup aku nyaris nggak pernah melihat makhluk berjenis cowok mengakui
kesalahan. Gengsi cowok kan biasanya selangit. Beneran bikin salah aja belum tentu ngaku,
apalagi kalau dia sebenernya nggak bikin salah. Lihat aja Albert dengan semua kelakuannya dulu.
Dia menghukumku sampai aku nggak bisa nonton Thomas-Uber Cup di Istora, padahal kalau
aja dia bisa lebih mengerti kecintaanku pada bulutangkis, dia pasti paham kenapa aku bisa
sampai ngebohongin dia. Beda banget deh sama Edgar!
Eh, kok jadi ngebanding-bandingin Albert sama Edgar sih?
Pikiranku yang melantur langsung buyar begitu aku sadar Edgar masih menatapku dengan
ekspresi ingin tahu. Aku belum merespons omongannya yang terakhir tadi. Dia pasti masih
menunggu komentarku.
a, benar-benar no idea harus bilang apa lagi.
paham banget kan tentang bulutangkis? Orang yang sekadar suka aja nggak bakal bisa ngeliat
kenapa kemarin gue bisa banyak bikin kesalahan sendiri. Harus orang yang benar-benar paham
huge interest sama bulutangkis. Gue malah...
Mata E
huge interest sama bulutangkis. Gue malah...
Mata E
meraih emas di Olimpiade Atlanta, bagaimana aku ingin meraih prestasi yang sama seperti
mereka, tapi cita-citaku amblas hanya karena kesalahpahaman antara aku dan Mama. Aku juga
cerita tentang Albert, yang menghukumku tak boleh nonton Thomas-Uber Cup, dan bagaimana
ia selalu menyuruhku bergabung dengan ekskul cheers bukannya bulutangkis. Ceritaku kututup
dengan bagaimana aku sangat down beberapa bulan terakhir ini, karena ingat cita-citaku nggak
akan mungkin tercapai lagi, sekeras apa pun aku berusaha.
Edgar menyimak sepanjang aku bercerita, nggak sekali pun dia menyela. Dan ketika aku
selesai, aku menoleh nggak enak pada Sharleen, takut kalau-kalau ia ternyata memperhatikan
kami sedari tadi dan merasa dicuekin karena nggak dilibatkan dalam obrolan. Untunglah,
perhatian Sharleen ternyata masih seratus persen terfokus pada lapangan. Dia seolah berada
dalam kotak yang tak terlihat, yang membuatnya tak memedulikan keadaan sekitar, kecuali apa
yang tengah terjadi di lapangan.
orang-orang forum bulutangkis yang gue ikutin. Kebanyakan member-nya bapak-bapak sih,
hehe...
murni karena lo pengin bikin Indonesia bangga. Baru kali ini gue dengar cerita kayak gini. Kalau
-biasa aja. Gue yakin banyak remaja
n-kapan gue harus main lawan lo, jadi gue bisa menguji apakah lo
Edgar barusan. Dia bilang... kapan-kapan dia harus main lawan aku? Apakah ini ajakan untuk
ketemuan lagi? Untuk... jalan bareng?
-tiba berubah. Dia
mengira aku keder, padahal sebenarnya aku syok menyadari dia baru saja mengajakku jalan
bareng lagi.
Try me
Dan kapan lagi aku bisa main bulutangkis lawan atlet Pelatnas?
Aku nggak boleh ke-ge-er-an.
* * *
Ini benar-benar hari yang luar biasa. Bukan hanya karena aku menikmati saat-saat yang sangat
fun lantaran bisa duduk di sebelah Edgar (yang semakin aku mengobrol dengannya ternyata
semakin membuatku kagum, karena meskipun dia sudah bisa dibilang atlet internasional, dia
sangat humble dan low profile), tapi juga karena Indonesia meloloskan banyak wakil ke final
besok!
Dua partai yang saling mengejutkanku, dan membuat Istora serasa meledak saking gegap
gempitanya teriakan suporter, adalah tunggal putri dan ganda putri.
Tadi , di tunggal putri, Maria Kristin mengalahkan Zhang Ning! Beneran deh, aku nyaris
nggak percaya meski melihatnya dengan mata kepalaku sendiri! Bukannya aku meremehkan
Maria atau apa, tapi Zhang Ning itu kan peraih medali emas Olimpiade Athena. Dan Maria
mengalahkannya! Haha, beware China, our new Susi Susanti has born!
Dan ganda putri, astaganagabonarjadidua! Vita Marissa/Lilyana Natsir membabat habis Wei
Yili/Zhang Yawen! Mengalahkan pasangan nomor satu dunia, padahal mereka bahkan hanya
pemain ganda campuran yang merangkap main ganda putri. Asli deh, sepanjang partai ini aku
sport jantung, dan berkali-kali bersorak heboh ketika Vita atau Lilyana menghasilkan angka
melalui pukulan-pukulan cepat mereka. Aku heran, mereka itu sebenernya cewek apa cowok sih?
Tenaganya itu lho!
Sayang, prestasi Vita/Lilyana di ganda campuran ternyata nggak sebagus pencapaian mereka
di ganda putri. Vita yang berpasangan dengan Flandy Limpele di ganda campuran kalah dari
pasangan China, Zheng Bo/Gao Ling, sementara Lilyana Natsir/Nova Widianto kalah dari
Thomas Laybourn/Kamilla Rytter Juhl asal Denmark. Menempatkan dua wakil di semifinal dan
berharap akan terjadi all Indonesian final untuk ganda campuran, Indonesia justru sama sekali tak
punya wakil di final besok, hiks!
Untunglah, untuk tunggal putra, Indonesia sudah memastikan gelar juara, karena besok Sony
Dwi Kuncoro bakal bertanding melawan Simon Santoso. Maksimal, Indonesia bisa meraih tiga
gelar besok. Not bad untuk pertandingan di kandang sendiri.
Wah, jadi nggak sabar menunggu besok.
Apalagi tadi Edgar menawariku, dan Sharleen, untuk duduk bersamanya lagi di player area.
Chiuuuy!
* * *
Meskipun datang lebih awal, ternyata aku dan Sharleen tetap harus berjuang melewati
kerumunan orang yang berdesakan mencari tiket babak final Indonesia Super Series ini di
halaman depan Istora. Belum lagi para calo, yang nggak terhitung berapa banyaknya, yang
mencegatku dan menanyakan apakah aku berminat menjual tiketku, soalnya mereka bisa
membelinya dengan harga tinggi. Dengar-dengar sih, tiket untuk babak final ini sudah terjual
habis, bahkan para calo kehabisan, sementara masih banyak penonton yang belum kebagian tiket
dan pengin banget nonton. Itu artinya, mereka oke-oke aja beli meski dengan harga berlipat
ganda. Nah, peluang inilah yang dikejar para calo. Mereka mau beli tiket orang dengan harga
tinggi, dan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi lagi. Dasar! Benar-benar menerapkan
hukum ekonomi deh: semakin terbatas barang dan semakin tinggi permintaan, maka harga juga
akan semakin tinggi.
Thanks to
yang kehabisan tiket itu. Tadi Edgar telepon, bilang dia menunggu kami di pintu belakang (yang
seharusnya khusus untuk mereka yang ber-ID card), jadi kami nggak perlu beli tiket lagi untuk
masuk Istora. Bisa lewat pintu belakang dan langsung duduk bareng Edgar di player area, asyik!
Aku menyusuri jalan yang kuingat beberapa hari lalu ditunjukkan Shendy saat mengajakku ke
bagian belakang Istora, dan dalam sekejap aku dan Sharleen sampai. Di depanku berjejer banyak
bus atlet dan ofisial, persis seperti yang kuingat saat menemani Claudia menunggu Edgar di sana
untuk foto bareng.
Aku mendongak dan melihat Edgar melambai hanya beberapa meter dariku. Kaki Sharleen
langsung terlihat seolah baru dipasangi mesin turbo. Kecepatannya melangkah jadi dua kali lipat.
Dia sampai di depan Edgar lebih dulu.
hari ini Edgar pakai polo shirt dan celana jins. Cakep banget!
-
-gara prestasi tim Uber kemarin itu sih.
Sayang tim Thomas-nya justru mencapai hasil d
Edgar kelihatan sedikit down saat bilang begitu, dan aku langsung ngeh, itu pasti karena dia
juga tergabung di tim Thomas Indonesia tempo hari, yang, seperti katanya, mencapai hasil di
bawah harapan. Memang, nggak seperti tim Uber yang hanya ditarget masuk semifinal tapi bisa
jadi runner-up, tim Thomas yang ditarget juara justru nggak berhasil menjejak babak final. Miris
pastinya.
-pa, Gar. Semua ada hikmahnya kok. Bisa buat bahan evaluasi supaya makin baik
Iya, dievaluasi habis-
Aku dan Sharleen mengekor Edgar yang berjalan di depan kami, lalu menaiki tangga menuju
player area. Begitu sudah di player area, mataku dan Sharleen langsung jelalatan, siapa saja atlet
top yang bakal berada dalam radius sepuluh meter dari kami selama kira-kira lima jam ke depan.
Sharleen yang berhasil menemukan buruan lebih dahulu: Simon Santoso, yang bakal turun di
partai pertama melawan Sony Dwi Kuncoro, rekan senegaranya sendiri. Simon sedang berlari-lari
kecil di bagian atas player area. Pemanasan menjelang pertandingan.
Aku menoleh ke kanan-kiri dan melihat Vita Marissa duduk di salah satu sudut dengan
earphone iPod terpasang di telinganya. Kalau dari jadwal yang kulihat di depan Istora tadi sih,
Vita/Lilyana bakal turun di partai ketiga melawan ganda putri Jepang, Satoko Suetsuna/Miyuki
Maeda. Sayang sebetulnya, karena Satoko/Miyuki mengandaskan ganda putri Indonesia yang
jadi kuda hitam di turnamen kali ini, Shendy Puspa Irawati/Meiliana Jauhari. Kalau nggak, bisa
satu lagi partai all Indonesian final tuh. Eh, tapi kalau kebanyakan partai all Indonesian final, hari
ini bakal jadi kurang seru ya? Hehehe.
Edgar duduk di tempat yang sama persis dengan tempat kami kemarin duduk. Tepat setelah
aku meletakkan bokongku di kursi, Simon Santoso berjalan melewatiku sambil membawa tas
raketnya dan siap turun ke arena pertandingan (membuat Sharleen histeris sendiri samapi
menarik-narik ujung lengan bajuku).
good luck
Edgar mengacungkan jempolnya tanda setuju.
Setelah itu, aku menyaksikan rangkaian babak final yang sangat seru. Semua yang berlaga hari
ini memang benar-benar pemain kelas dunia. Mulai dari Sony Dwi Kuncoro yang mengalahkan
Simon (poor Simon, tapi dia masih punya banyak kesempatan di turnamen lain), Vita
Marissa/Lilyana Natsir yang melibas Satoko Suetsuna/Miyuki Maeda, Zheng Bo/Gao Ling
menghentikan Thomas Laybourn/Kamilla Rytter Juhl, dan Zakry Abdul Latif/Fairuzizuan Tazari
(yang mengalahkan Edgar/Steven di perempat final, remember?) menjadi juara setelah melibas
Tony Gunawan/Candra Wijaya, pasangan gado-gado USA-Indonesia.
Tapi, yang paling seru adalah partai tunggal putri, Maria Kristin melawan Zhu Lin. Memang,
Maria akhirnya kalah dari pebulutangkis China itu, tapi dia benar-benar menunjukkan Indonesia
masih punya tunggal putri yang harus ditakuti! Bayangin aja, Maria yang cuma peringkat 20-an
BWF, bisa memaksa Zhu Lin, yang peringkat 3 BWF, bermain 3 set, sekaligus menguras
emosinya. Ada adegan di mana Zhu Lin ngotot memprotes keputusan hakim garis karena
dianggap merugikannya. Lalu setelah itu entah kenapa ia melakukan protes untuk kedua kalinya,
dan karena sudah menentang wasit, ia justru menerima kartu kuning, yang berarti satu angka
bonus untuk Maria. Seumur-umur, baru kali ini aku lihat pemain bulutangkis dapat kartu
kuning. Biasanya kan pemain sepak bola! Untuk beberapa pemain, seperti Edgar beberapa hari
lalu, hal semacam itu jelas bisa membuat konsentrasi buyar. Tapi ternyata itu justru bisa
membuat Zhu Lin mengendalikan emosinya, dan menutup pertandingan dengan kemenangan.
Tapi buatku, Maria Kristin tetap juara sebenarnya. Hebat banget sih!
Ketika pertandingan final hari ini selesai, aku benar-benar merasa nggak rela. Masih satu
tahun lagi smapai aku bisa merasakan atmosfer Indonesia Super Series yang dahsyat lagi. Aduh,
seharusnya Indonesia Super Series itu digelar sebulan sekali!
Haha, you wish, Fraya.
This Bang-Bang-Boom Feeling
AKU memasuki Sushi Tei, dan menemukan Edgar melambai padaku dari sushi bar. Yeah, aku
agak-agak shock waktu ia meneleponku tadi pagi dan ngajak ketemuan di sini. Terakhir kami
ketemuan kan waktu final Indonesia Super Series itu, dan itu... hampir seminggu yang lalu.
Setelah itu dgar sama sekali nggak mengontak aku, dan aku sebagai cewek (yang juga punya
kadar gengsi sangaaaaat tinggi) nggak pernah mengontaknya duluan.
Yah, aku akui, aku kangen sama dia. Sebab di lubuk hatiku yang paling dalam, aku berharap
kami bisa lebih dari sekadar nonton-bareng-Indonesia-Super-Series. Makanya, waktu dia nggak
menghubungiku sama sekali beberapa hari kemarin, aku blingsatan nggak keruan. Sharleen dan
Adisty menangkap gelagat anehku ini dengan mata jeli mereka, tentu saja, dan berusaha
menebak-nebak bahwa ini pasti ada hubungannya dengan cowok, tapi aku selalu berhasil ngeles.
Dan ketika tadi pagi Edgar nelepon, aku lebih dari sekadar loncat-loncat kegirangan di kamar,
ketahuan aku bener-bener girang dia telepon, maksudnya.
-
Waitress datang membawakan menu. Aku memesan stamina roll dan hot ocha.
Well
-
Aku kontan bisa merasakan darah menyembur di kedua pipiku, membuatnya memerah tanpa
ampun.
Kalau kangen, kenapa beberapa hari ini lo sama sekali nggak berusaha menghubungi gue?
Pertanyaan ini meletup dalam otakku tanpa sempat kutahan. Jujur aja, aku senang mendengar
Edgar kangen padaku, tapi kalau itu cuma gombal... lebih baik nggak usah deh.
kat dua kali lipat gara-gara hasil buruk di
Thomas Cup dan Indonesia Super Series itu. Dan malam harinya, kalau sesi latihan sudah
selesai, gue cuma punya sisa tenaga untuk mandi dan tidur. Gue pengin SMS lo, tapi selalu
ketiduran sebelum gue sempat pegang
pertanyaan yang meletup di otakku tadi.
Alasannya memang klise, kalau cowok lain yang mengucapkan. Tapi karena ini Edgar, atlet
bulutangkis nasional yang aku yakin prosi latihannya nggak main-main, apalagi kalau sampai
dijadiin dua kali lipat, aku percaya dia benar-benar kehabisan tenaga sampai nggak sempat
mengontakku.
free
-siapa lo. Lo nggak punya keharusan untuk
menghubungi gue, tambahku dalam hati.
thanks
Aku terkikik geli mendengar pertanyaannya. Sudah hampir lima menit kami duduk di sini,
Edgar rupanya merasakan hal itu sama gelinya sepertiku, karena dia juga tertawa.
-senengnya jadi anak kelas 12, bisa ngegencet junior-junior yang
Minumanku datang, dan aku langsung meneguknya untuk menghilangkan kecanggungan.
Duh, kenapa aku bisa lupa bawa semprotan antiferomon untuk mengurangi kadar yang dimiliki
cowok satu ini supaya aku nggak terlalu salting di depannya sih?
hot ocha
-ngobrol sama lo... Yah, mungkin lo menganggap gue gombal
atau apa, tapi gue benar-benar menikmati waktu kita nonton bareng di Istora minggu lalu. Gue
menikmati saat-
Aku mengerjap. Sepanjang usia remajaku, aku mengenali betul tanda-tanda cowok jika
mereka sedang flirting sama aku, dan sorot mata mereka ketika sedang melancarkan jurus rayuan
gombalnya. Aku berusaha mencari sorot mata itu dalam mata Edgar, tapi sama sekali nggak
menemukannya. Dia terlihat... tulus sekali waktu mengatakan itu. Entah apakah di Pelatnas ada
kursus akting juga, atau Edgar memang sungguh-sungguh dengan omongannya.
-cewek lain, yang kalau diajak ngomong tentang bulutangkis taunya
cuma Taufik Hidayat. Lo benar-benar ngerti tentang dunia ini. You love it, the way that I do.
Oh ya, itu benar. Kok aku bisa lupa kami punya satu kecocokan yang sangat mencolok itu ya?
excited banget.
Lo tau semua pemain yang gue sebutkan, yang nggak sengaja papasan sama kita waktu di Istora
kemarin. Lo tau mereka menang di turnamen mana dan mengalahkan siapa, lo tau mereka
mengatakan itu. Ya ampuuuun, kenapa sih aku ini?
Tapi di dalam hati aku penasaran juga. Karena, kalau menyangkut soal bulutangkis,
pengetahuan Sharleen nggak kalah dari aku. Dia juga cantik dan menyenangkan. Jadi, kenapa
Edgar cuma mengajakku ketemuan hari ini? Kenapa dia cuma kangen sama aku?
Hah? Karena itu? Dia kangen padaku karena aku sudah mengkritiknya?
bisa mengibarkan bendera Merah Putih di negeri orang dengan prestasi yang sudah lo raih.
Gue... . Kebanyakan teman-teman gue di Pelatnas, termasuk
disuruh ortu, dan ada juga karena iseng masuk klub, tapi ternyata punya bakat dan bisa
ndengar koki terkenal mengaku bahwa ia
benci memasak!
-teman gue yang lain bisa main sepulang sekolah, gue
harus latihan di klub. Dan gue benci karena... gue selalu dibanding-bandingkan dengan
Stamina roll-ku datang, menciptakan jeda yang membuat kata-kata Edgar barusan membekas
sangat dalam di ingatanku.
oga-moga lo bisa sehebat
Edward, tapi jujur aja gue muak. Gue sayang Edward, dan tentu aja gue pengin punya prestasi
seperti dia. Nyaris menyabet medali emas Olimpiade Sydney, kalau saja bukan karena cedera
Aku mengangguk.
-terusan.
Gue memang belum sehebat dia, tapi gue berusaha sekeras yang gue bisa. Dan memang seiring
berjalannya waktu, tujuan gue di bulutangkis berubah. Bukan cuma untuk membuktikan diri,
tapi ingin berprestasi juga, karena gue sudah jatuh cinta sama dunia ini. Waktu gue dan Steven
jadi juara dunia junior dulu, lalu melihat bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya
Aku menelan ludah. Ya, itu benar. Aku yang cuma pernah menyaksikannya di TV atau secara
live aja selalu merinding jika momen itu terjadi, gimana Edgar yang melakoninya? Pasti benarbenar
terasa seolah ada petasan yang meledak di dadanya. Dalam artian yang baik, tentu saja.
berharap, kita bisa terus kontak-
Ehm, kalau sekarang, aku sudah boleh ge-er, belum?
* * *
Aku menoleh, dan langsung salting begitu melihat siapa yang berada di hadapanku.
-
Aku bisa merasakan Sharleen membeku di tempatnya berdiri demi melihat siapa yang baru
saja datang menghampiriku dan bertanya apakah-menurutku-lagu-David-Cook-bagus.
bergantian, tak bisa meneruskan kalimatnya.
langsung setengah menyeret Sharleen keluar dari Societie, sambil cengengesan nggak jelas pada
Edgar yang keningnya tengah berkerut bingung di belakangku. Tapi itu bisa kubereskan nanti,
yang penting sekarang Sharleen dulu.
-keras, nanti
-
-apa, kebetulan aja tadi dia ngajak ketemuan,
cuma buat ngobrol-ngobrol sambil makan aja. Terus dia mau nyari CD soundtrack-nya
Transformer 2
Sharleen terdiam sesaat, lalu cekikikan.
lo dan Edgar
lagi jalan bareng. Gue bukannya nuduh kalian pacaran atau apa, tapi lo langsung salting gitu,
Aku melongo, dan merasakan semburan rasa malu yang sudah sangat kukenal, yang selalu
muncul dalam diriku setiap kali aku melakukan hal-hal konyol.
-pa kok. Asli, gue kaget banget pas ngelihat kalian berdua tadi. Gue -pa kok. Asli, gue kaget banget pas ngelihat kalian berdua tadi. Gue
kira soft lens gue yang udah harus ganti, eh ternyata kalian emang lagi bareng. Mmm... tapi,
diterusin juga nggak pa-pa kok, Fray. Kan lumayan, kalau lo pacaran sama Edgar, kita bisa
duduk di player area
sih? Baru jalan bareng sekali juga, lo mikirnya udah kejauh
Wish
Aku cuma bisa tersenyum salah tingkah.
-
Sharleen melambai padaku dan langsung ngabur begitu aku memelototinya.
* * *
Aku terlonjak kaget karena mendengar seruan itu. Sharleen muncul dari balik tembok
kelasku, dan memamerkan cengiran khasnya.
Lagi-lagi, aku merasakan pipiku bersemu merah, tapi rasanya aku nggak sanggup kalau harus
-mentang sekarang mainnya sama atlet bulutangkis nasional,
nggak mau cerita-
menuju bangku. Adisty belum datang.
whatever you name it lah ya. Yang penting, gue mau cerita lengkap acara kemarin. No
censor at all!
Aku baru mau membuka mulutku untuk bercerita (karena sadar nggak akan ada gunanya
menyembunyikan sesuatu dari Sharleen, ia akan terus-menerus memburuku), ketika Adisty
muncul di pintu kelas.
meletakkan tasnya di meja.
-
ada-apa-apa-kok.
mata Adisty yang sudah belo kon
Adisty terdiam, walau mulutnya masih melongo terbuka. Aku kira dia bakal jejeritan heboh
seperti Sharleen ketika melihatku bersama Edgar kemarin, tapi ternyata sejurus kemudian ia
bertanya,
Kalau dalam komik Jepang, mungkin aku dan Sharleen sudah digambarkan terjengkang dari
kursi. Gubrak banget sih!
wajah tanpa dosa.
-asingnya
sama bulutangkis, ya gue tau lah siapa itu
Adisty benar. Edward Satria ini sudah identik banget dengan bulutangkis. Seperti ketika
Hidayat, ya pasti Edward Satria.
-lakangnya sama ya? Edward Satria... Edgar
marin itu Edgar ngajak jalan, itu aja.
Adisty menyipitkan matanya, seperti mengingat-
bikin lo berseri-
ada kuis fisika mendadak itu. Yang lo datang ke sekolah dengan wajah berseri-
seri dan gue bilang wajah lo bahagia kayak orang jatuh cinta. Waktu itu lo nggak sempat cerita
ke gue karena Bu Irma udah keburu dateng. Jadi, karena sekarang gue udah tau siapa oknum di
Aku benar-benar dikeroyok. Dua lawan satu, coba. Dan Adisty masih aja ingat aku yang
ibarat melayang-layang karena bahagia setelah pertama kalinya mengobrol dengan Edgar di Istora
itu.
kemarin ke dua cewek bawel ini. Mereka melongo, tapi kemudian bertatapan penuh arti waktu
aku menceritakan kata-kata Edgar padaku di Sushi Tei.
kata Adisty dengan gaya ganjen yang kelewat norak.
matahari yang terbit di sebelah timur setiap hari.
bahwa Edgar menunjukkan tanda-tanda tertarik padaku, tapi aku bener-bener nggak mau mikir
kejauhan, takut nantinya malah kecewa. Semakin tinggi kamu terbang, akan semakin sakit
jatuhnya nanti, kan?
-pa, kali. Kan tanda-
memang nak
Mendadak aku merasakan HP di sakuku bergetar, dan dengan refleks aku mengeluarkannya
dari saku. Ada SMS.
k-angguk kompak.
Hah, nggak mungkin! Paling juga Vinly, teman baruku di klub bulutangkis. Atau siapalah,
mana mungkin Edgar...
Aku membuka SMS itu, dan tercenung. Adisty dan Sharleen langsung memutar dari balik
bahuku, kepingin membaca SMS itu juga.
seolah habis menang lotre.
Good morning, have a nice day
berusaha menyem
membuncah sampai nyaris meledak!
jadian harus
traktir-
Aku cuma mengangguk sekenanya, tapi dalam hati aku berdoa, semoga itu benar-benar
terjadi....
* * *
Ini hari Sabtu, dan karena setiap Sabtu Edgar hanya ada sesi latihan di pagi hari, sorenya dia
free. Jadilah dia mengajakku meladeni tantangannya dulu: main bulutangkis! Yang hanya bisa
terjadi jika aku bisa menghalau kerumunan cewek di sekeliling Edgar ini! Nggak mungkin dong
dia main bulutangkis dengan cewek-cewek merubungnya seperti lalat merubungi sampah begitu?
Oke, aku tau ini salahku sendiri. Hari ini salah satu jadwal latihanku di klub, dan aku nekat
mengajak Edgar ke sini, walaupun dia bilang kami bisa saja menyewa lapangan di club house
kompleks perumahan tempatnya tinggal, dan main dengan tenang di sana. Aku memang goblok,
lupa bahwa kadar feromon Edgar itu di atas rata-rata, dan cewek-cewek di klub ini sudah lama
di sini adalah bapak-bapak.
jumping smash jumping smash
backhand, ya? Edgar kan backhand-
deh sama kamu..
Aku cuma bisa geleng-geleng mendengar semua permintaan ganjen para cewek ABG seklubku
itu. Ujung-ujungnya, aku terduduk lesu di bangku pinggir lapangan. Kayaknya hari ini aku
nggak akan bisa main bulutangkis lawan Edgar.
Aku mendongak dan melihat Pak Ivan, pelatihku di klub ini.
Aku mengangguk lesu. Pak Ivan jelas tertarik karena nggak ada angin nggak ada hujan, aku
mengajak seorang atlet bulutangkis nasional ke klub ini.
bisa tiba-
tantangan itu di sini. Tapi kalau
tersenyum kecut.
-cewek itu jadi berkerumun
ngajak Edgar
-ku sendiri gagal total?
ini dan ingin berprestasi. Ada yang masuk klub ini karena dipaksa ortunya, iseng, atau bahkan...
Aku bengong. Serius nih? Ada yang kepingin cari pacar di klub yang mayoritas anggotanya
bapak-bapak ini?
sini, bisa saja, yah... kita berharap saja, akan membawa motivasi yang
berbeda bagi mereka. Edgar bisa memberi mereka pandangan baru, bahwa tak akan ada prestasi
jika hati mereka tidak berada pada apa yang mereka lakukan sekarang ini. Tidak akan ada
presta
Nyaris saja aku mencerocos bahwa Edgar dulu juga masuk klub karena dipaksa ortunya, dan
bahwa ia sempat membenci bulutangkis karena selalu dibanding-bandingkan dengan Edward.
-teman kamu bakal lebih rajin dan serius berlatih, karena mereka
Pak Ivan tersenyum padaku, dan aku hanya bisa mengangguk enggan.
Semoga saja begitu, karena aku sa
-ku hari ini lho.
* * *
basa-basi.
Aku tercengang. Aku kan tadi cuma asal ngomong. Aku nggak benar-benar berniat
mengajaknya masuk. Bukannya aku keberatan sih, tapi... nanti jika Mama, atau yang lebih
gawat, Claudia, melihat Edgar tiba-tiba nongol di rumah ini, mereka pasti bakal heboh sendiri.
Dan aku nanti pasti akan diinterogasi. Padahal aku masih capek dan males meladeni
berondongan pertanyaan, setelah kejadian Edgar dirubungi cewek di klub bulutangkisku tadi.
Edgar mengikutiku turun dari mobil dan masuk rumah. Yang pertama menyambut kami di
ruang tamu, untunglah, bukan Mama ataupun Claudia, melainkan Lio.
-mobilan hot
wheels berwarna biru, salah satu mainan favoritnya.
Aku kontan melongo. Adikku sendiri, yang baru berumur lima tahun, sudah membuatku
tengsin berat.
Lio mengulurkan tangannya, yang langsung disambut Edgar dengan senang hati. Edgar
sampai rela berjongkok agar tingginya bisa sama dengan Lio, dan mengajaknya mengobrol.
-ng
Alamakjang! Ini semakin memalukan! Mending tadi Edgar ketemu Mama atau Claudia deh.
Paling nggak, Mama atau Claudia nggak bakal asal nyablak di depan Edgar begini.
Edgar nyengir mendengar kata-
Waduh!
aku main basket setiap dia main ke sini. Kakak bisa main basket juga nggak? Kalau nggak bisa,
Tidaaaaaaaaaaak!
Aku mencelos dalam hati. Wah, bakal makin drop nih Edgar kalau Lio bilang ia nggak mau
main bulutangkis. Lio kan nggak suka bulutangkis. Berulang kali aku mencoba mengajaknya
main, tapi ia selalu lebih suka main basket sama Albert.
Aku melongo dengan sukses. Bahkan pesona feromon Edgar juga berlaku untuk anak cowok
kecil seperti Lio? Dahsyat sekali!
club house kompleks
perumahan gue aja nggak pa-pa ya? Soalnya gue nggak yakin bisa ngajarin Lio bulutangkis kalau
kita mainnya di kl
Setelah ini, aku akan mencopot mukaku dan menaruhnya di bawah bantal. Aku benar-benar
tak punya nyali untuk menunjukkannya di depan Edgar lagi setelah semua yang terjadi hari ini.
* * *
-pulang, ia langsung menyerbu ke kamarku.
Dasar ratu gosip rumah, kejadian apa pun yang terjadi di rumah pasti langsung sampai ke
telinganya dengan kecepatan cahaya.
-
ang gue berniat main bulutangkis sama dia, tapi nggak jadi. Terus, dia nganterin gue
sampai-sampai bisa jalan bareng dia?
-
deh, dia lagi pedekate sama
semua orang bertanya tentang hubunganku dengan Edgar. Waktu itu Adisty dan Sharleen,
sekarang Claudia, besok pasti Mama.
--
dia menikmati saat-saat bersama gue, tapi itu ngga
-saat bersama lo? Cie cieee... Ya emang belum waktunya nembak. Dia
harus pedekate dulu, tauuuu! Ah payah lo, Ya, kelamaan pacaran sama Albert sih, lo jadi lupa
Aku cemberut mendengar kata-
-olah aku pacaran sama Albert selama seratus
tahun.
-aneh sebelum ada fakta yang terjadi
Aku melemparinya dengan bantal, tapi Claudia sudah keburu ngabur dari kamarku.
* * *
penasaran, sambil memasukkan
botol minum dan bekal untuk Lio ke dalam tas kecil.
Ups. Keceplosan. tAdinya aku bilang sama Mama bahwa aku akan mengajak Lio main
bulutangkis di club house kompleks perumahan salah satu temanku, karena dengar-dengar di
-ku
itu Edgar. Bukannya apa-apa, tapi ya... aku malas aja kalau Mama jadi menanyaiku macammacam.
-
Tuh, kan...
Mau nggak mau, aku terpaksa menceritakan kejadian kemarin, sewaktu Edgar mengantarku
pulang dan ia ditantang oleh Lio. Setelah aku selesai cerita, Mama malah memekik girang.
main bulutangkis hari ini tuh cuma karena gengsi! Masa cowok umur dua puluh nggak berani
m
whatever ya, Aya, tapi Mama berani pasang whatever ya, Aya, tapi Mama berani pasang
taruhan, kamu nanti bakal jadian sama si Edgar-Edgar itu. Lagian, kalau cita-citamu jadi atlet
bulutangkis nggak kes
Aku benar-benar terpana. Kenapa sih keluargaku nggak Lio, Claudia, ataupun Mama
* * *
serve serve, dan Lio,
menggunakan salah satu raket lamaku, menirukannya. Kening Lio berkerut dan mulutnya
mengerucut, kelihatan serius sekali memperhatikan Edgar.
i sebelahku. Mama memang
menyuruh Sus Ita ikut sore ini, karena, ini katanya, ia khawatir Lio bakal menganggu acara
kencanku dan Edgar, atau aku bakal melupakan aku membawa adik bungsuku itu karena
keasyikan pacaran. Buset.
o sesenang itu waktu dia main basket sama Mas Albert.
Aku terdiam. Mataku masih tertuju pada Lio yang sekarang sedang melakukan serve
pertamanya. Dia melakukannya dengan benar, dan kok yang dipukulnya melaju dengan mulus
melawati net. Ia memandang Edgar dengan gembira, dan Edgar tersenyum puas padanya.
mengartikan diamku.
-pa kok, Sus. Aku juga senang ngelihat Lio
Ya, aku memang senang, karena berbagai sebab.
Satu, Edgar itu cowok yang benar-benar menyenangkan. Ia atlet bulutangkis nasional, tapi
sama sekali nggak sombong.
Dua, ia bilang ia menikmati saat-saat bersamaku. Itu rayuan paling nggak gombal yang
pernah kudengar dari seorang cowok. Ditambah lagi, aku bisa melihat ia mengatakan itu dengan
tulus.
Tiga, aku dengan heran menyadari bahwa Mama langsung setuju aku jalan bareng Edgar,
meskipun Mama nggak pernah mengobrol atau ketemu dengannya. Dan bukankah dulu Mama
sayang banget sama Albert, sampai-sampai aku takut memberitahunya waktu aku dan Albert
putus, karena nggak mau dimarahi? Hebat banget, feromon Edgar juga bekerja pada Mama. Dari
jarak jauh.
Empat, Edgar bisa cepat banget dekat sama Lio, padahal Lio jenis anak kecil yang jarang bisa
dekat sama orang dewasa yang belum dikenalnya. Dulu, Albert adalah one in a million. Tapi lihat
aja gimana kompaknya Lio dan Edgar sekarang.
Terakhir, aku masih, dan selalu, merasakan bang-bang-boom-feeling itu jika berdekatan dengan
Edgar, dan aku menikmatinya.
* * *
-banyak. Setelah mengajari Lio
bulutangkis tadi, akhirnya aku dan Edgar bisa juga tanding bulutangkis, acara yang tertunda
kemarin. Hasilnya, sudah jelas, aku kalah dari Edgar. Itu pun aku rasa dia nggak mengeluarkan
kemampuan terbaiknya.
Yeah, apa yang kamu harapkan, Fraya? Bisa mengalahkan calon pemain ganda putra terbaik
Indonesia?
ng... Take it easy. Lagian, gue juga seneng bisa membagi ilmu gue.
Well, usia sebaya Lio adalah usia saat aku dulu juga sangat tertarik untuk belajar dan jadi
pemain bulutangkis. Kalau saja waktu itu aku benar-benar ngotot, mungkin aku sekarang bisa
seperti Edgar.
Aduh, kenapa bayangan itu sekarang datang lagi ya? Padahal aku sudah bisa mulai melupakan
rasa sedihku itu sejak... aku mengenal Edgar.
Hei, aku baru sadar, jadi EDGAR yang membuatku bisa melupakan rasa sedih itu, ya?
serve, netting... padahal ini baru pertama kalinya dia belajar
-gguk, terpana. Iya, ini pertama kalinya Lio belajar bulutangkis, Gar, dan
kamulah yang membuatnya mau belajar....
The Most Precious Prize I’ve Ever Received
Aku terbelalak mendengar seruan polos Lio itu, tapi berusaha menyembunyikan rasa kagetku.
Aku melongo. Sejak hari Minggu dulu itu, sudah beberapa kali Edgar main ke rumah saat
weekend, dan mengajak Lio main bulutangkis (aku juga ikut, dan belakangan ini kami hanya
main bertiga, tanpa ditemani Sus Ita). Segera saja, Lio bisa main bulutangkis, dan dia sekarang
jadi superlengket sama Edgar.
-tahun, nggak
boleh gampang menyerah, w
semangat adikku, justru aku girang banget mendengar celetukan polosnya tadi, tapi aku kan juga
harus memberinya pengertian. Dia sedang terpesona pada Edgar, dia membayangkan akan bisa
seperti Edgar, tanpa tahu proses seperti apa yang harus dilaluinya untuk bisa menjadi seperti itu.
So what?
Dulu, waktu Mama hamil Lio, aku sempat nggak percaya. Bayangin aja, waktu itu aku sudah
tiga belas tahun, sudah SMP, dan punya adik lagi di usia segitu jelas bukan hal yang mudah
diterima. Selain teman-temanku jadi tahu bahwa orangtuaku ternyata masih melakukan itu, aku
juga saat itu sedang sering-seringnya ribut sama Claudia. Bagiku, punya satu adik saja cukup.
Nggak usahlah ada satu lagi miniatur Claudia yang menyebalkan itu.
Tapi ketika Lio lahir, aku benar-benar menyayanginya. Pipinya yang tembam, mata belonya
(yang sangat berlawanan dengan mata sipitku), rambut jigrak-jigraknya, kepolosannya, semuanya
membuatku sangat menyayanginya. Dan, di luar dugaanku, nggak ada seorang pun teman yang
mengejekku karena punya adik di usia tiga belas tahun. Mereka malah sering sengaja datang ke
rumah untuk main sama Lio.
Dan sekarang, adikku itu bilang padaku bahwa ia ingin jadi atlet bulutangkis, karena ingin
seperti cowok yang sedang dekat denganku? Wow.
Beijing... Nanti aku bisa belikan Mama magnet kulkas yang banya
Aku tertawa lagi. Mamaku mengoleksi magnet hiasan kulkas, dan belakangan ini Edgar selalu
membelikannya oleh-oleh magnet kulkas setiap kali ia ke luar negeri untuk ikut turnamen, yang
membuat Mama sangat kegirangan. Aku sempat takjub, karena Edgar ingat hobi Mama itu,
padahal aku hanya menceritakannya sambil lalu saja di salah satu obrolan kami. Ia benar-benar
cowok yang baik.
Edgar saat ini mengikuti Hong Kong Super Series. Ia baru berangkat kemarin, dan karena
turnamen itu baru berakhir hari Minggu, keesokan harinya baru dia bisa pulang.
Lio menghela napas kecewa. Lucu banget deh, gimana adikku itu sekarang sangat
bersemangat main bulutangkis, apalagi kalau ada Edgar. Padahal dulu Lio cuma mau diajak main
basket, itu pun sama Albert.
Tiba-tiba di kepalaku melintas ide bagus.
tempat Kak Aya latihan. Di sana ada juga
lho kelas untuk anak seumur Lio. Lio mau daftar? Tapi nanti di sana latihannya harus serius...
Mata Lio berbinar, dan ia mengangguk mantap. Seperti ada kembang api yang meledak di
dadaku. Aku senang sekali. Adikku kepingin jadi atlet bulutangkis!
Dan, kalau aku beruntung, sebenta rlagi mungkin aku juga akan punya pacar atlet
bulutangkis nasional. Hehehehe.
* * *
Aku masuk ke kamar Mama, dan mendapati Mama sedang rebahan sambil membaca majalan
favoritnya.
menggeleng-gelengkan kepala.
-baru ini katanya buka kelas
bujuk-
-
sepenuhnya menghapus keinginan dan cita-
pahit karena mengingat cita-citaku adalah mustahil sekarang, yang smepat hilang sejak aku
mengenal Edgar, mendadak muncul lagi. Hanya sekilas, tak terasa menusuk dalam seperti dulu.
Tapi tetap saja, rasanya pahit.
Tapi kamu bukannya... ingin Lio jadi pengganti untuk meneruskan cita-citamu, kan? Mama
tau kamu cinta sekali sama bulutangkis, tapi Lio juga punya pilihan sendiri, Aya. Bisa saja
Aku bengong. Kok Mama bisa berpikir gitu sih? Aku memang cinta mati sama bulutangkis,
apalagi memaksa Lio. Kalau sekarang dia kepengin
les bulutangkis karena lagi terpesona sama Edgar pun, aku juga nggak akan marah kalau nanti
pesona itu hilang, atau Lio jadi bosan, dan kepingin berhenti les. Semua terserah dia. Aku cuma
ingin dia... mendapat kesempatan. Aku nggak mau dia nantinya kayak aku, menyesali apa yang
mendukung kok, semua yang kamu, Claudia, dan Lio lakukan,s elama itu positif. Mama cuma
balas memeluk Mama.
* * *
Edgar juara di Hong Kong Super Series! Dia langsung meneleponku begitu selesai bertanding,
saat aku masih memekik kegirangan karena menonton livescore-nya di Internet. Aku senang
banget! Mereka mengalahkan Zakry Abdul Latif/Fairuzizuan Tazari, sekaligus membalas
kekalahan mereka di perempat final Indonesia Super Series tempo hari! Ternyata memang benar,
semua ada saatnya. Edgar/Steven hanya berhasil sampai perempat final Indonesia Super Series,
dan di beberapa turnamen setelah itu juga mereka nggak bisa berbuat banyak. Tapi di Hong
Kong ini, seperti kesetanan, mereka membabat ganda-ganda hebat dunia yang berasal dari
Inggris, China, dan Korea, lalu menjadi juara.
* * *
Hari ini, Edgar membuat suprirse dengan menjemputku di klub tempatku berlatih. Kali ini dia
cukup pintar dengan nggak turun dari mobil dan membiarkan dirinya dirubungi cewek-cewek
sambil menggandeng Lio, berniat cari ojek, dan ia menghentikan mobilnya tepat di hadapanku.
power window-nya. Lio
langsung melepas genggamanku dan berlari mendekati mobil Edgar sambil memekik senang.
raket Lio. Aku emamng sudah menceritakannya lewat SMS waktu dia di Hong Kong kemarin.
katanya sambil menepuk kepala Lio dengan
serve serve
cerita Lio penuh semangat.
annya yang nggak bisa, harus
Mereka berceloteh dengan riang, dan aku hanya bisa terpana melihatnya. Seperti pelatih dan
muridnya, tapi juga seperti kakak dan adik... Padahal aku dulu juga sering melihat Albert dan
Lio main atau ngobrol bersama, tapi nggak sekali pun kuingat mereka begitu dekat seperti Lio
dan Edgar sekarang.
okap gue mulu yang dibawain oleh--pura
ngambek.
-oleh buat lo, tapi nanti gue mau ngajak lo makan di luar. Nggak ada
mengingat-ingat, tapi
aku yakin betul ultah Edgar bulan April, sementara ini kan bulan November.
tersenyum lebar.
aaa! Aduh sori, saking kagetnya lo
jemput gue tiba-tiba gini sih, jadi blank
Edgar membantu Lio naik mobilnya, sementara aku terpana di tempatku berdiri. Dia...
* * *
memandangi tiga magnet kulkas bertuliskan Hong Kong pemberian Edgar dengan wajah
sumringah.
-
.
u kalah,
memamerkan sekantong permen dan cokelat aneka rasa yang diberikan Edgar.
-mandangi
kaus bergambar gedung-gedung pencakar langit Hong Kong dalam genggamannya dengan
terpesona. Mungkin ia sudah berangan-angan bakal memakainya mejeng di mal kapan-kapan.
Buset! Dalam sekejap Edgar sudah menjadi puja-puji seisi rumahku. Dia membelikan oleholeh
untuk semua orang, bahkan untuk Papa (gantungan kunci mobil dari kulit yan gkeren
banget), padahal Papa saat ini sedang ada urusan kerjaan di luar kota. Cuma aku yang nggak
dapat oleh-oleh.
-
iba.
Ya ampun, dia tahu aja.
, aku bagi permen sama cokelatku aja ya? Mungkin Kak Edgar
lupa beliin oleh-oleh buat Kakak. Tapi itu pasti nggak sengaja kok, jadi Kakak jangan marah ya
Mau nggak mau seisi ruangan ini tertawa geli. Lio memang lucu.
Edgar nggak lupa. Kakak emang sengaja nggak beliin oleh-oleh buat
Lio menatap Edgar nggak mengerti, tapi aku bisa melihat Mama dan Claudia sikut-sikutan di
balik punggung Edgar. Sus Ita juga mengikik geli.
Mama. Mama langsung berhenti sikut-sikutan dengan Claudia dan dalam sepersekian detik
menampakkan sikap jaimnya.
-tiba. Claudia langsung menghampiri Lio dan membisikkan sesuatu
yang mencurigakan ke kuping Lio.
Aya aja. Selamat bersenang-
Aku menelan ludah.
gula satu ton.
ikut-ikutan.
Astaga, aku curiga ada konspirasi di antara mereka.
* * *
Edgar mengajakku ke The Edge. Aku sempat tengsin saat memasukinya, karena kostumku
malam ini kan hanya atasan baby doll, skinny jeans, dan sandal gladiator yang sudah butut.
Benar-benar bukan kostum yang tepat untuk makan di sini.
Kami duduk dan memesan makanan. Edgar bercerita tentang Hong Kong Super Series yang
baru saja dijuarainya. Tentang bagaimana groginya ia sebelum berlaga di babak final, karena,
yah... jelas saja, ini kan final Super Series pertama yang berhasil dijejakinya. Kata Edgar, Steven
bahkan sempat mulas-mulas sebelum pertandingan mahapenting tersebut. Tapi untunglah
mulas-mulas itu sepertinya hanya dampak dari rasa grogi yang dialami Steven, bukan karena dia
salah makan atau benar-benar sakit.
Setelah makanan kami licin tandas, Edgar mengatakan sesuatu yang membuatku merasa
tertular Steven, mulas-mulas.
oh my God, astaga, apakah ini saatnya? Apa dia bakal nembak aku
sekarang? Setelah berbulan-bulan dekat tapi masih tanpa status yang jelas? Dia sudah ber-akukamu
sejak menjemputku dan Lio di tempat latihan tadi!
wek-
mendekati aku. Mereka pura-pura suka bulutangkis hanya karena, yah... kepingin dekat sama
aku, dapat perhatian dari aku.... Tapi kamu nggak gitu. You love this whole badminton-stuff, just
the way I do. No, you love it more than that, I guess.
Aku terdiam, berusaha lebih mendengarkan perkataan Edgar dibanding debar jantungku yang
sedang heboh melonjak-lonjak.
ulu, aku pernah putus sama cewek karena dia nggak tahan sama program latihanku yang
padat, dan karena sering aku tinggal ikut turnamen di luar negeri. Dia nggak bis amengerti
bahwa inilah jalan yang sudah aku pilih, ini kontrak seumur hidupku... dan aku nggak bis
Aku teringat perkataan Tante Wenny dulu. Menjadi atlet bulutangkis memang sama seperti
menandatangani kontrak seumur hidup, menuntut komitmenmu untuk tetap setia dalam dunia
ini.
i aku semangat. Kamu bahkan lebih ingat
jadwal turnamenku ketimbang aku sendiri. Kamu selalu yang pertama ngasih tau aku tentang
update rank-ku di BWF, sebelum pelatihku sendiri. Kamu yang membuat aku sadar, aku sangat
beruntung bisa mengharumkan nama bangsa, karena orang lain belum tentu bisa melakukan hal
yang sama. Kamu berani mengkritik aku saat permainanku jelek dan penuh emosi... Aku
kepingin jadi pemain bulutangkis yang hebat, Fraya. Aku mau orang mengingatku sebagai Edgar
Satria, bukan adik Edward. Dan aku butuh orang yang bisa mendukung aku untuk melalui
Okay, this is it. This is the time.
Lho, jadi tadi dia membawa sesuatu ya, saat turun dari mobil? Aku nggak memperhatikan.
-
mengulurkan kotak itu padaku.
Kotak itu berwarna biru, dengan ornamen silver menghiasi bagian pinggirnya. Ukurannya
sekitar 20 x 20 senti, dan bobotnya cukup ringan.
Aku membuka kotak itu, merogoh dalamnya, dan menarik keluar... sebuah piring.
Crap! Siap sial siaaaaal! Kalau begini sih nggak mungkin Edgar bakal nembak! Mana ada
cowok ngasih hadiah piring ke cewek yang akan ditembaknya???
shock-ku
saat melihat hadiah darinya yang ternyata hanya berupa piring.
Aku baru sadar, aku mengeluarkan piring itu dari kotak dengan bagian belakangnya
menghadap ke atas. Tapi toh apa bedanya, ini kan cuma piring.
Aku membalik piring itu, menatap bagian depannya, dan terkesiap.
Itu ternyata bukan piring, tapi semacam pigura yang bisa dipajang. Aku baru ingat bahwa
benda seperti ini lazim dijual di Hong Kong sebagai suvenir, dan sangat laris. Fotoku dan Edgar,
entah kapan, mungkin di salah satu acara jalan-jalan kami, tercetak di permukaan piring itu, dan
di bawahnya tertulis:
I may just won my first Super Series,
Aku tak bisa menahan senyumku yang mengembang lebar. Ini...
Aku menurunkan piring, eh... pigura foto itu dari wajahku, dan menatap Edgar.
Aloysa Iskandar, mungkin kamu sudah nggak bisa lagi mewujudkan cita-citamu utuk jadi atlet
bulutangkis, tapi... punya pacar atlet bulutangki
Gosh, itu kan kalimat Mama!
Epilog
2012
,
saudara-saudara, kita saksikan saat ini, kedudukan 20-19 untuk keunggulan pasangan
Indonesia, Edgar Satria/Steven Hardono. Sangat menegangkan, karena inilah pertandingan
perebutan medali emas Olimpiade London 2012. Pasangan Korea Jung Jae Sung/Lee Yong Dae
tampaknya tak mau menyerah begitu saja. Kita semua berdoa untuk pasangan Indonesia, agar
mereka dapat memenangkan set ketiga ini, sekaligus menjaga tradisi medali emas bulutangkis
-usap dada sambil menatap layar TV. Tante
Wenny dan Tante Sissy langsung memelototinya karena mengganggu konsentrasi mereka
menonton pertandingan heboh ini.
Ya ampun, ini seperti enam belas tahun lalu, ketika aku dan kedua tanteku itu menonton
perebutan medali emas Olimpiade di TV, dan aku jatuh cinta untuk pertama kalinya pada
bulutangkis. Tapi kini, aku jatuh cinta pada orang di layar TV itu. Edgar Satria, pacarku empat
tahun belakangan ini.
Lee Yong Dae melancarkan smash, dan... sayang sekali dinyatakan masuk! Pengamatan yang
kurang akurat dari Edgar Satria, bola dilepas begitu saja namun ternyata jatuhnya masih di dalam
garis lapangan... Kedudukan 20-20 di set ketiga ini. Kedua pasang pemain mengambil napas sejenak
di pinggir lapangan.
Seisi ruang keluargaku, mulai dari Tante Wenny, Tante Sissy, Claudia, Lio, Papa, Mama,
menunjukkan ekspresi kesal ketika pukulan Lee Yong Dae dinyatakan masuk. Semua jadi gelisah
di tempat duduk masing-masing, seperti ayam mau bertelur.
Aku, saking gelisahnya, malah jadi kaku.
Dua bulan sebelum ia dikirim mengikuti Olimpiade London, aku melihat sendiri bagaimana
Edgar digembleng habis-habisan di Pelatnas. Latihan fisik, latihan teknik, sampai pemantapan
mental seolah dijejalkan padanya. Edgar/Steven adalah ganda putra terbaik yang dimiliki
Indonesia saat ini. Peringkat 1 BWF dan sudah pernah meraih semua gelar bergengsi seperti All
England, Juara Dunia, dan juara Master Super Series. Hanya satu gelar yang belum mereka
peroleh: peraih medali emas Olimpiade. Dan inilah saatnya.
Oh ya, melihat dan mendengar sesi latihan Edgar yang gila-gilaan menjelang Olimpiade ini,
aku jadi menyadari sesuatu: aku nggak akan sanggup jika berada di posisi Edgar. Oke, mungkin
secara fisik dan teknik aku bisa, tapi secara mental... aku nggak yakin. Menonton Edgar dari TV
begini saja aku sudah tegang setengah mati, bagaimana kalau harus bertanding di lapangan untuk
turnamen nomor satu dan di poin kritis begini? Mungkin aku bakal ngompol.
Jadi, aku akhirnya benar-benar mengerti, meskipun cita-cita terbesarku semasa kecil tak bisa
kuwujudkan, tapi Tuhan telah meletakkan Fraya Aloysa Iskandar di tempat yang paling tepat.
Seperti kata Mama dan Edgar dulu, nggak bisa jadi atlet bulutangkis, punya pacar yang atlet toh
ternyata nggak buruk-buruk amat. Hehehe.
Terjadi reli yang sangat panjang. Pasangan Korea berulang kali menyerang, namun pertahanan
pasangan Indonesia sangat kokoh. Sekarang giliran pasangan Indonesia yang menyerang. Smash
pertama dari Edgar Satria... dan Steven Hardono... masih bisa dikembalikan oleh Lee Yong Dae...
dan Steven Hardono melakukan smash
Semua orang di sekelilingku menghela napas lega. Kedudukan sekarang 21-20. Olympic Gold
Medal Point untuk Edgar dan Steven, kalau saja mereka bisa menyelesaikannya...
Poin penentuan, Pemirsa. Edgar Satria yang melakukan serve. Olympic Gold Medal Point,
akankah Edgar sanggup menyelesaikan misi yang gagal diemban kakaknya, Edward Satria, dua belas
tahun yang la
God, help him, please...
sudah dilepas, kembali diangkat dengan baik oleh Jung Jae Sung. Chop oleh Steven,
diangkat lagi oleh Jae Sung. Dropshot dilakukan Steven... ke wilayah yang sulit terjangkau Lee Yong
Dae, tapi oh... masih bisa dikembalikan... tetapi tanggung, Edgar Satria bersiap melakukan smash,
Semuanya terjadi begitu cepat di depan mataku. Smash Edgar melaju dengan cepat, dan
membelah tepat di tengah dua pemain Korea itu. Detik berikutnya yang kurasakan adalah ruang
keluargaku meledak dalam sorak-sorai dan teriakan.
Tante Sissy dan Tante Wenny melompat-lompat sambil berpegangan tangan di hadapanku.
Mama dan Papa berpelukan. Lio berlari-lari keliling ruangan sambil berteriak. Adel dan Alex
memekik dan menjerit. Aku tak bisa melihat anggota keluargaku yang lain melakukan selebrasi
macam apa lagi.
Permisa, Edgar Satria dan Steven Hardono berhasil mempertahankan tradisi emas bulutangkis
Indonesia! Emas ketujuh Indonesia dari Olimpiade setelah Susi Susanti, Alan Budikusuma, Ricky
Subagdja/Rexy Mainaky, Candra Wijaya/Tony Gunawan, Taufik Hidayat, Markis Kido/Hendra
Suara komentator di TV seolah tercekat, tapi aku nggak menyalahkannya. Aku sendiri masih
terpaku di sofa tempatku duduk, nggak sanggup berkata-kata mesti di sekelilingku ada pesta.
berdiri, dan mengajakku melompat-lompat bersama. Awalnya terasa canggung sekali, namun
kemudian keteganganku seolah mencair, karena aku melihat di layar TV pun Edgar dan Steven,
bersama Edward, pelatih mereka, berpelukan sambil berguling-guling penuh sukacita di
lapangan. Nyaris nggak ada jaim-jaimnya. Dan ketika mereka berhasil berdiri lagi, kulihat muka
Edgar sudah memerah tak keruan, tapi jelas sekali ia bahagia.
Terima kasih atas dukungan Anda semua, pecinta bulutangkis di mana pun berada. Kehormatan Terima kasih atas dukungan Anda semua, pecinta bulutangkis di mana pun berada. Kehormatan
kita di bulutangkis Olimpiade tetap terjaga. Terima kasih, Edgar Satria dan Steven Hardono. Kita
akan jeda untuk pariwara, dan kembali untuk menyaksikan penyerahan medali, dan tentu saja,
mendengarkan lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Jangan ke mana-
Layar TV sudah menayangkan iklan, tapi keluargaku masih melompat, berpelukan, menjerit,
menari, dan entah melakukan apa lagi di sekitarku. Aku sendiri masih melompat-lompat dengan
Claudia.
-tiba
menyalamiku. Dan seperti air bah, mendadak yang lain juga ingat aku ini pacar Edgar, dan
langsung memberi selamat padaku.
Setelah pelukan dan pekikan yang bertubi-tubi sampai tanganku seperti mati rasa, aku
mendengar Lio datang sambil membawa HP-ku.
-
Aku cepat-cepat meraih HP-ku, dan melihat foto Edgar terpampang di sana. SMS dari Edgar!
Cepat-cepat aku memencet tombol OK, dan layar HP-ku menampilkan pesan:
I may just won the Olympic Gold Medal,
But you are, still, the most precious Medal in my life.
Aku tak bisa menahan senyumku.
Sama, Gar. You are the most precious medal in my life too.
Setelah bulutangkis, tentunya.
Freak!
Stephanie Zen
Curhat Colongan
Hai!
Inilah buku yang sudah sekian lama kuimpikan untuk terbit. Buku yang menampung rasa
bangga dan kagumku pada satu dunia: bulutangkis.
Aku kenal bulutangkis pertama kali saat Olimpiade Atlanta 1996, karena histeria dua tanteku
akan Ricky Subagdja (yeah, bagian prolog dalam buku ini adalah kisah nyata!), dan sejak itu
benar-benar jatuh hati padanya (pada dunia bulutangkis, bukan pada Ricky Subagdja, hehe...).
Kecintaanku pada bulutangkis membuatku ingin jadi atlet. Tapi, seperti Fraya, cita-citaku
juga kandas di tengah jalan. Setelah itu, selama beberapa tahun aku sempat melupakan
bulutangkis. Histeriaku beralih pada The Moffats, Westlife, dan band-band lokal Indonesia.
Sampai akhirnya, pada bulan Mei 2008, Tim Uber Indonesia berhasil mencapai babak final
Kejuaraan Uber Cup, dan itu membuat kekagumanku pada bulutangkis Indonesia, yang sudah
sekian lama tidur, bangkit kembali. Bahkan lebih daripada sebelum-sebelumnya.
Aku merasa aku harus melakukan sesuatu. Walau sudah nggak mungkin lagi mengejar citacitaku,
aku tahu dengan semua talenta yang kumiliki sekarang ini aku akan bisa melakukan
sesuatu.
Dan aku berhasil melakukannya melalui dunia lain yang juga kucintai: menulis.
Buku ini buku paling emosional yang pernah kutulis. Semua obsesi, kekaguman, kecintaan,
kehilangan, dan harapanku pada bulutangkis ada dalam buku ini. Semoga kalian bisa
menikmatinya ya, sama seperti aku menikmati menulis setiap kata yang ada. •
Thanks!
Jesus Chirst, my Lord and Savior, to whom I lay my whole love, life, and faith.
Oma Greetje Jeane Koamesah-Rondo.
Librando Laman Zen dan Ronalita Thelma Koamesah, the best parents ever!
Adikku, William Ronaldo Yozen.
Keluarga besar Zen dan Koamesah di mana pun berada, terutama Tante Denny dan Tante
Esther, yang karena histerianya saat Olimpiade Atlanta berhasil membuatku jatuh cinta pada
bulutangkis. Hehehe...
My bestiests: Dessy Amanda, Sandra Wanti, Windy Intan, dan Livia Garnadi.
Jovi, Licu, Meli, Fanie, Raymon, Rendy, Yudhi.
Vellen Herlyana dan Ira Ratnati.
Tim GPU yang luar biasa: Mbak Donna, Mbak Vera, dan Maryna Roesdy.
My favorite band ever and eveeerrrr: DAUGHTRY. Tak ada satu halaman pun dari novel ini
yang lahir tanpa diiringi lagu kalian.
Teman-teman twitter dan semua visitor http://smoothzensations.blogspot.com, especially Ci
Rina Suryakusuma, Ajeng, Anas, Prima, Sharleen (pinjam nama ya, Shar .) makasih banyak!
Para atlet bulutangkis Indonesia, yang sudah berjuang untuk memberi kami semua
kebanggaan dan selalu menginspirasiku untuk memberi lebih pada bangsa ini. Terus berjuang ya!
Dan kalian semua yang sudah baca karya-karyaku, terima kasih! Seperti biasa, ditunggu
komennya di twitter, blog, dan e-mail.
God bless us,
Steph
Untuk bulutangkis Indonesia,
My first and endless love •
Prolog
1996
Smash
Smash, Rexy, smash! Aaarggghhh... dia netting! Balas, balas! Halus aja, pelan-
Diam sejenak... Tegang...
YESSSS!
Tante Sissy dan Tante Wenny melompat-lompat kegirangan sambil berpegangan tangan. aku
mendongak sedikit dari rumah Barbie-ku, penasaran apa yang membuat mereka begitu histeris.
melangkah mendekat. Dari tadi kedua tanteku ini ribut saja. Kayaknya yang mereka tonton seru
banget...
asing di telingaku.
dilombakan di sini, dan atlet-atlet dari seluruh penjuru dunia berlomba untuk jadi yang terbaik
Bulutangkis?
a yang itu deh, yang ganteng itu. Itu dulu mantan pacar
Aku bingung. Lho, jadi sebenernya mantan pacar siapa?
bersamaan.
ran-heran.
-lagi -lagi
mereka menjawab bersamaan, dan kali ini dengan wajah
terpesona.
Aku melihat sosok di TV yang tadi ditunjuk kedua tanteku itu. Wow, ganteng! Tapi itu
berarti... kedua tanteku hanya ngibul itu mantan pacar mereka. Nggak mungkinlah Tante
Wenny dan Tante Sissy punya mantan pacar seganteng itu, bisa muncul di TV pula! Hehehe...
Aku sudah hampir bertanya lagi, tapi tampang kedua tanteku ternyata sudah berubah tegang
kembali. Tatapan mereka terpaku ke layar TV, sama sekali nggak berkedip. Aku jadi penasaran.
Nonton juga, ah!
Smash, smash! YESSS! Pengembaliannya out
Tante Sissy dan Tante Wenny berpelukan dengan heboh. Oh, sudah menang ya berarti?
ini masih pindah bola,
masih bolanya Malaysia, jadi kalau Indonesia berhasil memasukkan bola atau pengembaliannya
Malaysia out, Indonesia masih belum dapat angka. Mereka baru dapat angka kalau bola itu milik
-kamit seperti
orang baca mantra. Aku menoleh untuk mencari tahu ekspresi Tante Sissy, dan ternyata sama!
Aku beralih menatap TV, dan tanpa sadar nggak berkedip juga. Wow, bulutangkis keren
banget! Seru! Aku nggak pernah melihat yang seperti ini!
Smash, smash... SMAAASSSHHH!
tegangnya.
Aku juga jadi deg-degan. Seru banget nih!
Dan beberapa detik kemudian...
Sissy melompat-lompat di hadapanku sambil berpegangan tangan, seolah mereka baru menang
lotre. Dan aku, karena tadi ikut tegang, sekarang jadi ikut melompat-lompat juga. Wah keren!
Indonesia meraih medali emas di Olimpiade!
Di layar TV, Ricky dan Rexy berpelukan dengan pelatih mereka, sampai berguling-gulingan
di lantai. Pasti mereka bahagia banget!
melompat-lompat. Mereka masih ngos-ngosan, tapi senyum mereka mengembang lebar.
Keadaanku nggak jauh beda.
Indonesia Raya bakal dikumandangkan, dan bendera Merah
Aku manggut-manggut saja, berusaha menyerap informasti itu. Oh, ternyata kalau Indonesia
menang, lagu Indonesia Raya bakal dikumandangkan dan bendera Merah Putih bakal dikibarkan
paling tinggi...
Aku menunggu momen itu terjadi. Dan itu dia... dua atlet bulutangkis Indonesia yang tadi,
Ricky Subadgja dan Rexy Mainaky, naik ke podium, menerima medali emas dan bunga, lalu lagu
Indonesia Raya dikumandangkan, dan bendera Merah Putih dikerek naik paling tinggi, di atas
bnedera Malaysia dan satu lagi bendera Indonesia (oh, ternyata yang juara tiga juga pemain
Indonesia. Hebat!). Ricky dan Rexy kelihatannya hampir menangis.
Tante Wenny dan Tante Sissy juga.
Dan... ternyata aku juga. Seluruh tubuhku serasa berdesir, dan bulu-bulu di tanganku berdiri
semua. Ini aneh. Aku sering upacara bendera di sekolah, melihat bendera Merah Putih
dikibarkan diiringi lagu Indonesia Raya, tapi aku nggak pernah merasa seperti ini.
Ini... berbeda.
Ini pertama kalinya aku begitu bangga jadi orang Indonesia.
Dan saat itu, aku berjanji dalam hati, aku akan melakukan hal yang sama seperti Ricky
Subagdja dan Rexy Mainaky.
Di usia enam tahun, aku memutuskan: aku akan jadi atlet bulutangkis.
Aku, Fraya Aloysa Iskandar
2008
Aku menoleh. Tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara cempreng itu. Benar
saja, Adisty berlari-lari menghampiriku, sambil membawa segepok kertas, dari seberang lapangan.
terengah-engah sambil memegangi lututnya.
e mau melintas
pelan-
Aku nggak mengada-ada (atau istilah kerennya sekarang: lebay), lapangan basket sekolahku
siang ini memang gila-gilaan panasnya. Kalau kamu berusaha memandang ke seberang lapangan
saja, pandanganmu seperti bergoyang, karena terganggu uap panas yang keluar dari lapisan
semen lapangan.
-ngejarku begini
kalau nggak ada maunya.
segepok yang digenggamnya.
Oh iya, dia kan ketua kelas, ya? Dia yang ketiban tugas mengumpulkan formulir pilihan
ekskul di kelas kami. Aku lupa...
Aku menatap Adisty dengan intens, sampai dia menatapku balik dan akhirnya menghela
napas.
-
Adisty mengeluarkan bolpoin dari saku seragamnya, dan di formulir bernama Fraya Aloysa
Iskandar dia menulis dengan huruf cetak dan tulisan segede gaban: BULUTANGKIS.
Aku menatapnya dengan jenis tatapan yang tadi lagi, dan kali ini Adisty geleng-geleng. Albert
itu pacarku. Pacar keduaku lebih tepatnya, karena pacar pertamaku adalah bulutangkis.
gue dong nyariin anak-anak yang lain. Formulir ini harus gue kumpulin ke Pak Rasyid setelah
jam istirahat nih. Anak
Adisty cengengesan. Aku langsung menyadari, pasti ada sesuatu yang nggak benar.
Rasyid udah nitipin ini ke gue dari tadi pagi sih, tapi... you know,
siapa sih yang nggak jadi amnesia dadakan kalau jam pelajaran pertama langsung Bu Irma? Gue
baru ingat lagi tadi pas tengah-tengah istirahat. Alhasil, gue menghabiskan waktu istirahat gue
dengan ngejar anak kelas kita one by one
Adisty memasang tampang memelas. Hmm, , karena Bu Irma, guru fisika
kami, memang galaknya naujubile! Dan setiap kali jam pelajarannya, entah bagaimana caranya,
dia berhasil membuat kami melupakan segala hal di luar sana. Semua, kecuali rumus-rumus
untuk anak-anak sekelas. Boro-boro formulir pilihan ekskul, kalau aku kena Bu Irma, Albert pun
terlupakan kok, hehe...
berbinar.
Adisty membagi setengah gepok formulir itu padaku, lalu langsung melesat pergi lagi. Aku
menatap formulir paling atas dalam genggamanku. Di situ tertulis Darius Albert Nugroho.
Yeah, kalau dia sih nggak perlu ditanya mau ikut ekskul apa.
Aku mengambil bolpoin dari dalam orgy-ku, dan menuliskan BASKET besar-besar di kolom
pilihan ekskul milik Albert.
* * *
Aku suka bulutangkis.
Mmm... ralat, aku CINTA bulutangkis.
Sejak melihat Ricky Subagdja dan Rexy Mainaky meraih medali emas di Olimpiade Atlanta
1996, dan terkontaminasi kehebohan tante-tanteku kala itu, aku jatuh cinta pada bulutangkis.
Sampai-sampai di usia enam tahun aku memutuskan ingin jadi atlet bulutangkis.
Hebatnya, waktu itu aku sama sekali nggak memikirkan bahwa jadi atlet bulutangkis bakal
sering ikut turnamen di luar negeri (yang berarti bisa keliling dunia gratis), bakal terkenal, atau
bisa dapat hadiah ribuan dolar kalau menang kejuaraan. Yang ada di pikiranku saat itu cuma
satu: kepingin bendera negeriku dikibarkan di negara lain, dan lagu Indonesia Raya
dikumandangkan, karena prestasi yang kuraih.
, dan keinginan sederhana seorang anak kecil ternyata bisa jadi
sangat mulia di saat yang sama.
Tapi sekarang, di usia delapan belas, aku harus bisa menerima kenyataan bahwa cita-citaku
nggak terwujud.
Alasannya sederhana, sekaligus krusial: izin ortu.
Waktu aku berniat masuk klub bulutangkis di dekat rumah saat usia sepuluh tahun, Mama
menolak mentah-mentah. Aku nggak tahu apa alasan Mama waktu itu. Yang aku tahu cuma
Mama nggak mengizinkanku. Dan gimana aku bisa melawan? Aku nggak bisa. Dan nggak boleh.
Rasanya mustahil mewujudkan cita-cita kalau tanpa restu ortu, kan? Plus, siapa yang bakal
membiayaiku masuk klub kalau ortuku menentang?
Papa sih netral-netral aja, tapi karena aku tetap nggak berhasil mengantongi izin dari Mama,
akhirnya cita-citaku terkubur gitu aja.
Tapi itu nggak berarti aku melupakan bulutangkis. Not at all.
Kalau menerima kata-kata Freddie Highmore di August Rush: I love badminton, more than food
I love music, more than food
Aku tetap cinta bulutangkis, menonton setiap turnamen yang ditayangkan di TV tanpa
berkedip, dan jadi paling histeris kalau ada pemain Indonesia yang menang. Aku bahkan
mengikhlaskan sebagian uang jajanku terpotong setiap bulan, demi membayar iuran TV kabel
yang dipasang di rumah karena rengekanku, hanya supaya aku bisa tetap menonton turnamenturnamen
bulutangkis di TV (TV Indonesia mana ada yang nayangin? Mereka lebih suka
sinetron, pertandingan tinju, dan sepak bola yang menghiasi jam tayang mereka, huh!). Sayang,
sekarang aku cuma bisa heboh sendirian saat nonton bulutangkis, karena Tante Wenny dan
Tante Sissy sudah nggak tinggal di rumahku lagi. Mereka sudah married, punya anak, dan punya
rumah sendiri. Dan kecintaan mereka pada bulutangkis juga meluntur sering bertambahnya usia.
Hmm... itu sih alasan mereka, tapi aku yakin fanatisme mereka memudar karena Ricky
Subagdja sudah pensiun! Hehehe... Plus, dia sudah menikah dengan Elsa Manora Nasution.
Well, mereka udah cerai sih sekarang, tapi... Lho? kok jadi ngomongin itu ya? Pokoknya
menurutku, Tante Wenny dan Tante Sissy nggak lagi heboh pada bulutangkis karena nggak ada
lagi Ricky Subagdja. Dan jelas mereka nggak ngefans Taufik Hidayat.
-fans
pada The Moffatts, Westlife, bahkan F4 (!!!), ujung-ujungnya aku balik lagi ke bulutangkis.
Untungnya, ketika masuk SMA, aku nekat ikut ekskul bulutangkis, dan Mama sama sekali
nggak menentang. Mungkin karena beliau menganggap itu bagian dari pelajaran sekolah, atau
mungkin beliau yakin kesempatanku jadi atlet sudah tertutup karena aku sudah terlalu tua untuk
itu, I dunno. Yang pasti, aku senang banget karena masih bisa main bulutangkis.
Tapi yah... memang kesempatanku untuk jadi seperti Ricky Subagdja dan Rexy sudah
tertutup, jadi lebih baik kunikmati saja hidupku yang sekarang.
* * *
Aku mengangkat alis dan menatapnya. Heran, kami sudah pacaran sejak kelas 10, dan dia
masih menanyakan hal itu? Bukannya udah jelas, ya?
Kayaknya Albert menyadari konsep balas-pertanyaan-dengan-pertanyaan yang kusodorkan
dengan baik, karena ia langsung diam.
ikut cheerleaders
Aku, yang sedang minum dari botol minumku, langsung tersedak. Air menumpahi bagian
depan baju seragamku, dan sedikit menciprati dasbor mobil Albert.
Wh... WHAT? Cheers? Nope.
cheers bagus untuk melatih keseimbangan tubuh. Dan kamu kan jadi bisa
I do support you, Al. But pom-pom-less, you know.
kira aku nggak mendukungnya, ya? Aku selalu nonton setiap kali dia ada pertandingan, dan
mendukungnya dari pinggir lapangan. Aku hanya nggak suka melakukannya sambil mengenakan
kostum cheerleaders dan bawa-bawa pom-pom.
Jangan salah, aku menghargai cheerleaders. Memang sih, konsepnya terkesan agak dipaksakan
sejak demam Bring It On melanda Indonesia, tapi itu tetap bidang yang positif, kan? Dan
membuat pilihan ekskul di sekolah-sekolah jadi makin variatif.
. Aku kapten basket, dan kamu bisa jadi kapten cheers.
cheers sekolah kami
-kucluk masuk cheers dan merebut
Pelan-pelan, bertahap. Aku
yakin kamu pasti bakal lebih bagus daripada Cynthia, dan anggota-anggota yang lain bakal milih
Aku diam. Bukan cuma sekali ini Albert berusaha membujukku untuk masuk cheers. Awalawalnya
aku selalu menanggapinya sambil tertawa, tapi lama-lama aku jadi kesal juga. Bayangin
aja, kamu dipaksa-paksa untuk meninggalkan bidang yang kamu cintai sejak kecil untuk masuk
ke dunia baru yang kamu nggak suka. Pasti nyebelin banget, kan?
sadar aku nggak suka sama topik pembicaraannya.
Aku masih tetap diam. Biar aja aku ngambek sedikit. Albert nyebelin sih!
-keras, campuran antara bingung dan kesal.
-sekali aku minta kamu melihat dari sudut pandang aku.
Aku sering iri sama Rifat. Setiap kali tanding, dia selalu disemangatin Cynthia dengan cheers-nya.
Kamu tahu nggak, sejak Rifat jadian sama Cynthia,. permainannya makin bagus, poin yang dia
cetak makin banyak. Itu karena dia tahu ada pacarnya yang nyemangatin dia di pinggir lapangan.
Coach Wondo aja bilang, Rifat sekarang makin bagus. Bukannya aku takut suatu hari Rifat bakal
menggeser posisiku seba
cheers
Aku turun dari mobil Albert, dan dengan hati kesal berjalan menuju kelas. Untung aja tadi
waktu Albert ngomong begitu, mobilnya sudah berhenti di parkiran sekolah kami. Kalau nggak,
bakal nggak asyik banget aku ngambek sambil berusaha nyetop angkot untuk ke sekolah!
* * *
-
Aku nggak menjawab, hanya memberi isyarat dengan daguku pada Albert yang berjalan
memasuki kelas di belakangku. Sejak turun dari mobil, Albert nggak berusaha mengajakku bicara
lagi. Mungkin dia juga lagi kesal, sebodo amat. Lagian, ada bagusnya nggak saling bicara dulu
kalau kepala kami sama-sama masih panas.
Adisty menunggu Albert keluar kelas lagi (Albert memang biasa begitu, pagi-pagi datang
hanya taruh tas di kelas, lalu cabut ke lapangan basket sampai bel berbunyi), kemudian Adisty
membombardirku dengan rentetan pertanyaan.
cheers
lebih suka bulutangkis dibanding cheers? Dan lagi, gue sama Albert itu bukannya baru satu-dua
minggu pacaran, tapi udah dua tahun. Harusnya dia tahu dong apa yang gue suka dan nggak
suka? Gue capek dipaksa
-manggut. Sebagai sahabatku sejak SMP,
Adisty tahu banget aku nggak mungkin memilih cheers kalau ada pilihan bulutangkis sebagai
ekskul di sekolah ini. Bulutangkis itu bukan cuma hobi buatku, tapi seperti... hasrat. Impian.
Obsesi. Gimana ya... aku juga bingung ngejelasinnya.
Aku tersenyum kecut. Banyak orang menyebut permainanku bagus. Aku bisa mengembalikan
bola-bola yang sulit, bisa netting dengan halus, punya fisik yang kuat untuk bermain tiga set, dan
defense-ku saat menghadapi serangan lawan pun kokoh.
Tapi itu saja nggak bisa membuatku jadi atlet, kan? Ada ribuan remaja seusiaku di Indonesia
ini yang mungkin memiliki ambisi yang sama. Dan mayoritas di antara mereka juga memiliki
kelebihan yang tak kupunya: pengalaman bertanding, dan pembinaan sejak kecil.
Aku pernah baca di koran, mayoritas atlet bulutangkis top Indonesia masuk klub sejak usia
sepuluh tahun. Sejak itu, mereka terus berlatih keras setiap hari. Bahkan banyak yang setelah
lulus SMP terpaksa meneruskan pendidikannya di Pelatnas, agar bisa konsentrasi di bulutangkis.
Lihat kan, itu bukan perjuangan beberapa bulan doang. Butuh proses bertahun-tahun. Dan
banyak banget pengorbanan, mulai dari pendidikan, masa hura-hura remaja yang ungkin harus
ditaruh di urutan ke sekian, sampai harus mandiri dan tinggal jauh dari ortu. Dulu waktu kecil
aku nggak memikirkan semua itu. Aku hanya punya tekad dan impian. Sekarang, setelah remaja,
aku tahu nggak semua segampang yang aku bayangkan. Nggak semua cita-cita bisa terwujud.
Termasuk di dalamnya, aku harus bisa menerima bahwa cowokku lebih suka aku bergabung
dengan tim cheers daripada main bulutangkis. Nasiiibb!
* * *
Rupanya kekesalanku pada Albert masih berlanjut hingga sore harinya.
Hari ini hari pertama ekskulku di tahun ajaran baru. Sebagian besar sparring partner
bulutangkisku saat kelas 11 ternyata juga masih mengambil ekskul ini. Dan setelah sesi
game yang mudah. Semuanya
membawa kemenangan straight set buatku.
Aku heran kenapa bisa bertenaga kuda sore ini. But I guess, itu karena aku membayangkan
setiap shuttle cock yang mengarah ke arahku sebagai samsak tempat pelampiasan kekesalanku
pada Albert. Aku langsung memukulnya tanpa ampun. Dan hasilnya, smash tajam yang nyaris
nggak bisa dikembalikan lawanku. Kalaupun bisa, pengembaliannya nggak sempurna, sehingga
menyangkut di net.
menatapku sambil ngos-ngosan. Keringat masih membanjir di dahinya.
tadi, satu jam sebelum ekskul hari ini mulai.
energy booster
lson menyambung. Dia yang kukalahkan
pertama tadi. Eh, jangan kaget, aku aku memang biasa main lawan anak cowok. Bukannya apaapa,
tapi kadang temen-temenku yang sesama cewek suka malas ngejar bola. Nggak seru jadinya.
Lagian, banyak dari mereka yang lebih suka nitip absen doang pas ekskul, lalu langsung ngacir
untuk nongkrong di warung jus depan sekolah.
ket terkenal, hihihi...
untuk tenis. Ada juga yang untuk bulutangkis, tapi dikit banget. Kalah pamor dibanding Yonex.
Wilson langsung mengkeret mendengar ejekan Sharleen. Tapi sedetik kemudian ia tertawa
juga, karena seisi sports hall tempat kami berlatih juga tertawa.
Aku menoleh, dan melihat Pak Richard, pelatihku, melambaikan tangan. Aku mengangguk,
meletakkan botol minumku kembali ke dalam tas, lalu berjalan menghampirinya.
-aling.
Aku menelan ludah. Dari mana Pak Richard bisa tahu?
Aku melongo. Nggak konsen gimana? Aku baru saja mengalahkan tiga sparring partnerku, dan
dua di antaranya cowok! Semuanya dengan straight set, dua game langsung!
Kacau...?
si waktu bermain tadi. Ada bola tinggi sedikit, kamu
bawaannya selalu kepingin men-smash
mematikan bola begitu ada kesempatan, kan? Itu yang saya lakukan tadi, menyambar setiap
rubber set, staminamu bakal
drop
Aku terdiam. Memang untuk pemain cewek, apalagi pemain tunggal seperti aku, stamina
sangat penting. Pemain tunggal putri umumnya jarak melakukan smash, untuk menghemat
tenaga. Sebagian besar hanya mengandalkan drop-shot tajam, atau penempatan bola yang akurat
melalui tipuan yang tak disangka lawan, bukan smash-smash keras.
semakin ngotot. Gimana sih Pak Richard ini, aku merasa sedang bagus-bagusnya, kok dia bilang
permainanku kacau??
meliha
Aku berdiri kaku, memainkan senar raket yang kupegang dengan gelisah. Ini raket Yonex
ArcSaber kesayanganku, yang harganya naujubile, dan kubeli dengan susah payah karena harus
menghemat uang jajanku selama tiga bulan. Biasanya raket ini selalu kupegang dengan sayang,
seperti seorang violis menyentuh lembut biolanya, tapi kali ini aku meremasnya kuat-kuat.
membawa masalah ke lapangan, ya? Permainanmu akan jadi kacau.
Dan Pak Richard berlalu pergi sambil membawa clipboard-nya, meninggalkanku dengan
* * *
Pulang sekolah, aku mendapati ada Tante Wenny di rumah, plus dua bontotnya alias para
sepupuku, Adel dan Alex. Ternyata, hari ini Tante Wenny cuti dari bank tempatnya bekerja,
karena ia mengantar Adel ikut audisi Idola Cilik!
-berat, Aya. Semuanya hebat. Ada temen
les Adel di Gita Nada, namanya Lisa, yang juga ikut audisi tadi. Dia biasanya selalu juara satu
Aku manggut-manggut. Adel memang dileskan piano dan vokal di Gita Nada, salah satu
lembaga kursus musik yang cukup terkenal. Alex juga, tapi karena dia masih berumur lima
tahun, nyanyinya masih nggak jelas. Tapi Adel suaranya bagus, tinggi dan jernih, kayak suara
Gita Gutawa. Well, yang suara kayak dia aja nggak lolos, ya?
-tiba.
Tante Wenny melongo selama beberapa detik, lalu mengibaskan tangannya.
penyanyi sekaligus. Kalau les bulutangkis, nanti mereka malah banyakan capeknya, dan jadi
Aku melihat Adel dan Alex yang lagi rebutan remote TV dengan Lionel, adik bungsuku. Beda
dengan aku dan sepupu-sepupu yang lain, dua anak Tante Wenny ini memang kurus. Dari kecil
mereka sulit makan, dan daya tahan tubuhnya lemah (yang mengakibatkan mereka gampang
sakit, apalagi kalau kecapekan). Sekarang sudah mendingan, tapi aku tetap bisa mengerti alasan
Tante Wenny. Nggak semua orang punya badan badak tahan banting kayak aku.
-atlet yang bagus, yang juara.
Gimana kalau mereka jadi atlet yang biasa-biasa aja? Yang melempem? Dilirik sama Pelatnas aja
udah bagus
Aku menelan ludah. Dalam hati, aku agak nggak setuju. Kalau mau jadi atlet, seharusnya
bermental juara. Punya mimpi, tekad. Jangan belum apa-apa udah mundur teratur begini! Aku
dulu mundur bukan karena kemauanku sendiri, tapi karena aku memang nggak mau jadi anak
durhaka, yang ngelawan Mama karena nggak diizinkan masuk klub bulutangkis. Nggak lucu
kalau aku dikutuk jadi batu sambil pegang raket. Salah-salah, nanti malah dipajang di Istora
Senayan.
lai kehilangan orientasi
pembicaraan, dan jadi ngawur.
masih muda, masih mikir fun-fun aja. Tapi sekarang Tante tahu, merelakan anak jadi atlet itu
bukan hal yang gampang. Jadi atlet itu sama dengan tanda tangan kontrak seumur hidup.
Mereka akan mencurahkan seluruh hidup mereka untuk latihan dan pertandingan. Sekolah bakal
ditaruh di urutan ke sekian. Dan kembali lagi ke alasan Tante yang tadi, seandainya mereka jadi
atlet yang nggak berhasil, sudah terlambat untuk berbalik arah. Untuk sekolah lagi, pasti sudah
Aku mati kutu. Mungkin inilah dulu alasan Mama melarang aku masuk klub bulutangkis.
Mungkin Mama takut aku gagal, dan masa depanku akan jadi nggak jelas....
* * *
Albert kayaknya nggak betah berantem lama-lama sama aku. Malam itu, tepat setelah Tante
Wenny, Adel, dan Ales pulang, Albert muncul di depan pintu rumah. Bawa sogokan yang sangat
menggoda iman pula. Ferrero Rocher.
Aku menimang-nimang kotak cokelat mahal itu darinya dengna hati masih mengganjal. Enak
banget ya jadi cowok. Kalau habis bikin cewek marah, tinggal datang bawa cokelat, boneka, atau
bunga, dan pasang tatapan innocent ala Shinchan, pasti bakal langsung dimaafin.
angkat kotak cokelat
itu. Aku nggak ngarang, kemarin memang aku dari sana, dan cokelat-cokelat berbungkus emas
ini dipajang di dekat kasir dengan display megah, plus papan yang menuliskan special price-nya.
Albert kayak mau keselek. Tengsin banget kali ye, minta maaf sama ceweknya yang lagi
ngambek kok bawa-bawa cokelat diskonan.
Dasar cowok, harga dirinya setinggi Monas! Ya udahlah, nggak pa-pa. Beli diskonan di
Hypermart pun harganya masih gocap lebih, lumayan menunjukkan niat Albert untuk minta
maaf. Dan kalau dia datang tanpa bawa ini pun, aku pasti bakal maafin. Buatku, yang penting
dia udah niat mau minta maaf dengan tulus.
kok.
Albert langsung sumringah.
Albert nyengir sambil garuk-garuk kepala. Aku nggak bercanda lho, aku memang lebih suka
Apollo Roka, cokelat berbentuk bola dengan kacang buatan lokal, yang harga satu stoples
besarnya (mungkin isi 50 atau 100, aku lupa) sama dengan harga enam biji Ferrero Rocher.
-
Albert mengangguk, lalu mengekorku masuk rumah. Mungkin ini salah satu yang bakal bikin
aku pikir-pikir lagi kalau mau putus sama dia: Mama dan Papa sudah kenal baik, Albert, dan
sayang banget sama dia. Aku malah mikir jangan-jangan kalau Albert ngelamar aku besok pun,
dia bakal diterima. Zaman sekarang, nggak gampang cari cowok yang bisa meluluhkan hati
ortumu.
* * *
Banyak orang bilang aku cantik.
Aku nggak GR atau apa lho, tapi memang begitulah yang sering kudengar.
Dulu, aku sering ngaca dan membatin sendiri, benar nggak sih aku ini cnatik? Dan cermin
memantulkan bayangan wajah oval berkulit putih dengan mata sipit yang cantik, hidung mungil,
dan bibir tipis yang berwarna pink asli, yang sama sekali nggak butuh polesan lipstik. Nggak
jelek, memang.
Waktu year 10, Adisty malah memaksa-maksaku ikut pemilihan model di sebuah majalah
remaja. Jelas aja kutolak menta-mentah. Gimana ya...
ea (kalau dia
mengajakku ikut turnamen bulutangkis, tanpa banyak cincong pasti aku langsung setuju!).
Adisty merengek-rengek waktu itu. Katanya dia juga kepingin ikut, tapi takut kalau nggak ada
temennya. Akhirnya aku ikut juga pemilhan model itu, karena Adisty pasang aksi ngambek
dengan nggak mengajakku bicara selama seminggu. Dasar anak tengil, begitu aku bilang aku
setuju ikut pemilihan bareng dia, dia langsung memelukku seolah aku ini baru pulang dari
Zimbabwe setelah satu dasawarsa.
Aku dan Adisty akhirnya bikin foto untuk syarat pemilihan model itu di studio foto dekat
rumah Adisty. Foto-foto Adisty hasilnya bagus banget, menampakkan wajah sumringah model
iklan odol, sementara wajahku kayak model iklan obat pelancar BAB, sepet, dikombinasikan
dengan meringis. Nggak banget pokoknya! Dan berhubungan bukan aku yang niat untuk ikut
pemilihan itu, akhirnya formulirku pun diisi dengan tulisan tangan Adisty. Dia juga yang niat
mengukur linggar pinggang, dada, dan pinggulku dengan meteran jahit punya neneknya.
Tapi coba tebak, siapa yang berhasil masuk unggulan pemilihan model itu? Eng ing eng...
AKU!
Hebat banget bagaimana mata para juri itu mengalami katarak dadakan sehingga
meloloskanku, sementara Adisty langsung gugur di saringan pertama. Dan percaya nggak
percaya, aku malah berhasil melaju sampai semifinal! Tapi hanya smapai di situ aku langsung
rontok, karena untuk jadi finalis diadakan penjurian face-to-face
kelihatannya langsung menghancurleburkan niat para juri pemilihan model sampul itu untuk
meloloskanku ke babak selanjutnya. Rupanya mereka bisa melihat bayang-bayang kehancuran
majalah mereka di masa depan kalau masih niat memajangku di sampulnya, hehehe... Ditambah
lagi, saat acara unjuk bakat, ketika peserta-peserta lainnya menyanyi, akting, bahkan nekat
melukis dalam waktu singkat untuk para juri itu, aku malah kepingin mendemonstrasikan
kelihaianku melakukan jumping smash. Jelas aja mereka keder. salah-salah nanti kepala mereka
yang kena shuttle cock. Jangan salah, kecepatan jumping smash ada lho yang 300 km/jam.
Walaupun smash-ku mungkin nggak sampai setengahnya.
Jadi yah... begitulah, aku dengan senang hati pulang ke rumah setelah penjurian itu, tahu
pasti bahwa aku nggak akan dihubungi lagi oleh redaksi untuk penjurian selanjutnya. Banyak
yang menyayangkan karena aku membuang-gan terang
terangan menyebutku tolol karena sudah menghilangkan peluang merintis jalan baginya, yang
ingin ikut pemilihan itu tahun depan). Yeah, kesempatan apanya? Kalau ada Susi Susanti
menawariku privat selama sebulan dan peluang ikut seleksi nasional untuk bisa masuk Pelatnas,
itu baru namanya kesempatan!
Tapi yah, setelah acara pemilihan model yang terpaksa kuikuti itu, aku jadi nggak lagi
menatap aneh setiap ada yang bilang aku cantik. Paling-paling aku hanya akan nyengir GR dan
bilang makasih. Bisa sampai babak semifinal pemilihan model sampul majalah remaja paling top
seantero Indonesia jelas membuktikan aku memang nggak jelek-jelek amat.
Thomas & Uber Cup 2008
AKU melonjak-lonjak girang begitu bangun pagi ini. Hari ini, turnamen Thomas dan Uber Cup
2008 bakal dimulai! Yeeeesssss!
For your information nih, Thomas-Uber Cup adalah kejuaraan beregu bulutangkis. Thomas
untuk cowok, Uber untuk cewek. Diselenggarakannya tiap dua tahun sekali, dan kebetulan
tahun ini diadakan di Indonesia! Aku bener-bener excited menyambut turnamen tahun ini.
Soalnya, gengsi Thomas-Uber itu selevel dengan Olimpiade. Of course, aku berniat bakal nonton
langsung di Istora Senayan. Apa gunanya tinggal di Jakarta dan jadi badminton mania kalau aku
melewatkan event kali ini?
Jam satu siang, Papa mengantarku ke halte busway blok M. Aku memang berinisiatif untuk
naik bus Transjakarta dari sini sampai halte Senayan. Soalnya, kasihan Papa kalau harus
mengantarku sampai Istora. Rumahku kan di Bintaro, yang lumayan jauh dari Senayan. Bakal
boros bensin banget, kan? Ingat global warming cuy, lebih baik menggunakan transportasi
umum.
Di halte busway Senayan aku turun, dan ternyata Wilson, Charles, serta Sharleen sudah stand
by di sana. Kami memang janjian ketemu di sini, baru ke Istora bareng-bareng.
Waktu kami sampai di Istora, ternyata suasananya nggak begitu rame. Mungkin karena masih
babak pertama kali ya? Kami beli tiket di loker dan langsung masuk. Partai pertama (tunggal
putri) antara Indonesia dan Jepang bakal dilangsungkan sebentar lagi, antara Maria Kristin
Yulianti dan Eriko Hirose.
Aku duduk di salah satu tribun, dan jumpalitan sendiri selama pertandingan. Aku memang
agak norak kalau nonton bulutangkis, bisa jerit-jerit sendiri. Orang rumah suka rese kalau lihat
aku nonton bulutangkis di TV, karena aku suka tegang dan histeris berlebihan. Kayak terlalu
menghayati, gitu. Tapi sebodo amat, nggak pernah dengar namanya orang nge-fans, ya? Toh aku
nggak pernah protes juga kalau Claudia, adik cewekku yang masih SMP itu, heboh nonton Nidji
di TV. Dan aku juga nggak pernah ngomel kalau Lionel norak nonton Barney, padahal, please
deh, itu kan cuma boneka dinosaurus!
Jadi, mana yang lebih wajar: histeris karena nonton pertandingan olahraga, atau karena
nonton Nidji dan Barney?
Nah, balik lagi ke pertandingan live di hadapanku sekarang. Maria Kristin akhirnya harus
menyerah melawan Jepang. Walaupun dia berhasil merebut game pertama, dia kalah di dua game
selanjutnya. Aku lesu, tapi tetap optimis Indonesia bakal bisa merebut partai berikutnya.
Hmm, kujelaskan sedikit lagi. Di babak penyisihan Uber Cup ini akan ada lima partai yang
dipertandingkan antar dua negara. Pertama, tunggal putri, lalu ganda putri, terus tunggal lagi,
ganda lagi, dan terakhir tunggal lagi (untuk Thomas Cup sama, hanya saja yang main cowok).
Yang berhasil merebut tiga partai duluan, dia yang menang. Tapi biasanya untuk penyisihan
akan dimainkan sampai habis lima partai. Kalau sudah sistem gugur, seperti babak perempat
final, semifinal, dan final, pertandingan diakhiri kalau ada tim yang sudah merebut tiga partai
duluan, jadi kalau sudah ada yang kedudukannya 3-0 atau 3-1, ya partai berikutnya nggak usah
dimainkan lagi, karena sudah jelas siapa yang melaju ke babak berikutnya, kan?
Sekarang partai kedua, ganda putri. Indonesia menurunkan Vita Marissa/Lilyana Natsir. Asal
tahu aja, kedua orang ini sebenarnya bukan pemain ganda putri, tapi ganda campuran. Dan
bukan ganda campuran ecek-ecek juga. Vita bersama Flandy Limpele ada di peringkat tiga dunia.
Lilyana jangan ditanya, dia berhasil menduduki posisi puncak bersama Nova Widianto. Hanya
saja, aku nggak tahu kenapa tiba-tiba dua pemain cewek ganda campuran ini dipasangkan jadi
ganda putri. Kesannya kayak coba-coba banget, gitu. Tapi kalau aku nggak salah, mereka justru
berhasil meraih juara di China Open tahun lalu! Weits, baru dipasangkan, tahu-tahu juara. Siapa
yang nggak kagum?
Sudah menjadi rahasia umum, prestasi pebulutangkis putri Indonesia sangat jeblok
belakangan ini. Di Olimpiade 2004, kita bahkan nggak mengirimkan wakil di sektor putri sama
sekali. Aku miris banget waktu melihatnya, karena seolah kita sudah nggak punya harapan lagi
dari sektor putri sejak pensiunnya Susi Susanti dan hijrahnya Mia Audina ke Belanda.
Tapi untunglah, tim Uber Indonesia bisa lolos ke putaran final kali ini. Kayaknya mereka
memang nggak ditarget terlalu tinggi. Mungkin berhasil sampai perempat final pun sudah bagus.
Ya iyalah, secara tahun 2006 kita bahkan nggak lolos kualifikasi! Jadi kali ini berhasil masuk
penyisihan pun udah lumayan.
Aku dan Sharleen bengong-bengong tegang sewaktu melihat Vita/Lilyana melawan Satoko
Suetsuna/Miyuki Maeda. Buset, mereka memang layak banget menjuarai China Open tahun
lalu. Permainan mereka keren banget, defense-nya bak tembok, dan smash-smash-nya,
omaigaatttt... are they really women? Tenaga mereka kayak mesin giling!
Dan tiba-tiba aku seperti tersadar... Pak Richard waktu itu benar. Aku memang mengalahkan
Sharleen, Wilson, dan Charles, tapi semua seranganku penuh emosi, gara-gara aku lagi kesal
sama Albert. Sedangkan sejuta serangan yang dilancarkan Vita/Lilyana sangat terkontrol.
Kelihatan sekali mereka pebulutangkis profesional, mainnya nggak pakai emosi, tapi pakai otak.
Mendadak, aku jadi merasa bersalah banget, sudah membantah Pak Richard waktu itu.
* * *
-
lonjak riang di sebelahku saat kami keluar dari Istora. Indonesia baru saja mengganyang Jepang
4-1, skor yang nggak pernah kuduga sebelumnya.
aja mungkin nggak bisa jumping smash kayak mereka. Badannya pada kecil mungil, tapi mainnya
-geleng kepala.
-
tapi, pada laper nggak sih? Gue terakhir makan pas istirahat tadi siang di kantin. Perut gue udah
Aku tertawa. Dasar si Raket, suka nggak nyambung. Orang lagi ngebahas pertandingan, kok
dia malah tiba-tiba ngebahas makan.
Char
Aku memang lagi senang banget karena tim Uber Indonesia bisa menang. Memang baru
babak penyisihan pertama, tapi rasanya sudah kayak juara aja. Tim bulutangkis cewek Indonesia,
yang selama ini diremehkan, dipandang sebelah mata, berhasil melindas Jepang 4-1. Nyaris 5-0!
Jadi kupikir, bagus juga kalau rasa senangku itu kulampiaskan dengan mentraktir temantemanku.
Wow, aku bisa melihat dengan jelas jakun Wilson dan Charles yang bergerak sewaktu mereka
menelan ludah. Dan aku juga jadi merasa bego... Aku tadi bilang mau nraktir Duck King?
Nggak salah nih?
-
Aku cuma bisa cengar-cengir bego mendengarnya.
* * *
Kami akhirnya makan mi ayam di salah satu gerobak PKL yang berjualan di sekitar Istora. Kalau
lagi ada event gini, memang PKL langsung menjamur. Jeli banget melihat peluang, tahu bakal
ada anak-anak SMA macam kami yang keroncongan setelah histeris selama menonton
pertandingan.
-elus perutnya. Dia baru
menghabiskan dua porsi, katanya mumpung ditraktir. Dasar nggak mau rugi.
menyendok
kuah bumbu mi ayam itu sampai tetes terakhir.
Bang Joko deh...
ora tuku, alias gratis! ora tuku, alias gratis!
menatapnya sambil melongo. Garing banget si Charles!
Sambil menunggu Charles menyelesaikan makannya (dia paling bontot kelarnya karena
kebanyakan ngoceh dari tadi), aku, Sharleen, dan Wilson membahas pertandingan tadi lagi.
Kayaknya emang nggak ada habisnya, sekaligus mengejutkan. Aku sampai sekarang masih belum
percaya Indonesia menang dengan skor besar.
Saat kami asyik ngobrolin pertandingan tadi, seorang cewek datang dan duduk di sebelahku.
Dia memesan mi ayam pada abang penjualnya, lalu sibuk mengamat-amati display kameranya.
Aku nggak tahan untuk nggak mengintip sedikit. Wow, kameranya canggih! Ada lensa
panjangnya. Apa sih namanya itu? DSLR, ya? Gile, itu kan bukan kamera buat mainan! Refleks,
aku meraba digicam Sony DSC-T200 yang ada dalam tasku, yang hanya kupakai buat foto-foto
narsis, jelas nggak bisa dibandingkan dengan kamera yang dipegang cewek itu.
Karena penasaran seperti apa hasil foto yang diambil oleh kamera canggih macam itu, aku
terus menjulurkan leher. Mungkin sudah persis ibu-ibu tukang gosip yang mengintip dari balik
pagar pembatas rumah tetangganya.
Wah, gila! Foto-fotonya keren! Ada Maria Kristin saat hendak serve, Jo Novita yang sedang
jumping smash, Pia Zebadiah...
Aku langsung melonjak kaget, seolah berada dalam film kungfu mandarin zaman baheula,
dan ada penekar yang baru membebaskan totokan di tubuhku. Cewek itu menatapku penuh
selidik, mungkin juga merasa nggak nyaman.
foto lo keren-
-pa kok. Thanks anyway, udah
genggamannya dengan sayang.
-jangan
dia... nyolong?
Shuttlers
mengulurkan tangannya.
-benar ngawur. Dia ini wartawan,
-temanku satu per satu. Shendy
melambai sedikit, menyapa mereka. Semua temanku membalas dengan senyum.
More than food.
August Rush... kata-katanya Freddie Highmore di film itu... gue August Rush... kata-katanya Freddie Highmore di film itu... gue
menggaruk kepalaku dengan wajah bodoh.
August Rush -
-pa,
kan? Habis ini gue harus ngeliput lagi soaln
Shendy mulai makan, tapi juga sambil mengajakku ngobrol. Wilson, Charles, dan Sharleen,
karena duduknya agak jauhan, jadi ngobrol sendiri waktu aku ngobrol sama Shendy.
-
Shendy terdiam sebentar, lalu manggut-manggut dan menyuapkan mi ke mulutnya lagi.
Second one
banget nonton bulutangkis live, tapi mahasiswi bokek kayak gue bisa makin bangkrut kalau
nekat nonton setiap pertandingan dengan beli tiket. Lo tahu sendirilah tiket turnamen sekarang
nyengir Shuttlers. Kenalnya pas
nonton turnamen juga. Dan pas ngomong bulutangkis ternyata nyambung. Dia bilang
pengetahuan gue lumayan, dan kebetulan majalah dia lagi nyari wartawan part-time juga. Dia
nyuruh gue ngirim contoh tulisan, gue coba... eh keterima! Lumayan, kalau wartawan kan selalu
dapet ID card pas turnamen-turnamen begini, jadi gue nggak perlu beli karcis penonton lagi,
Aku mendengar penjelasan Shendy dengan terpesona, dan pandanganku jatuh pada ID card
untuk awak media yang tergantung di lehernya. Wow, asik juga ya... nggak perlu keluar duit,
dibayar untuk bekerja di bidang yang disukainya, dan bakal punya akses ke player area pula. Cool
banget!
Shendy melirik jam tangannya, dan terkaget-kaget sendiri.
Nice to meet you!
Cewek itu membayar makanannya, melambai pada aku dan tiga temanku, lalu berlari kembali ke
gedung Istora. Ransel hitamnya yang besar bergoyang di punggungnya saat dia berlari.
Hmm... jadi wartawan part-time kayaknya asyik banget.
* * *
Sebenarnya aku kepingin melanjutkan nonton Thomas Cup di Istora malam harinya, yang
digelar setelah pertandingan uber Cup, tapi jerat otoriterisme bernama sekolah menahanku.
Besok aku ada ulangan fisika, sh*t! Alhasil, aku terpaksa menyeret diriku pulang dan nonton dari
TV doang, sambil belajar fisika pula! Nggak asyik banget, karena aku membayangkan di Istora
pasti jauh lebih seru dibanding di ruang keluargaku, yang penghuninya selain aku cuma Claudia,
Lio, dan Sus Ita, babysitter yang bertugas mengurus Lio.
Ditambah lagi, Claudia bawel mulu dari tadi.
Indonesia p
Aku mengalihkan pandanganku dari layar TV, yang menayangkan pertandingan Thomas
Cup antara Indonesia vs Thailand, untuk menatap Claudia dengan sengit.
game pertama! Partai pertama! Masih ada empat partai
Aku cemberut. Enak aja ini anak bikin prediksi kelas teri!
soft starter! Dia emang suka lambat di awal, tapi
lihat aja di game
at bulu
ayam ditepok-
whatever lah ya, yang penting gue bosen nontonnya. Lo norak lagi, di depan TV aja
Claudia melakukan manuver kilat untuk merebut remote yang kupegang, tapi ternyata terbiasa
main bulutangkis memberiku gerak refleks yang sempurna. Remote itu sudah berada di balik
punggungku sebelum Claudia sempat merebutnya.
posisinya
nggak menguntungkan, karena pantatnya malas beranjak dari sofa tempatnya duduk. Alhasil, dia
setengah nungging setengah meregangkan tubuh, untuk merebut remote dariku.
ricuhan ini.
Kecil-kecil sudah mempraktikkan peribahasa memancing di air keruh! (Lagian mana ada Barney
tayang jam segini!)
Claudia akhirnya mengejar-ngejarku keliling ruang tamu untuk memperebutkan remote.
Hebat, kami serasa flashback ke sepuluh tahun lalu, saat kami masih demen rebutan baju Barbie
yang paling bagus, dan selalu kejar-kejaran setiap yang satu berhasil mendapatkan yang
diinginkan pihak lain.
SMS SMS...
HP Claudia berbunyi, menandakan SMS masuk. Aku menghela napas lega, dan menjatuhkan
diriku di sofa. Lumayan, break kejar-kejaran sebentar. Lagi-lagi, terbiasa main bulutangkis
memberiku keuntungan fisik. Napasku masih tetap stabil, sementara Claudia membaca SMS di
HP-nya dengan napas yang sudah Senin-Kamis.
infotainment RCTI! Siniin remote-nya, Aya! Siniin!
Claudia melempar HP-nya begitu saja ke sofa, dan kembali mengejarku untuk merebut
remote. Sayang, injeksi dari teman Nidjiholic-nya yang memberitahukan ada Nidji di RCTI
ternyata sanggup membuat Claudia makin brutal untuk merebut remote. Dia berhasil menyamai
kecepatanku berlari sampai akhirnya berhasil merebut remote. Tapi ketika dia mengganti channel
ke RCTI, acara infotainment-nya sudah habis.
Claudia melempar remote TV kembali padaku, dan aku dengan girang mengganti kembali ke
Trans TV, yang menayangkan Thomas Cup.
Tapi ternyata... pertandingan Sony vs Bonsak Ponsana pun sudah selesai. Dan Sony kalah.
an kesempatan itu untuk
balas dendam padaku. Sialaaaannn!
* * *
Tim Thomas Indonesia akhirnya memang menang melawan Thailand, tapi skornya hanya 3-2.
Mmm... skor yang kurang memuaskan, karena di atas kertas, tim Thomas Indonesia seharusnya
bisa mengatasi Thailand tanpa kesulitan. Untung aja Simon Santoso menang di partai terakhir,
kalau nggak... malu deh Indonesia, bertanding di kandang sendiri kok malah keok.
Memang sih, kalau kalah nggak akan langsung gugur, karena ini masih babak penyisihan
grup. Tapi tetap aja kekalahan itu bakal memalukan banget, apalagi untuk tim yang
menargetkan merebut Thomas Cup tahun ini.
Walau Badai Menghadang
dan Bu Irma hengkang dari kelas. Asal kalian tahu ya, aku mengerjakan ulanganku tadi dengan
ngawur total, karena setelah nonton Thomas Cup di TV kemarin, aku sama sekali nggak minat
belajar, terus berniat leha-leha sebentar, tapi akhirnya malah ketiduran sampai pagi. Begitu
bangun, aku langsung tergopoh-gopoh belajar. Tapi apa yang bisa masuk ke otak manusia yang
bahkan nyawanya baru terkumpul separo???
dulu, mandi sa
-garuk kepala. Wanda pacar
Charles, dan jelas aku nggak mungkin memaksa Charles tetap ke Istora saat dia kepingin
menghabiskan waktu sama pacarnya.
Dan mendadak, seolah punya radar dalam telinganya yang membuatnya muncul setiap kali
Charles.
namanya disebut, Wilson sudah berdiri di belakangku.
rumah. Di kamar gue,
Wilson langsung memelototinya dengan jenis tatapan bego-kata-kata-gue-tadi-kan-bukandalam-
artian-sebenarnya.
Aku juga nggak pernah masuk ke kamar Wilson. Jangan salah, masuk ke kamar Albert aja aku
nggak pernah. Karena umumnya kalau ada tugas kelompok di kelasku, acara kerja kelompok itu
pasti diadakan di rumah anggota cewek, dan selalu di tempat
atau ruang keluarga, untuk meminimalisasi kemungkinan kamu melihat barang-barang pribadi
temanmu yang sebenarnya tak ingin kaulihat, seperti kaus-kaus kaki bekas pakai berserakan
(untuk cowok), atau tumpukan rapi underwear di atas pakaian yang baru disetrika tapi belum
dimasukkan ke lemari (untuk cewek).
Charles
memberikan bantuan untuk memacu daya imajinasi Sharleen. Dari caranya bilang begitu,
kayaknya Charles sering melihat kaus-kaus kaki berserakan di kamar Wilson.
Tapi Wilson rupanya nggak merasa terbantu, soalnya dia langsung memelototi Charles. Kali
ini dengan jenis tatapan nggak-usah-segitunya-kaleee!
menginterupsi Charles dan Sharleen yang makin error
Aku dan Sharleen cuma bisa manggut-manggut. Berarti hari ini bakal kurang seru dong,
karena jumlah tim hura-hura berkurang sampai separonya. Mungkin aku harus mengajak satu
orang lagi, biar rame sedikit. Dan saat itu Adisty masuk kelas, baru kembali dari acara ngabur
kilatnya ke kantin. Aku jelas nggak membuang-buang kesempatan.
kalau gue sama Sharleen doang, ntar nggak
melancarkan rayuan.
Adisty kontan menggeleng, kayak aku baru menawarinya ikut ekspedisi ke lembah Kongo aja.
-bising gitu. Lagian gue nggak
ngerti bulutangkis sama sekali. Ntar yang ada gue malah bersorak waktu lawan yang dapat
Dari ekor mataku, aku bisa melihat Sharleen menahan tawa gelinya. Aneh memang, aku yang
badminton freak bisa bersahabat dengan Adisty yang, bisa dibilang, buta bulutangkis, tapi itulah
yang terjadi. Untuk urusan bulutangkis, aku memang nyaris nggak pernah melibatkan Adisty.
Sama seperti dia yang nggak pernah melibatkan aku dalam hobinya nonton konser musik jazz,
yang memang nggak begitu kusukai. Istilahnya mungkin kami berdua ini sudah saling
pengertian. Yaiiyy, caraku mengatakannya seolah kami in pasutri saja!
Tapi kali ini kasusnya berbeda. Mana asyik ke Istora kalau cuma berdua? Memang sih, di sana
bakal banyak suporter, tapi kan lebih asyik kalau kita juga bawa banyak teman.
merengek-rengek ke lo sama Sharleen biar kita cepetan cabut, padahal lo berdua mana mau
Aku terpaksa mengakui, Adisty benar. Ini sama saja dia menawariku ikut nonton JakJazz
bersamanya, tapi mungkin di tengah penampilan Syaharani aku bakal merayunya (Adisty
maksudku, bukan Syaharani) untuk ngabur secepatnya dari situ, karena aku sama sekali nggak
ngerti dan nggak bisa menikmati musik jazz.
Bukannya aku bilang jazz itu jelek atau apa lho ya. Ini hanya... tahu kan, masalah selera.
nggak pa-
* * *
Hari ini, tim Uber Indonesia dapat giliran main lagi. Lawan mereka lebih berat, tim Belanda.
Aku sudah semangat membayangkan Maria Kristin bakal melawan Yao Jie, tunggal pertama
Belanda yang sebenarnya adalah pemain kelahiran China. Yah, bukan rahasia umum memang,
banyak pebulutangkis China yang akhirnya hijrah dan bermain untuk negara lain, karena di
negaranya sendiri persaingannya sangat ketat. Kalau nggak benar-benar bagus, bakal tergusur
oleh pemain-pemain muda yang memang stoknya sangat melimpah. Kasusnya kurang-lebih sama
dengan di Indonesia, banyak pemain yang akhirnya jadi pemain atau pelatih di luar negeri, mulai
dari Singapura, Hong Kong, Malaysia, sampai Belanda. Yang paling membuatku prihatin adalah
waktu Rexy Mainaky, yang dulu bersama Ricky Subagdja berhasil membuatku jatuh cinta pada
bulutangkis, akhirnya pindah ke Malaysia untuk jadi pelatih di sana. Dampaknya, sekarang
Malaysia punya banyak banget ganda putra yang bagus, tentu saja hasil didikan Rexy. Bukannya
di Indonesia para ganda putranya jelek-jelek lho ya (mereka ganteng-ganteng kok... eh,
maksudku bagus-
negara yang hilang, diambil negara lain. Kayak Pulau Sipadan dan Ligitan, huh!
Nah, cukup untuk curcol alias curhat colonganku. Aku dan Sharleen akhirnya sampai di
Istora, tepat sebelum partai pertama Indonesia vs Belanda dimulai. Tapi ternyata lawan yang
bakal dihadapi Maria Kristin bukan Yao Jie, melainkan Rachel Van Chutsen. Hmm... pemain
yang belum terlalu terkenal. Aku optimis Maria bakal menang.
Dan benar saja, Maria menang mudah. Straight set, lagi. Aku dan Sharleen langsung heboh.
Kalau tim Uber Indonesia bisa bermain seperti waktu menghadapi Jepang, bakal menang lagi
nih. Paling nggak 3-2 lah.
Waktu aku dan Sharleen masih heboh bersorak, ada yang mencolek punggungku. Sialan, di
Istora ada oom-oom hidung belang juga?!
Aku menoleh, sudah siap dengan semprotan makian di mulutku, tapi langsung tutup mulut
dan meringis malu begitu mendapati yang mencolekku tadi ternyata Pak Richard, pelatihku.
-
Jelas, aku dan Sharleen nggak menolak. Kan kami memang lagi butuh tambahan anggota tim
penggembira. Lagian, kalau sama Pak Richard bakal asyik banget deh. Sambil nonton, bisa
sekalian dapat ilmu, soalnya Pak Richard suka sekalian membahas pertandingan yang
berlangsung. Serasa kita dapat komentator pribadi gitu.
tunggal terbaik Belanda.
Aku manggut-manggut, dan teringat sesuatu.
Aku melongo. Kentut???
da gas yang keluar dari
tubuhku. Dan aku nggak merasa kentut!
Richard cengengesan. Aku langsung paham maksudnya. Siaul, pelatih satu ini ternyata iseng
juga.
Bapak! Ya nggaklah, Pak! Nggak bonafide banget saya. Masa kentut di event
internasional kayak Thomas--pura cemberut. Sharleen jelas, sudah
terbahak-bahak.
menang lawan yang lainnya, tapi pukulanbata.
Memang nggak gampang mengakui kesalahan. Sorry seems to be the hardest word.
-
Aku menceritakan soal Vita Marissa dan Lilyana Natsir yang kulihat melawan pemain Jepang
waktu itu. Tentang bagaimana mereka bisa mengontrol diri untuk nggak main pakai emosi.
-pa, Fraya. Lupakan saja. Kan memang sudah tugas Bapak sebagai pelatih
gsung plong.
Aku dan Sharleen serempak melongo melihat Pak Richard yang ternyata jauh lebih heboh
dibanding kami berdua. Ya ampun, pelatihku ternyata norak juga.
* * *
Indonesia menang lagi. Dan kali ini sapu bersih, 5-0! Aku benar-benar girang, kayak orang
menang lotre. Yes, kami masuk perempat final dengan status juara grup! Yang berarti lusa bakal
menghadapi Hong Kong. Aaahh... nggak sabar rasanya. Kepingin cepat-cepat menonton aksi tim
Uber Indonesia yang mendadak berubah jadi superior!
Aku dan Sharleen berniat cari makan lagi di luar Istora. Sharleen ngebet kepingin mi ayam
yang kemarin lagi. Enak banget katanya. Aku nggak doyan-doyan amat sih, tapi nggak pa-pa lah,
biar kutemani Sharleen memuaskan ngidamnya. Sayang Pak Richard harus buru-buru pulang
setelah pertandingan selesai tadi. Dia bilang harus jemput istrinya. Jadi, aku dan Sharleen tinggal
berdua lagi.
Waktu sampai di gerobak mi ayam yang kemarin, aku melongo. Ada Shendy, wartawan
majalah yang kemarin itu lagi. Wah, ternyata dia sama kayak Sharleen, kepincut mi ayam ini
juga.
upa. Nama lo langka
Aku nyengir. Memang dari dulu aku menyadari namaku nggak banyak yang punya. Seneng
aja gitu, nggak banyak yang ngembarin. Kan nggak lucu kalau ada kejadian kayak di kelas XII
sama-sama Melisa. Jadi kalau dipanggil
IPA-3 di sekolahku, ada tiga cewek yang namanya
-tiganya. Bukannya aku bilang nama Melisa itu kodian lho, tapi tahu
kan, contoh kasus aja.
Sharleen duduk lalu memesan mi ayam pada penjualnya.
Wah, ternyata beneran dia ingat naam semua temanku. Cuma naamku yang susah masuk ke
otaknya.
-
Sharleen.
Shendy ber-ooo ria.
-
karena melihat kamera canggih Shendy
Shendy lalu menunjukkan hasil jepretannya ke aku dan Sharleen. Wow, harus diakui dia
ternyata memang kompeten untuk jadi wartawan merangkap fotografer. Hasil jepretannya
bagus-bagus semua. Aku nggak ngerti gimana caranya dia bisa dapat hasil foto yang bagus gitu,
padahal kan objeknya bergerak terus, dan jelas bukan dengan slow motion.
--cengir kesenangan.
HP-ku mendadak bunyi, ada telepon masuk. Aku melihat layar, dan ternyata yang muncul
nama Albert.
Hmm, biarpun pacaran, aku sama Albert memang sama-sama nggak punya panggilan sayang.
Kayaknya lebih enak aja manggil nama masing-masing gitu. Kedengarannya aneh ya? Soalnya
setahuku sih banyak temanku yang saling panggil babe, honey, sayang, atau sebangsanya itu
dengan pacar masing-masing. Tapi biar deh, mungkin memang aku dan Albert aja yang nggak
romantis.
-kemarin, aku nonton Thomas-
Albert diam, tapi aku bisa mendengar dia mendesah.
Aku memutar bola mataku. Mulai lagi dia. Padhaal baru kemarin aku maafin, kenapa
sekarang dia cari gara-gara lagi? Kok dia nggak ngerti juga sih aku ini cinta mati sama
bulutangkis?
mungkin dong aku nyia-nyiain kesempatan untuk nonton live
Bukannya aku mau bikin dia kesal, tapi aku cuma kepingin dia bisa memosisikan dirinya sebagai
aku.
Albert diam lagi. Mungkin dia nggak bisa menjawab pertanyaanku.
-
Dan aku langsung memutuskan sambungan. Nanti kalau sudah sampai rumah, aku harus
telepon dia, katanya? Yang bener aja! Cuma untuk mendengar dia mengeluh dan ngomel lagi
soal kegilaanku pada bulutangkis? Nggak deh, makasih banyak.
menguping. Hmm, kayaknya cewek ini nggak cuma pantas jadi wartawan, jadi detektif juga dia
cocok.
--
melewatkan hari-
melewatkan kesempatan nonton Thomas-Uber Cup yang digelar di negara sendiri/ Yang bener
terus beranggapan seharusnya gue ikut ekskul cheers, biar bisa cocok sama dia... Tapi mana
mungkinlah gue ikutan cheers
Shendy manggut-manggut, setuju dengan sepenuh hati. Tapi aku sendiri malah jadi bingung,
kok aku bisa-bisanya curhat soal cowokku ke wartawan yang bisa dibilang, nggak kukenal? Yang
ketemu pun baru dua kali. Nggak biasanya aku ember begini.
basket atau cheers
Aku cuma bisa tersenyum kecut. Mana tahu Albert tentang itu?
Dan mana dia peduli?
* * *
Sehabis makan mi ayam, aku dan Sharleen masuk lagi ke Istora untuk nonton pertandingan tim
Thomas. Dan kami menyaksikan sendiri gimana tim Thomas Indonesia berhasil menyingkirkan
keraguan publik (setelah kemenangan yang kurang mengesankan atas Thailand) dengan
menggasak Jerman 5-0.
Seneng banget rasanya hari ini, tim Thomas-Uber Indonesia sama-sama menang dengan skor
sapu bersih. Kalau aja kegiranganku hari ini nggak dirusak oleh sikap konyol Albert di telepon
tadi siang. Aku benar-benar jengkel sama dia. Sepulang dari Istora pun aku memutuskan nggak
akan menelepon dia. Biarin aja, daripada dengerin dia ngomel lagi. Besok kalau dia tanya, aku
bakal bilang aku tepar sepulang dari Istora, dan satu-satunya yang sanggup kulakukan hanya
tidur. Nggak punya tenaga lagi untuk telepon dia.
Lagian, besok baik timThomas maupun Uber Indonesia nggak ada jadwal bertanding. Duaduanya
lolos dengan status juara grup, yang berarti baru akan bertanding lagi di perempat final
hari Rabu. Besok cuma ada jadwal playoff antartim yang nggak jadi juara grup.
Sebenarnya kepingin juga nonton tim-tim asing itu bertanding, tapi biarin deh... Besok aku
ikhlaskan aja nggak nonton, buat jaga-jaga biar Albert nggak terlalu senewen karena aku setiap
hari nongkrong di Istora. Dan biar aku lebih gampang juga untuk minta izin nonton perempat
final hari Rabu nanti. Kan aku nanti bisa kasih alasan kan-kemarin-aku-udah-nggak-nonton ke
dia. Asyiikk!
Sori, Al, tapi aku kan sudah pernah bilang, kamu cuma pacar keduaku. Pacar pertamaku tetap
bulutangkis.
* * *
Siasatku berjalan mulus. Karena hari Selasa aku bermanis-manis sama Albert, dan bilang bahwa
hari itu aku sudah menuruti omongannya untuk nggak tiap hari datang ke Istora, dia
mengizinkanku untuk nonton perempat final hari Rabu.
Jadi, hari Rabu sepulang sekolah aku ngibrit sendiri ke Istora. Guess what? Tim Uber
Indonesia menang telak 3-0 atas Hong Kong di perempat final, dan dengan demikian berhasil
meraih tiket ke semifinal! YESSSSS!
Hari ini yang paling seru, karena biarpun para sparring partner-ku nggak bisa ikutkan karena
ada acara masing-masing, aku tetap punya teman nonton bareng: Shendy. Heran, jangan-jangan
-Uber Cup. Habisnya, dia stand by terus sih di sana!
Kami sempat tukeran nomor HP juga, dan ternyat adi a memang teman yang asyik banget buat
diajak ngobrol. Apalagi, pengetahuannya soal bulutangkis jauh lebih banyak daripada aku, jadi
aku bisa nanya-nanya kalau ada yang nggak kumengerti.
Dan aku benar-benar nggak menyesal sudah datang ke Istora hari ini, karena tim Thomas
Indonesia juga menang atas Inggris 3-0! Well, pemain-pemain putra Indonesia benar-benar
menunjukkan kualitas mereka hari ini. Sony Dwi Kuncoro masih soft starter, ketinggalan lebih
dulu di set pertama dari Andrew Smith, tapi berhasil membalasnya di set kedua dan ketiga.
Mencuri angka pertama untuk Indonesia.
Dan jelas ganda putra Markis Kido/Hendra Setiawan bukan tandingan Robert Adcock/Robin
Middleton. Mereka menang mudah, 21-12, 21-10. Taufik Hidayat berhasil menyelesaikan
perempat final untuk Indonesia dengan mengalahkan pemain Inggris keturunan India, Rajiv
Ouseph.
Aaaahh... senangnyaaa! Jelas, aku nggak bakal melewatkan pertandingan mahaseru ini besok
dan lusa. Walau badai menghadang, aku bakal tetap datang ke Istora!
langsung rame-langsung rame-
Ayooo Indonesia!
TAPI ternyata yang menghadang niatku untuk nonton di Istora bukan badai.
Bukan juga hujan deras atau aksi mogok para sopir busway yang mengakibatkan aku jadi
nggak punya sarana transportasi ke Istora. Tapi Albert.
Obrolan menjengkelkan ini terjadi tadi pagi, waktu dia menjemputku untuk ke sekolah
bareng.
mengempaskan bokokngku ke jok depan mobilnya. Aku melongo. Nonton dia? Memangnya
Aku makin melongo, nggak ngerti. Nggak tahu ini memang karena Albert yang bicara dalam
bahasa Swahili, atau memang otakku yang lagi perlu di-tune-up.
Kayaknya Albert bisa melihat aku bener-bener lagi lemot, jadi dia memberi penjelasan
cowokku mendadak jadi bintang sinetron, dan sinetronnya bakal ditayangkan sore ini, ya?
Aku memutar otak secepat kubisa, dan langsung mencelos begitu ingat. Aaahh iya! Tim
Albert kan lagi ikut kejuaraan basket antar-SMA yang diadakan SMA Angelos! Aku benar-benar
nggak ingat! Ternyata mereka masuk final... dan finalnya bakal dihelat... sore ini?!
-anak pada mau nonton semua tuh. Nanti pulang sekolah
Aku menelan ludah. Nggak, aku nggak bisa ikut. Ada pertandingan lebih seru yang HARUS
kutonton sore ini. Kalau kulewatkan, mungkin aku bakal menyesal seumur hidup. Kapan lagi
tim Uber Indonesia bisa menjejak semifinal? Dan dengan performa yang luar biasa banget pula
sepanjang penyisihan kemarin.
Mampus. Partai pertama Uber Cup bakal mulai jam enam. Cukup nggak ya waktunya kalau
nonton Albert main dulu?
Aku kayak nggak bisa bernapas lagi. Aduuuh, daerah Kelapa Gading! Mana mungkin aku bisa
menempuh jarak dari sana dan tiba di Istora sebelum jam enam??? Belum lagi kalau Albert
mainnya lama. Belum lagi kalau macet. Belum lagi nanti di Istora pasti penuh sesak, yang datang
belakangan alamat dapat kursi paling belakang!
lbert lagi. Dia ini memang jago banget soal membaca ekspresi orang. Dia
bisa tahu aku mendadak gelisah kayak orang ambeien, padahal dari tadi pandangannya
terkonsentrasi ke jalan!
Adudududuh! Bilang nggak, ya? Albert pasti bakal ngamuk kalau aku bilang mau ke Istora.
Apalagi kalau dia nyadar, itu berarti aku lebih memilih ke Istora dibanding menontonnya berlaga
di final kejuaraan basket antar-SMA. Bisa-bisa dia makin melarangku main atau nonton
bulutangkis! Kan sudah seminggu ini Albert senewen terus karena mendapatiku suka nongkrong
di Istora. Jangan-jangan nanti dia meledak kalau aku bilang nggak mau nonton dia bertanding
-pa. Omong-
* * *
Di kelas, aku berpikir keras. Sampai dahiku sudah berlipit kayak rok! Huhuhu, gimana dong? Ini
bener-bener dilema. Kalau nonton Albert, aku pasti bakal menyesal setengah mati karena nggak
nonton semifinal Uber Cup. Indonesia vs Jerman lho. Pasti bakal seru banget!
Tapi kalau aku nonton ke Istora, Albert bakal marah besar. Dan dia juga bakal semakin nggak
suka sama bulutangkis. Bukannya aku peduli sih, dia kan dari dulu memang nggak suka. Tapi
aku ogah aja kalau dia nantinya jadi melarang-larang aku main atau nonton bulutangkis lagi, dan
semakin memaksakan keinginannya supaya aku masuk tim cheers. Tak usah yeee!
Aku, dan seisi kelasku, mengangkat kepala dari buku kami masing-masing, dan menoleh ke
arah datangnya suara. Itu tadi Meggie, dan dia menunjuk Julia, teman sebangkunya.
Aku berusaha menjulurkan leherku sepanjang mungkin. Julia kelihatannya memang nggak
sehat. Kepalanya menelungkup di atas meja, dan dia gemetar sedikit, mungkin demam.
Bu Ira berjalan mendekati meja Julia, dan meraba dahinya.
ba kamu telepon ke rumah, atau hubungi siapa yang bisa menjemput
Julia mengangguk lagi, dan mengeluarkan HP-nya. Aku bisa mendengar dia menelepon
kakaknya, minta dijemput. Setelah itu, Meggie mengantar Julia ke UKS.
Mendadak, di kepalaku melintas sebuah ide.
* * *
Aku sok menggeletukkan gigiku di depan Albert, dan berusa memeluk diriku sendiri erat-erat.
Gayaku sudah mirip orang demam di iklan obat turun panas di TV.
aku menyimpan jaket di lokerku di sekolah. Sekarang jaket itu bisa kupakai sebagai wardrobe
untuk keperluan akting di depan Albert.
Yeah, gara-gara melihat Julia sakit di kelas tadi, aku jadi punya ide untuk keluar dari masalah
pelikku. Aku bakal pura-pura sakit, dan dengan demikian aku bisa punya alasan untuk nggak
menonton Albert bertanding, tanpa perlu bikin dia ngamuk-ngamuk nggak jelas. Dan setelah
Albert pergi ke tempat bertandingnya tanpa mengajakku karena dia pasti bakal bisa menerima
kalau aku perlu istirahat di rumah aku bakal ngacir ke Istora dan nonton semifinal Uber Cup
di sana! Uhuuuyy!
Nggak ada jalan keluar yang lebih gokil daripada ini!
Yah, memang aku jadi agak nggak enak karena harus ngibulin Albert, tapi gimana ya... Albert
kan sering ikut pertandingan basket, aku bisa menontonnya next time, sementara Uber Cup
hanya dua tahun sekali, dan belum tentu juga diadakan di Indonesia lagi. Aku nggak mungkin
dong melewatkannya gitu aja.
-
Albert merapikan poniku yang menjuntai, dan rasa bersalahku ke dia makin besar. Jadi nggak
adil rasanya sudah bohong ke dia, saat dia memperlakukan aku dengan manis begini.
-
jam dua semalam, gara-gara keasyikan main The Sims Nightlife.
ya malah diterusin. Kamu itu udah kena tifus berapa kali, Aya? Jangan-jangan ini gejala lagi
Aku diam, dan menatap Albert dengan sorot mata innocent. Duh, dia perhatian banget, ya?
Dia tahu banget aku sudah beberapa kali kena tifus karena doyan begadang. Berarti alasan yang
kukarang tepat, Albert pasti percaya aku sakit lagi gara-gara semalam begadang, kan karena
m
Aku menggeleng. Kalau Albert mengantarku pulang, dan dia ketemu Mama di rumah, lalu
dia lapor aku sakit, semua rencanaku bakal gagal total. Boro-boro aku bisa ngabur ke Istora, yang
ada Mama bakal menyuruhku minum obat dan tidur!
Hmm.. aku harus cepat memutar otak.
ah... aku naik taksi aja. Nanti kamu telat tandingnya. Pulang sekolah mau
sama anak-anak langsung ke SMA Angelos, kan? Jauh banget lho dari sini ke Kelapa Gading,
masuk akal untuk jenis alasan yang terpaksa dikarang dalam hitungan detik kalau nggak mau
ketahuan bohong oleh pacar.
Albert diam, berpikir. Wah, alasanku benar-benar merasuk ke otaknya!
Weits, dia ragu-ragu, ini nggak boleh dibiarkan.
-pa kok pulang sendiri. Tinggal naik taksi, duduk, sampai deh di
Wah, gampang banget ternyata ngibulin dia!
Maksudku, iya, aku bakal telepon kamus ebelum aku naik busway ke Istora, hehe... YESSS!
Rencana berhasil, berhasil, horeeee! Kalau nggak ingat aku lagi akting sakit di depan Albert, aku
pasti sudah melompat-lompat meniru Dora the Explorer.
* * *
Aku berhasil sampai di halte Bundaran Senayan tanpa masalah. Albert dan anak-anak setim
baksetnya jelas sudah dalam perjalanan ke SMA Angelos. Aku sudah memastikannya tadi
sebelum berangkat, dengan menelepon Albert dan mengaku-aku aku sudah sampai di rumah
dengan selamat. Dan hebatnya, dia percaya!
Aduh, jadi merasa bersalah lagi. Tapi ya sudahlah, daripada aku menghabiskan sore ini
dengan duduk memandangi bokong para anggota cheerleaders yang melompat-lomopat di
hadapanku untuk menyemangati tim basket, jauh lebih baik aku duduk di dalam Istora,
mendukung tim negaraku yang sedang bertanding.
Aku sudah ganti baju dengan celana selutut dan kaus, yang memang sudah kubawa dari
rumah dan kujejalkan di dalam tas sekolahku. Sharleen, yang hari ini menemaniku nonton, juga
sudah ganti baju. Siap tempur! Charles dan Wilson lagi-lagi nggak bisa ikut, kali ini alasannya
karena harga tiket semifinal udah melonjak sama tingginya dengan harga minyak dunia, dan
hanya bisa didapat dari para calo.
Aku sudah bilang ke Sharleen soal kebohongan yang kusodorkan pada Albert, dan dia bisa
ngerti. Memang nggak enak banget punya pacar yang nggak bisa mengerti hobi kita, kata
Sharleen. Dia juga udah janji bakal tutup mulut. Siplah pokoknya!
Istora hari ini benar-benar meriah. Lautan suporter berebut masuk ke dalam dan mencari
tempat duduk yang paling strategis. Gila juga memang, dengan harga tiket yang sebegini mahal,
tapi antusiasme masyarakat tetap tinggi. Ini jelas membuktikan bulutangkis adalah cabang
olahraga yang paling populer di Indonesia, sekaligus paling berprestasi. Plus, turnamen
bulutangkis nggak pernah bikin rusuh, beda banget dengan pertandingan sepakbola, yang
banyakan rusuhnya (dan berakhir dengan tim Indonesia KALAH) daripada damainya.
Bukannya aku membanding-bandingkan lho ya... tapi kenyataannya emang gitu sih. Kalau
menurutku, mendingan semua orang Indonesia main bulutangkis aja.
Nah, balik ke Istora. Keriuhan penonton hari ini ternyata juga disebabkan fanatisme dadakan
akibat tim Uber Indonesia berhasil menembus semifinal. Sebelumnya, tim cewek kita memang
selalu dipandang sebelah mata. Kalau kalah pun nggak mengejutkan. Tapi, berhubung kali ini
bisa sampai babak semifinal, orang-orang langsung heboh kepingin nonton, dan ingin
membuktikan sendiri apa benar tim Uber Indonesia sedahsyat yang mereka tonton di TV.
Beberapa saat sebelum pertandingan mulai, aku meng-SMS Albert.
To: Albert
Good luck ya, Al, buat finalnya. Aku mau tidur dlu. Ngantuk
bgt nih pengaruh obat. Jgn tlp dlu. Nanti klo udh bangun, aku
sms km ya.
Beres, dengan begini dia nggak bakal menelepon aku. Kan gawat kalau di tengah
pert -DO-NE-backsound.
Kebohonganku bakal langsung terbongkar dong.
Waktu aku selesai SMS Albert, ternyata bertepatan dengan akan dimulainya partai pertama.
Indonesia vs Jerman hari ini akan mempertandingkan Maria Kristin Yulianti dan Xu Huaiwen di
partai pembuka (sama seperti Yao Jie yang sekarang membela Belanda, Xu Huaiwen juga pemain
kelahiran China, tapi kemudian hijrah ke Jerman karena persaingan di negaranya sangat ketat,
dan usianya sudah nggak muda lagi). Xu masuk dalam jajaran tunggal putri dengan peringkat 10
besar dunia, sementara Maria tercecer di bawah peringkat 30. Mungkin pertandingan yang akan
dianggap nggak seimbang, tapi siapa yang bisa memprediksi, dengan suporter tuan rumah
sebanyak ini?
Aku menoleh ke belakang, dan menelan ludah karena melihat semua bangku penonton penuh
terisi. Bahkan sampai bangku paling atas! Dahsyat abis!
sold out
-denger malah calo juga udah nggak punya stok lagi. Banyak tuh penonton yang
masih di luar, nggak kebagian tiket. Katanya udah disiapin giant screen sama panitianya, biar
uslah, panitianya udah well prepared
Satu lagi bukti kemantapan penyelenggaraan untuk turnamen bulutangkis: jumlah tiket yang
dijual memang disesuaikan dengan kapasitas tempatnya. Jadi kalau tiket udah terjual habis, ya
nggak ada lagi penonton yang bisa masuk. Dengan begitu kondisi di tempat bertanding juga
aman, terhindar dari overload yang mungkin bisa menimbulkan kerusuhan. Nggak kayak sepak
bola, kapasitas stadion tiga puluh ribu, eh penonton yang dijejalkan ke dalamnya lima puluh ribu
orang. Pantas aja rusuh melulu.
Hehe, kok aku jadi ngomel soal sepak bola melulu sih?
Aku melongok ke pinggir lapangan yang ditunjuk Sharleen. Benar saja, Maria Kristin, Xu
Huaiwen, wasit, dan para hakim garis sudah siap memasuki lapangan. Waktu Maria berjalan
melewati tribun penonton, hampir semua penonton di deretan terdepan mengulurkan tangan
untuk menyalami sekaligus menyemangatinya. Maria membalas sebisanya, sambil tersenyum.
Aku jadi merinding. Kalau saja dulu Mama ngasih aku izin untuk masuk klub, bisa saja aku
yang ada di posisi Maria sekarang...
Ah, kok jadi ngaco! Perjuangan Maria untuk sampai ke posisi tunggal putri utama Indonesia
pasti bukan hal yang gampang. Dia pasti merintis dari kecil, dari turnamen-turnamen lokal,
future series, international challenge, sampai akhirnya bis asampai ke event besar seperti Uber Cup
begini. Kalaupun aku masuk klub dulu, belum tentu juga aku bisa punya prestasi seperti dia.
Kedua pemain tunggal putri itu mulai melakukan pemanasan, dan akhirnya pertandingan
dimulai.
Xu Huaiwen memang menunjukkan kelasnya sebagai pemain papan atas dunia. Staminanya
gila, padahal setahuku umurnya sudah 34 tahun! Tapi dia bisa mengimbangi Maria yang lebih
mudah sepuluh tahun darinya. Cara mainnya kayak cowok, nggak feminin, dan terus
menyerang. Aku jadi merasa sedikit-
berubah jadi laki--agara gaya permainanku yang terus
menyerang.
Akibat serangan Xu Huaiwen yang terus-menerus, Maria akhirnya harus kalah dua set
langsung. Banyak orang di belakangku yang langsung mendesah kecewa, dan aku jadi jengkel
sendiri. Gimana ya, aku paling kesal kalau saat pertandingan belum selesai, orang sudah keburu
poin terakhir didapat. Dan please deh, ini masih partai pertama, masih ada empat partai lagi gitu
lho! Ditambah lagi, Jerman bukanlah negara yang kuat tradisi bulutangkisnya. Baru belakangan
ini nama mereka terdengar, dan itu pun karena prestasi Xu Huaiwen. Indonesia masih bisa
menang!
Partai kedua bakal digelar sebentar lagi. Kali ini susunannya sedikit beda dengan kemarinkemarin.
Yang biasanya tunggal-ganda-tunggal-ganda-tunggal diubah menjadi tunggal-tunggalganda-
tunggal-ganda, karena tunggal kedua Jerman, Juliane Schenk, bakal main lagi di partai
terakhir. Jadi, giliran mainnya ditukar dengan partai ketiga, biar dia punya lebih banyak waktu
istirahat di antara jeda dua pertandingan yang dilakoninya itu.
Hehe, kasihan banget ya Jerman, stok pemainnya terbatas, sampai merangkap-rangkap gitu.
Indonesia menurunkan Adrianti Firdasari di partai kedua. Dia nggak terkalahkan selama
penyisihan lalu, hebat banget! Aku bener-bener berharap Firda menang, biar Indonesia bisa
menyamakan kedudukan 1-1. Bahaya kalau Jerman sampai unggul 2-0 duluan.
Ternyata aku dan Sharleen akhirnya memang berkali-kali sport jantung! Firda lebih agresif
dibanding Maria, yang lebih mengandalkan penempatan bola. Dan posturnya juga tinggi,
memudahkan untuk menjangkau bola-bola yang sulit. Juliane Schenk kelihatan sedikit repot
untuk membalas Firda, dan akhirnya Firda bisa menang dua set langsung. Horeee... 1-1!
Menjelang partai ketiga, aku jadi kayak orang kumat ambeien lagi. Gelisaaaaahh mulu!
Sekaligus excited, karena yang bakal turun kali ini pemain favoritku, ganda putri Jo
Novita/Greysia Polii. Mereka ini yang disebut-sebut ganda putri superpower sepanjang
penyelenggaraan Uber Cup kali ini. Bukannya apa-apa, tapi mereka memang mainnya dahsyat
banget. Nyaris kayak ganda putra. Smash terus, hajar terus, sikat terus! Padahal postur mereka
mungil-mungil. Cuma sekitar 160 cm, tapi power-nya luar biasa.
Pihak Jerman menurunkan Brigit Overzier dan Kathrin Piotrowski. Banyak banget cowokcowok
yang bersiul sewaktu Brigit memasuki lapangan. Emang cantik banget sih, dan badannya
tinggi semampai. Kalau di Indonesia, aku jamin dia bakal jadi model catwalk top, bukannya jadi
atlet bulutangkis. Catering Wilson ehh... Catherine Wilson lewat deh!
Ternyata hari ini Jo/Greysia kembali menunjukkan tajinya.. Mereka menghajar pasangan
Jerman tanpa ampun dengan smash-smash tajam. Beberapa kali malah aku melihat Brigit dan
Kathrin geleng-geleng kepala, kayaknya bingung sedikit, dari mana pemain-pemain bertubuh
mungil seperti Jo dan Greysia bisa dapat suntikan tenaga untuk mengalahkan mereka yang punya
postur yang, seharusnya, lebih menguntungkan.
Waktu Jo/Greysia menutup pertandingan dengan skor 21-9, 21-13, Istora serasa meledak
-DO-NE-SIA! IN-DO-NE
lapangan sampai menjatuhkan raketnya, sebelum akhirnya berpelukan dengan Jo Novita. Mereka
mungkin masih nggak percaya, sudah membawa Indonesia berbalik unggul 2-1. Tinggal
selangkah lagi untuk ke final!
semangat.
Dia sampai berdiri dan loncat-loncat di tempat.
Aku nggak kalah histeris.
-degan banget! Habis ini yang main Pia Zebadiah, ya? Lawannya siapa?
Aku melongok ke scoreboard di lapangan, yang menampilkan nama Karin Schnaase. Hmm...
nggak pernah dengar. Tapi kalau dia sampai menduduki posisi tunggal putri ketiga Jerman,
pastinya dia bukan pemain asal comot.
Karin Schnaase. Kita optimis ajalah! Dan kalaupun ini nanti jadi 2-2, kita
nyengir semakin lebar. Nama Vita/Lilyana nyaris bisa menjadi jaminan kemenangan kami.
untung banget kita nonton di sini hari ini, Fray. Seru banget! Gue nggak bisa
Sharleen berorasi.
Aku manggut-manggut setuju. Jelas, kalau hari ini aku berakhir dengan menonton Albert, aku
pasti bakal menyesal seumur hidup. Yang di Istora sejuta kali lebih seru. Dan rasanya
nasionalisme merebak di dalam sini, seolah kami sudah bertanding di final yang sebenarnya.
Aku dan Sharleen terpaksa cooling down dulu karena partai keempat bakal dimainkan. Pia
Zebadiah sudah bersiap di player arena, dan teriakan-teriakan suporter masih tetap membuat
kupingku pekak. Ini bakal seru banget!
Dan bisa dibilang aku sekali lagi iri melihat Pia yang memasuki lapangan. Dia masih 19
tahun, cuma setahun di atasku, tapi bisa membela nama Indonesia di ajang bergengsi kayak gini.
Sementara aku? Cuma jagoan sekolah doang, jago kandang...
Game pertama sudah dimainkan, dan dalam waktu singkat sudah terlihat di depan mataku,
kualitas Karin ternyata masih di bawah Pia! Sering Karin melakukan kesalahan sendiri, entah itu
karena pengembaliannya nyangkut di net atau kontrol bolanya nggak akurat. Dia melepas bola
Pia karena mengira pukulan itu keluar, padahal masuk. Dan serangan-serangannya pun nggak
hebat, biasa saja. Pia makin merajalela. Orang-orang di belakangku, yang tadinya ngomel dan
-pasti--bakal-ke-
Waktu akhirnya Karin gagal mengembalikan bola Pia dalam kedudukan 16-20 di game kedua,
aku langsung loncat dari bangkuku dan teriak sekeras-kerasnya. Sharleen nggak kalah heboh, dia
malah memelukku kuat-kuat, seolah kamilah yang baru selesai bertanding dan menang.
Aku menoleh ke lapangan, dan ternyata semua pemain, pelatih, dan ofisial tim Uber
Indonesia sudah menghambur masuk ke lapangan. Greysia Polii malah menggendong Pia di atas
punggungnya, sementara yang lain bersorak-sorak. Sewaktu Greysia menurunkan Pia, ganti dia
yang digendong salah satu ofisial, dan diarak nyaris keliling lapangan! Beberapa pemain
membawa bendera Merah Putih, dan mengibar-ngibarkannya dengan penuh sukacita. Aku
sampai merinding melihatnya. Astaga, kami benar-benar masuk final! Kami punya peluang
untuk merebut kembali Piala Uber yang sudah lepas bertahun-tahun itu.
Vita Marissa dan Lilyana Natsir, yang rencananya bakal diturunkan di partai terakhir, tapi
nggak perlu lagi karena kami sudah merebut tiga partai, juga menghambur ke lapangan, dan
mengibar-ngibarkan bendera Indonesia. Greysia, aku baru memperhatikan, ternyata juga sudah
mencoret-coret pipinya dengan warna merah dan putih. Dia juga memasang bendera di
punggungnya seperti jubah Superman, dan menarik sedikit ujung bendera itu ke depan untuk
menciumnya.
Ya Tuhan.... yang bisa menandingi perasaanku saat ini cuma perasaan kagum dan bangga saat
Ricky dan Rexy merebut emas Olimpiade Atlanta 12 tahun lalu....
* * *
Dalam perjalanan pulang pun aku serasa masih mendengar segala pekik dan seruan histeris di
Istora tadi dalam kepalaku. Efek pertandingan tadi benar-benar dahsyat, dan potongan-potongan
pertandingannya pun seperti film yang diputar tanpa henti di depan mataku. Bagaimana Jo
Novita yang kecil mungil meloncat seolah bakal melakukan jumping smash, tapi ternyata dia
hanya melakukan dropshot. Pemain Jerman mati langkah, kecele. Bagaimana Firdasari
mengepalkan tangannya setelah berhasil mengalahkan Juliane Schenk. Bagaimana semau pemain
dan ofisial menghambur ke lapangan setelah Pia Zebadiah menang, seakan-akan kami sudah
menang di final.
Rasanya kalau nanti tim Uber Indonesia kalah di final sekalipun, aku tetap akan menganggap
mereka juara. Nggak gampang tampil di depan pendukung sendiri dengan ekspektasi yang
rendah, tapi akhirnya bisa membalikkan keadaan saat kita menang. Mungkin pemain-pemain
putri Indonesia sudah diperbaiki bukan cuma dari segi teknik bertandingnya, tapi juga dari segi
mental. Soalnya setahuku, sebelum ini pemain-pemain putri Indonesia suka drop duluan kalau
lawan yang mereka hadapi di atas kertas lebih kuat. Apalagi kalau lawannya pemain China,
waaahh... jangan ditanya. Kalau bisa ngibrit pun mungkin mereka bakal ngibrit. Tapis ekarang
semuanya berbeda... tim Uber Indonesia hebat!
* * *
-Claudia nyolot begitu melihatku muncul di
meja makan dengan wajah sumringah. Aku memang masih senang banget karena keberhasilan
tim Uber Indonesia maju ke final kemarin. Sampai pagi ini pun efek euforianya masih ada.
Dasar, kalau aku nggak lagi senang, udah kutoyor kepalanya!
baw
Claudia mati kutu mendengar ancamanku. Aku tertawa dalam hati. Tahu rasa!
Claudia nyengir dengan watados alias wajah tanpa dosa. Tapi biar deh, dengan situasi begini
aku jadi nggak perlu cerita kenapa aku riang gembira pagi ini. Kan bahaya kalau dia tanpa sadar
cerita ke Albert. Bisa terbongkar rahasiaku!
* * *
Sesampainya di sekolah, aku langsung menghambur mencari Sharleen di kelasnya. Masih
kepingin membahas pertandingan kemarin, sekaligus mengatur rencana untuk nonton semifinal
Thomas Cup nanti sore antara Indonesia vs Korea. Weits, jelas nggak boleh terlewatkan! Sayang
banget, Charles dan Wilson lagi-lagi harus absen karena masalah harga tiket. Untuuuuuung aja
aku dan Sharleen sudah menabung dari jauh-jauh hari untuk event ini, jadi kami memang sudah
nyiapin dana buat beli tiket yang harganya sudah kami perkirakan bakal melonjak itu. Gitu deh
kalau orang sudah cinta. Ngg... maksudku, aku dan Sharleen cinta pada bulutangkis, bkannya
aku dan Sharleen saling cinta. Ihh, yang bener aja.
Aku melongok ke dalam kelas XII IPA-4, dan ternyata Sharleen sudah datang. Dia lagi sibuk
komat-kamit di bangkunya.
menyuruhku duduk di sebelahnya.
buku fisika teronggok membuka di depannya. Kayaknya
sih dia tadi sedang komat-kamit menghafal rumus fisika sebelum aku datang. Yah, kalau begini
jadi nggak bisa ngebahas pertandingan kemarin deh.
a. Kuis lah, makalah lah, ulangan
lah. Tapi nggak pa-
Asyik! Acara gosipan nggak jadi batal!
merinding nih kalau ingat selebrasi setelah Pia menang itu. Gila banget ya! Baru kemarin gue
ngerasa nasionalis banget, bangga banget jadi orang Indonesia. Lo lihat nggak, kanan-kiri kita di
-bapak yang di belakang gue malah udah berkaca-
kaca gitu matanya. Hihihi.. Yah, tim Uber kita kan cuma ditarget sampai semifinal, tapi ternyata
mereka bisa sampai final. Kebayang nggak kalau ntar mereka menang? Wuahh... pasti bakal
-eh! Tapi nih, kalau mereka nggak menang pun, di mata gue mereka udah juara. Mereka
Aku seperti membeku di tempat waktu mendengar suara itu di belakangku. Sharleen juga
setengah melotot, menahan napas.
Aku menoleh, dan melihat Albert berdiri dari bangku yang didudukinya, bangku di sebelah
bangku Rocky, arah jam tubuh dari bangku tempat aku dan Sharleen duduk.
Ya Tuhan, kok bisa aku tadi nggak ngelihat dia ada di kelas ini juga? Ngapain dia di sini???
waktu kamu masuk ke kelas ini, aku udah mau manggil kamu. Tapi kamu ternyata nggak lihat
, dengan begitu aku
Suaranya tajam dan dingin, bikin rasa bersalahku meluap-luap. Ya, memang seharusnya
begitu sih, tapi kemarin semuanya terasa benar... Aku membohongi Albert cuma karena aku
kepingin melakukan hal yang benar-benar kusukai, yang nggak bisa dimengerti olehnya.
Ternyata aku membongkar rahasiaku sendiri. Dasar stupid!
Kok aku tadi bisa nggak melihat dia? Dan yang lebih bego lagi, kok aku bisa nggak ingat kelas
Sharleen juga adalah kelas Rocky, pasangan hombreng, eh... maksudku teman dekat Albert, yang
juga teman satu tim basketnya??? Pasti karena aku terlalu bernafsu untuk ketemu Sharleen dan
ngobrol-ngobrol, makanya sampai nggak menyadari keberadaan Albert! Dia juga pasti lagi di sini
dan membahas pertandingan bareng Rocky, pertandingan basketnya kemarin. Sialan!
Astaga. Pasti dia bakal mutusin aku...
Albert mencengkeram tanganku dengan sedikit kasar, dan menarikku keluar dari kelas XII
IPA-4. Aku sempat menoleh dan melihat Sharleen memandangiku dengan tatapan nggak enak.
Mungkin dia juga merasa bersalah karena lupa Albert ada di kelasnya saat aku dan dia heboh
membongkar keberadaan kami di Istora kemarin.
Yah, sudahlah, toh semua sudah terjadi. Kalaupun Albert mutusin aku gara-gara ini...
-
aku bohong karena aku tahu kamu pasti nggak bakal ngizinin aku nonton ke Istora kemarin.
Albert diam, dia menatapku dengan tatapan yang sulit kutebak apa artinya.
Are you trying to say... kamu lebih suka nonton pertandingan bulutangkis dairpada nonton
One million dollar question.
Kalau aku mau jujur, sebenarnya jawabannya gampang banget... Dan Albert seharusnyanggak
perlu nanya. Bukannya kelakuanku kemarin sudah menjawab pertanyaannya itu?
Kalau setelah ini dia mutusin aku, aku bakal terima. Bukan karena aku memang salah, tapi
aku akhirnya sadar bahwa dalam hal yang paling kusukai aja Albert nggak bisa mendukungku...
Fine
ternyata dia nggak mengucapkan itu. Albert malah berjalan lagi ke ambang pintu kelas XII IPA4,
dan berseru pada Sharleen dari sana.
-besok pertandingan apa
Aku mengintip sedikit ke dalam kelas XII IPA-4, dan melihat Sharleen kagok juga tiba-tiba
ditanyai begitu. Jangankan dia, aku saja kagok! Kenapa Albert tiba-tiba jadi nanya jadwal begini?
Apa dia bermaksud... mencari tahu kenapa aku begitu cinta sama bulutangkis, dengan cara
menemaniku nonton langsung di Istora? Nggak mungkin banget!
Indonesia lawan China. Lusa final Thomas Cup, kalau nanti Indonesia menang ya mereka
n. Dia jadi kedengaran kayak pembawa acara berita olahraga di
TV.
Albert kembali menoleh menghadapku, dan nggak tahu kenapa, aku tiba-tiba jadi nggak
berani membalas tatapannya.
Kalau hukuman yang kamu maksud itu berarti kamu mau minta putus...
melarang kamu nonton pertandingan di Istora. Nanti, besok, dan lusa. Kamu nggak boleh ke
Aku serasa disambar geledek!
What?!
Apa dia gila? Melarangku nonton bulutangkis di Istora, saat tim Uber Indonesia berhasil
menjejak final setelah dua belas tahun? Dan saat tim Thomas berpeluang untuk merebut kembali
Thomas Cup? No way!
Sialan, sialan, sialaaaannn! Dia menjadikan kesalahanku sebagai senjata!
merengek-
Aku memejamkan mata, berusaha meredam perasaan kesal yang nyaris meledak di dalam
diriku. Albert sialan, dia tahu banget apa hukuman yang membuatku bakal merasa benar-benar
tersiksa!
Tapi aku nggak mungkin melewatkan pertandingan nanti sore, dan besok, dan lusa... Aku
harus memutar otak. Dan kalau itu berarti aku harus membohongi Albert lagi...
Besok dan lusa juga. Untuk memastikan aku nggak kecolongan lag
Kakiku rasanya lemas seketika. Lebih baik dia masukkan aku ke kurungan besi aja sekalian.
Albert brengsek!
* * *
juga... Lusa memang belum pasti, tapi kalaupun tim Thomas Indonesia nggak lolos ke final, gue
Kali ini aku sudah
memastikan Albert nggak ada dalam jarak dengar. Mungkin aaj Adisty punya saran yang benarbenar
tokcer supaya akut etap bisa ngabur ke Istora, dan tetnu aja aku nggak kepingin Albert ikut
mendengarnya.
disalah-salahkan lagi. Aku butuh dia ngasih aku jalan keluar.
ngebohongin dia untuk ngelakuin hal yang bener-bener gue suka. Dan dia sekarang mau
menghukum gue dengan melarang gue nonton ke Istora, itu kan GILA! Dia tahu banget
nggak tahu harus bilang apa... Tapi siapa pun pasti marah sih kalau dibohongin, apalagi sama
Oke, kayaknya salah BANGET aku curhat sama Adisty. Dia kan nggak suka bulutangkis juga.
Dia nggak ngerti gimana rasanya begitu cinta sama olahraga satu itu, sampai rela ngebohongin
pacar.
an nih? Gue harus terima aja, dikurung sama Albert tiga hari ke
depan, dan menyaksikan pertandingan kelas dunia cuma dari TV, sementara sebenarnya gue bisa
nonton langsung di Istora, dengan uang tiket yang udah gue sisihkan jauh-
Adisty diam, kayaknya dia bingung juga mau ngomong lagi. Takut kalau dia jujur nanti aku
malah semakin sewot.
-besok, dan
-tiba. Mataku langsung melebar.
Aku menelan ludah.
gue, kalau lo minta putus kan jadinya dia bukan siapa-siapa lo lagi tuh, jadi dia nggak berhak
Aku menggeleng lemah. Itu bukannya nggak terpikir dalam otakku. Tapi masalahnya, seperti
yang pernah kubilang, ortuku sayang banget sama albert. Kalau aku mutusin dia, nanti Papa dan
Mama pasti nanyain kenapa Albert nggak pernah main ke rumah lagi. Dan kalau nanti aku
bilang kami sudah putus, atau lebih tepatnya aku sudah mutusin dia, aku pasti diomelin.
Kalau cinta sih... ya, aku dan Albert kan sudah pacaran hampir tiga tahun. Biar aku sekarang
lagi kesal setengah mati dan pengen melemparnya pakai bakiak sekalipun, aku bohong kalau
bilang aku nggak cinta dia lagi. Sepuluh persen masih ada lah.
Tapi akan lain ceritanya kalau Albert yang mutusin aku. Kalau itu yang terjadi, tentu aja aku
nggak bakal disalah-salahkan lagi oleh ortuku.Kalau aku beruntung, justru mereka akan jadi sebal
pada Albert. Mungkin malah memasukkan cowok itu dalam blacklist orang-orang yang
berkunjung ke rumahku.
Aku cuma bisa tersenyum lemah, dan berharap dalam hati semoga nanti sore Albert ada
urusan apalah yang membuatnya urung menjadikanku tahanan rumah di rumahku sendiri.
Dihukum
SIALNYA lagi, Mama malah meyambut dengan riang-gembira-penuh-sukacita kedatangan
Albert ke rumah sore harinya.
-
Wah, Mama nanyanya kayak aku dan Albert masih umur lima tahun aja. Maun main di sini?
Yang bener aja! Dia ke sini buat menghukumku, Ma!
-
gaya anak manis.
Aku menirukan gaya orang muntah di balik punggungnya. Mama, yang melihatku, langsung
melotot tajam.
ng Tante yang enaknya
Siaul, sekarang dia malah menjilat!
masuk dulu deh sama Fraya. Santai aja, anggap rumah sendiri, oke? Tante mau beresin tanaman-
Albert tersenyum puas dan masuk ke rumahku. Aku tetap tinggal di kebun, tempat Mama
mengurus tanaman-tanaman kesayangannya sebelum kedatanganku dan Albert tadi.
menghilang ke dalam rumah.
Mama berhenti mengguntingi ranting-
as-remas jariku dengan jengkel.
Mama mencuci tangannya dari keran air di samping kebun, lalu membersihkan noda tanah di
hidungku.
ku mengadu.
bagian yang ini.
Aku menimbang-nimbang dalam hati, apakah sebaiknya cerita ke Mama. Tapi karena tadi
aku sudah sedikit keceplosan, kayaknya aku nggak punya pilihan lain.
kepingin aku nonton dia. Tapi
kan kemarin ada semifinal Uber Cup juga, Ma, dan aku udah beli tiketnya... Dan Mama tahu
sendiri kan, gimana aku suka sama bulutangkis? Jadi aku... aku bohongin Albert. Aku pura-pura
sakit, supaya aku nggak perlu nonton Albert tanding. Aku bilang ke dia, bubar sekolah aku
Benar-benar melongo dengan mulut yang ternganga lebar.
besok, dan lusa. Dia juga rencana main di sini sampai malam, untuk ngawasin aku, biar aku
nggak kabur lagi
Mama masih melongo menatapku, dan aku ketar-ketir juga menunggu reaksinya. Apa Mama
bakal membelaku ya? Atau justru makin memojokkan aku?
Waduh, aku baru tahu ternyata yang anak Mama itu Albert, bukan aku! Dan Mama
kalau dia sedang marah atau kesal.
ingin kamu support dia saat dia tanding, eh kamu
sama semifinal Uber Cup, aku pasti ikut nonton dan support dia, Ma. Tapi ini kan lain...
Thomas-Uber Cup itu turnamen internasional, cuma ada dua tahun sekali, dan belum tentu juga
Wah, kayaknya beneran salah nih curhat sama Mama!
cemberut, masih nggak habis pikir kenapa Mama justru lebih membela Albert daripada aku.
* * *
sudah stand by di depan TV sudah stand by di depan TV
dengan muka ditekuk. Aku bisa mendengar riuh-rendah suara orang di belakangnya. Dia pasti
sudah di Istora.
-
di ruang makan. Bonyok gue malah ngasih dia makan enak. Sial banget nggak
sekali nggak nyadar ada Albert di kelas. Gue juga nggak ngeliat dia masuk kelas gue. Mungkin
dia udah datang sebelum gue, kali ya? Atau dia masuk waktu gue lagi sibuk belajar fisika, jadi
nggak merhatiin? Kalau aja gue tahu dia ada di kelas, gue pasti bakal bilang ke lo... supaya kita
ngobrol-
Nada suara Sharleen terdengar seperti dia benar-benar merasa bersalah, padahal itu sama
sekali bukan salahnya.
-pa, Shar. Lagian bukan salah lo kok. Gue juga nggak ngeliat dia tadi pagi. Yah,
mungkin emang udah nasib gue ya, ketahuan bohong. Gue juga minta maaf nih, lo jadinya hari
-istrinya, jadi gue nonton bareng
Aku cemberut lagi. Rasanya kali ini aku kepingin jadi Hiro Nakamura di serial Heroes, biar aku
bisa men-teleport diriku ke Istora Senayan. Kalaupun ketahuan Albert, toh aku sudah keburu
berada di tempat lain, dia nggak mungkin bisa mengejarku.
Yeah, back to your real life, Fraya.
dengan Sharleen, dan ternyata di HP-ku ada SMS masuk.
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Lo dmana? Kok nggak keliatan batang idungnya? Dtg ke istora kan?
Aku mengembuskan napas kesal. I wish.
To: Shendy-wartawan Shuttlers
Nggak. Gw dihukum sm cwo gw, nggk blh ke istora lg selama TUC.
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Yg bnr? wah, ikut sedih dgrnya. Emg knp lo dihukum?
To: Shendy-wartawan Shuttlers
Soalnya kmrn gw ngebohongin dia biar bs ke istora, trs td
ketahuan. Nasib •
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Astaga. Yasud, mg2 keadaan lo gak terlalu parah ya. C ya next
time.
Huhuhuhu... aku jadi makin kepingin ada di Istora sekarang....
* * *
Albert benar-benar bawa sial hari ini!
Bukan hanya karena aku jadi ngak bisa nonton live di Istora, dan tiket semifinal yang sudah
kubeli jadi sia-sia, tapi juga karena tim Thomas Indonesia kalah dari Korea! Kalahnya 0-3 pula!
Aku benar-benar kesal sampai langsung masuk kamar begitu pertandingan selesai. Biar aja Albert
masih di luar sama keluargaku, toh dia sudah tahu pintu keluar rumah ini ada di mana. Dia bisa
pulang sendiri!
Ihh... aku sebel banget sampai kepingin nangis rasanya. Kok bisa sih tim Thomas Indonesia
kalah dari Korea? Mana skornya telak banget. Aku masih nggak bisa percaya Indonesia bisa habis
dengan skor begitu. Padahal tim Thomas menargetkan juara.
Partai pertama waktu Sony Dwi Kuncoro melawan Park Sung Hwan, aku cukup optimis.
World rank Sony kan di atas Park. Sony memang kalah duluan di set pertama, tapi dia berhasil
memaksakan rubber set. Sayang, di set ketiga dia kalah lagi. Korea unggul duluan 1-0.
Partai kedua, Markis Kido/Hendra Setiawan, ganda putra nomor satu Indonesia dan dunia,
melawan Jung Jae Sung/Lee Yong Dae. Aku santai-santai aja, yakin Indonesia bakal bisa
menyamakan kedudukan. Eh, ternyata Lee Yong Dae bermain kayak orang kesetanan. Jumping
smash mulu, habis dicekokin ginseng kai ama pelatihnya! Indonesia kecolongan lagi, 2-0.
Partai ketiga. Taufik Hidayat melawan Lee Hyun Il. Aku makin ketar-ketir. Bukan apa-apa
sih, tapi belakangan ini grafik permainan Taufik memang lagi jelek-jeleknya. Dia seolah
kehilangan kelasnya sebagai peraih emas Olimpiade Athena tahun 2004 silam. Cara bermainnya
gampang ditebak, dan smash-smash-nya nggak setajam dulu lagi. Lee pun menang mudah dua set
langsung. Korea 3, Indonesia 0. Tamat sudah.
Mama sempat menatapku dengan pandangan nggak setuju, tapi aku sebodo amat. Daripada aku
tetap di ruang keluarga dan jadi meledak membabi buta saking kesalnya, kan lebih baik aku
ngamuk sendirian di kamar.
Huuhh... kesal kesal kesaaaalll!
Reality Bites
PAGI ini aku sengaja bangun setengah jam lebih awal dari biasanya, dan buru-buru cabut ke
sekolah. Alasanku cuma satu: kabur sebelum Albert menjemputku ke rumah. Hih, tak usah ya!
Aku masih amat sangat jengkel gara-gara semua kejadian kemarin, dan aku nggak bisa
membayangkan skenario apa yang bakal terjadi kalau aku dan Albert berada dalam satu mobil
dalam kurun waktu setengah jam, dengan kondisi emosiku yang sekarang. Jangan-jangan nanti
aku kebablasan melakukan tindak kekerasan padanya.
Oke, aku tahu aku memang kedengaran norak banget, tapi kalau kamu jadi aku, kamu pasti
bisa ngerti deh. Memang sih, albert nggak punya andil langsung dalam kekalahan tim Thomas
Indonesia (salah satu hal yang memperparah kekesalanku padanya), tapi kan tetap aja... dia
membuatku nggak bisa nonton pertandingan itu secara live! Dan entah aku harus bersyukur atau
malah mengomel karena hari Minggu nanti aku nggak begitu menyesal bakal melewatkan partai
final Thomas Cup. Yah, secara Indonesia juga nggak akan main di sana gitu.
Tapi hari ini, hari ini! Hari ini tim Uber Indonesia bakal bertanding di final melawan China.
Dan kalau nanti aku masih dilarang ke Istora, aku ngak tahu deh harus gimana lagi. Mungkin
aku perlu mengadukan Albert ke Komnas HAM. Dia kan sudah melanggar hak asasiku untuk
melakukan hal yang kusukai.
Jadi pagi ini aku lebih memilih berangkot ria dengan puluhan anak SMa lainnya, daripada
naik mobil nyaman bersama pacarku yang menyebalkan. Rencana berjalan lancar, aku sudah
cabut dari rumah sebelum Albert muncul. Claudia sempat melirikku penuh tanda tanya waktu
aku berangkat sekolah dengan pamitan yang hanya berupa gumaman pada Papa dan Mama, tapi
kayaknya dia menelan kembali semua kata-katanya waktu melihat wajah judesku. Anak pintar,
dia tahu kapan waktunya untuk diam.
Dia juga baru datang.
Adisty celingak
-nyebut nama anak tengil itu?
-cengir menggodaku.
Adisty mengangguk dan tersenyum maklum. Dia memang teman yang paling pengertian.
Sayang, masa-masa tenangku nggak berlangsung lama. Albert datang sepuluh menit
kemudian, dan dengan seenaknya dia langsung duduk di bangku Adisty. Mentang-mentang yang
punya lagi ke kantin, main duduk aja dia.
-
-
aku dong. Jadi aku nggak
Albert menghela napas, aku bisa mendengarnya dengan jelas.
-
Ih dasar! Pakai bawa-bawa Taufik Hidayat segala. Mana Albert agak nggak nyambung, lagi!
kan bukan salahku T
dasar dodol.
terdengar jengkel.
childish
Childish
itu yang childish, tahu nggak? Menghukum aku dengan melarang aku ngelakuin hal yang paling
aku suka!
Aku membuka mulutku, nyaris meneriakkan bahwa aku bilang begitu waktu itu karena
mengira hukumannya bakal berupa pemutusan hubungan antara aku dan Albert, tapi katakataku
tertelan lagi. Nggak tahu kenapa. Mungkin dalam hatiku, aku merasa sayang juga kalau
harus mengakhiri hubunganku sama Albert yang sudah dua tahun ini. Atau aku nggak mau
benar-benar dianggap childish, seperti yang dibilang Albert tadi. Entahlah.
, tapi sebagai cowokku, aku
minta kamu ngertiin apa yang bener-bener aku suka. Aku juga nggak pernah ngelarang kamu
main basket, kan? Aku selalu bisa ngerti, bahkan kalau kamu nggak bisa jemput aku karena ada
latihan basket. Kenapa sekarang kamu minta aku nonton kamu tanding, saat kamu tahu ada
turnamen bulutangkis yang bener
Albert melongo. Mungkin dia heran juga aku bisa ngoceh sepanjang itu. Aku tipe orang yang
identik dengan kalimat-kalimat pendek. Ngomong seperlunya saja, apalagi kalau lagi marah.
Tapi tadi aku sudah mengomel panjang kali lebar kali tinggi, pasti kedengarannya aneh banget.
Fiuh... udah deh, kalau udah begini, diskusinya nggak bakal selesai. Mau aku ngomong kayak
apa pun ke dia, ujung-ujungnya dia bakal menyalahkan aku juga.
Aku melongo, nggak mau menatap Albert. Thank God, dia nggak mengoceh lagi.
** *
Aku dan Albert pertama ketemu saat MOS SMA kami, SMA Pembangunan. Di hari pertama,
waktu upacara sebelum MOS, aku menangkap basah dia ngeliatin aku. Lucu banget sih waktu
itu. Dia langsung salting begitu kulihatin balik.
Albert ganteng, jadi banyak cewek yang naksir dia. Dan seperti yang pernah kuceritakan
sebelumnya, aku juga nggak bisa dibilang jelek. Banyak juga cowok, termasuk kakak-kakak
senior pembimbing MOS, yang naksir aku. Sayangnya, hal itu kayaknya membuatku jadi terlihat
genit di depan para senior cewek. Yang bener aja, aku toh nggak pernah flirting sama mereka
(para senior cowok maksudku, bukan senior cewek). Aku sendiri juga bingung kenapa tiba-tiba
banyak senior cowok yang suka nyamperin aku di kelas saat jam istirahat.
Aku masih ingat banget kejadiannya, dulu ada senior bernama Frederick yang naksir aku.
Waktu itu Frederick termasuk deretan senior yang populer, dan semua cewek yang naksir dia
tiba-tiba aja jadi memusuhi aku. Termasuk Mischa, cewek senior judes yang sudah lama naksir
Frederic, tapi kayaknya nggak pernah dianggap.
Mischa dan gengnya mencegat aku satu siang sepulang sekolah, dan dia langsung mengatai
aku seenak udelnya. Aku sudah hampir mendamprat balik, waktu Albert tiba-tiba aja muncul,
dan mengatai Mischa dengan kata-kata yang tajam tapi sangat berkelas. Aku lupa apa tepatnya
kata-katanya waktu itu, pokoknya Mischa sampai speechless di hadapan Albert. Aku sendiri
bingung, apa kata-kata Albert itu spontan keluar dari mulutnya, atau dia sudah mengarangnya
sejak dia naksir aku, dan tahu aku dalam target sasaran Mischa. Entahlah.
Yang jelas, setelah itu Mischa dan senior mana pun nggak pernah lagi berani menggangguku.
Mungkin Mischa sudah menebar gosip ke anak-anak seangkatannya bahwa aku punya bodyguard
yang galak, kali ya? Dan setelah itu aku dan Albert jadi dekat, sampai akhirnya kami jadian. Aku
sayang banget sama Albert, biarpun setelah beberapa bulan kami jadian aku baru tahu dia
ternyata nggak begitu suka sama fanatismeku akan bulutangkis.
Sebelumnya, waktu SMP, aku pernah jadian sama cowok yang ikut ekskul bulutangkis bareng
aku, namanya Philip. Orangnya baik banget, dan tentu saja kami amat sangat nyambung
ngomongin bulutangkis. Aku dan Philip juga sering main bulutangkis bareng, dan dua tahun
berturut-turut selalu barengan nonton Indonesia Super Series di Istora. Kami pacaran dua tahun,
tapi selepas SMP Philip dikirim ortunya masuk senior high di Australia. Kami putus baik-baik
waktu itu, dan berjanji akan tetap in touch lewat SMS dan chatting, at least untuk ngomongin
bulutangkis, karena di Australia sana kan bulutangkis nggak populer, jadi Philip pasti nggak akan
punya teman diskusi bulutangkis di sana.
Sayangnya, aku sibuk dengan kegiatanku sendiri, dan mungkin Philip udah ketemu cewek
bule cantik di Aussie. Jadi setelah satu bulan SMS-an, chatting, dan kirim e-mail, kami mulai
menjauh satu sama lain. Dan aku jadian sama Albert.
Di awal jadian sama Albert, aku merasa menemukan pengganti Philip, soalnya dia kelihatan
cukup antusias kalau kuajak ngobrol soal bulutangkis. Tapi karena dia nggak ngerti banyak,
banyakan aku yang mengoceh tentang bulutangkis di depan dia. Aku sih senang-senang aja,
mengoceh tentang hal yang jadi obsesiku, sampai mulut berbusa pun nggak masalah. Tapi seperti
yang kubilang tadi, setelah beberapa bulan mungkin Albert jadi enek, dan dia mulai suka
mengalihkan pembicaraan kalau kuajak ngobrol soal bulutangkis. Itu sih nggak apa-apa. Tapi
sebalnya, dia mulai menjelek-jelekkan bulutangkis juga, dan selalu membanding-bandingkannya
dengan basket dan cheers. Aku sempat bingung waktu itu, karena awalnya kan aku
membayangkan Albert bakal seperti Philip, yang bisa jadi teman diskusi bulutangkis yang asyik.
Tapi akhirnya aku sadar, Albert bukan Philip, dan mungkin dulu dia antusias mendengar semua
ocehanku tentang bulutangkis karena waktu itu kami masih masa pedekate dan baru jadian, jadi
semuanya masih dibutakan cinta. Hm... kedengarannya jadi kayak lagu dangdut, tapi emang
kenyataannya gitu sih.
Akhirnya aku mengambil jalan tengah. Aku nggak lagi ngomongin bulutangkis sama Albert,
kecuali dia yang mengungkit duluan (seringnya sih dalam konteks meremehkan dan
membanding-bandingkan). Cuma, nggak tahu kenapa, aku tetap bisa tahan kalau Albert ngoceh
segala macam tentang basket di depanku. Aku juga senang-senang aja kalau dia minta aku
menungguinya latihan basket, atau nonton dia tanding. Tapi kalau momennya bersamaan
dengan Thomas-Uber Cup seperti kemarin... harusnya dia tahu dong, mana yang bakal aku
pilih?
* * *
Aku benar-benar nggak habis pikir. Setelah kujutekin habis-habisan kemarin, Albert tetap nekat
datang ke rumahku sore ini! Padahal aku udah ngarep dia kapok, sehingga aku bisa ngibrit ke
Istora nonton final Uber Cup. Tapi ternyata mimpiku buyar!
Biarpun kucuekin sepanjang perjalanan pulang, Albert santai aja. Sampai di rumahku, dia
main sama Lio, karena aku langsung ngumpet di kamar, ogah dekat-dekat Albert kalau nggak
terpaksa. Masih sebal! Untungnya, biarpun Mama sayang banget sama Albert, cowok itu tetap
nggak dikasih izin masuk ke kamarku. Atau mungkin Albert masih tahu sopan santun, nggak
tahu lagi deh.
Yang jelas, aku baru keluar kamar jam enam sore, saat Uber Cup ditayangkan di TV. Albert
nggak duduk di sebelahku seperti kemarin, dia duduk di sofa pojok sambil memangku Lio.
Hmm... mungkin itu juga salah satu alasan kenapa aku masih pacaran sama Albert sampai saat
ini. Selain ortuku, Lio juga sayang banget sama Albert. Lio selalu nanyain kalau dia sudah lama
nggak melihat Albert (yang seringnya karena saat Albert mengantarku pulang sekolah, Lio lagi
bobo siang), dan setiap kali Albert datang Lio selalu jadi riang gembira, seolah Albert itu
Sinterklas. Pokoknya, mereka kompak banget lah. Entah pakai pelet apa si Albert.
-
Yeah, bagus sekali Claudia! Tengoklah ke sebelah kananmu, di sana tersedia jawaban kenapa
aku harus menghabiskan sore laknat ini di depan TV, sementara seharusnya aku bisa ada di
tempat pertandingan bulutangkis dengan atmosfer terdahsyat di dunia! Aku nggak mengada-ada.
kalau bukan teriakan IN-DO-NE-pemain Indonesia yang memukul bola,
Indonesia sudah mendekati angka 21) dan fanatisme penonton yang hadir di sana setiap
diadakan turnamen bulutangkis.
Claudia kayaknya menyadari perubahan ekspresiku, plus mataku yang melotot garang pada
Albert di sofa pojok. Dia mengerling pada Albert, dan terlihat sedikit syok.
gossip queen. Claudia tahu Albert nggak begitu suka pada fanatismeku akan bulutangkis, tapi dia
belum tahu sekarang ini aku sedang dihukum. Albert kayaknya nggak bisa mendengar
pertanyaan Claudia, selain kaerna bisikannya yang masuk level gelombang infrasonik, Albert juga
tengah asyik mendengar celoteh Lio yang berisik itu.
Claudia melongo, dan langsung menoleh menatap Albert dengan gaya dramatis, sebelum
akhirnya menatapku lagi.
karena gue mendadak sakit. Padahal gue ngarang alasan gitu supaya bisa ngabur ke Istora. Jadi
dia nggak ngebolehin gue ke Istora lagi selama Thomas-Uber Cup ini. Dan untuk memastikan
Oh-my-God. -mangap tak percaya.
udah mau
Aku membetulkan letak posisi dudukku dengan bersemangat, demi melihat logo Thomas-
Uber Cup yang nongol di TV. Tentu aja bakal hambar nonton cuma dari TV, tapi kalau cuma
ini yang bisa kudapat sekarang, at least aku harus berusaha menikmatinya, kan? Untung aja
Albert nggak sampai melarangku nonton dari TV juga. Awas aja kalau iya!
Presenter muncul di TV, bersama komentator pertandingan. Mereka membahas fenomena
tim Uber Indonesia yang berhasil menembus final, dan bagaimana riuhnya Istora sore ini.
Gegap-gempita, penuh sorak-sorai, berharap Indonesia mampu membuat kejutan lagi dengan
menaklukkan China. Aku memandang gambar penonton-penonton Istora yang sedang disorot
dengan mupeng. Oh, how I wish I was there!
Setelah dua kali jeda iklan yang membuatku makin dag-dig-dug nggak keruan, akhirnya
perwakilan kedua negara berjalan memasuki lapangan. Sebelum partai pertama, ada semacam sesi
perkenalan. Setiap pemain yang mewakili negaranya akan dipanggil namanya untuk kemudian
maju satu langkah dan melambai pada penonton.
Aku melotot ketika melihat sesuatu yang untk pada kontingen tim Uber Indonesia. Greysia
Polii, pemain ganda bertubuh mungil tapi punya power yang luar biasa itu, muncul dengan
menggunakan topi model tanduk, bak helm yang biasa dipakai bangsa Viking zaman dulu, tapi
topinya berwarna merah-putih. Nggak cuma itu, dia juga memakai bendera merah-putih sebagai
jubah. Bendera itu berkibar-kibar di punggungnya seperti jubah Superman saat dia berjalan.
Wow! Lucu banget!
Aku jadi teringat aksi atraktif Greysia saat di semifinal melawan Jerman dua hari lalu.
Bagaimana dia bisa begitu ekspresif menunjukkan kegembiraannya, dan sekaligus memancing
rasa nasionalisme setiap penonton yang hadir. Sekarang pun dia melakukan hal yang sama, dan
penonton bersorak gembira saat melihat motivator mereka lagi.
Beberapa pemain China melongo tak percaya saat melihat penampilan Greysia, tapi itu tak
kubu
China, mereka semua berwajah tegang sebelum memasuki lapangan. Walaupun kekuatan China
jelas masih selevel di atas Indonesia, pasti mereka tak berharap bertemu tim tuan rumah di
h kecemasan bahwa
tim Uber Indonesia akan mampu mencuri kembali trofi yang sejak 1996 lepas ke negeri Tirai
Bambu itu.
Tepuk tangan bergema sangat riuh ketika Greysia dipanggil namanya dan maju selangkah. Ia
melambaikan tangan dengan senyum mengembang lebar, membuat Lio, yang belum mengerti
bulutangkis sekalipun, jadi menatap layar TV dengan ketertarikan yang tak pernah kulihat
sebelumnya. Seolah ada magnet dalam sosok Greysia.
Seolah aku melihat DIRIKU di posisi yang sama dengannya.
Greysia hanya tiga tahun lebih tua dariku, tapi ia sudah mengikuti turnamen hingga keliling
dunia dengan membawa nama Indonesia. Dan sekarang ia berdiri di tempat yang luar biasa,
berhadapan dengan para penonon yang juga luar biasa, dalam kejuaraan beregu bulutangkis yang
paling bergengsi.
Kalau saja dulu Mama mengizinkanku les bulutangkis, mungkin sekarang aku akan ada di tim
yang sama dengan Greysia... Mungkin aku juga aakn berdiri di tengah Istora, melambaikan
-ku...
Aku menggeleng, berusaha mengusir bayangan itu. Ini tidak segampang yang aku bayangkan.
Memangnya hanya dengan les bulutangkis sejak umur enam tahun, aku akan bisa menembus
Pelatnas? Keep on dreaming, Fraya dear. Banyak pengorbanan yang pasti harus kutempuh jika
ingin berada di posisi yang sama dengan Greysia saat ini.
Tapi tetap saja, aku merasakan sakit dalam hatiku. Aku tak akan bisa mewujudkan mimpi
itu... Tahun-tahun di saat aku seharusnya berlatih keras dan mengikuti setiap kejuaraan junior
telah lewat, kuhabiskan hanya dengan menanti-nanti olahraga yang kucintai itu muncul di layar
TV. Berlatih sekeras apa pun aku sekarang ini, aku tak akan bisa seperti Greysia atau yang
lainnya...
n lamunanku kontan buyar.
Ternyata aku melamun lumayan lama, karena sekarang di TV Maria Kristin dan Xie Xingfang
sudah melakukan pemanasan, bersiap untuk partai pertama di final Uber Cup ini.
-
Claudia. Dengan ekor
mataku, aku bisa melihat Albert memperhatikanku dari sofa di pojok sana.
Aku membenarkan posisi dudukku di sofa, berusaha memusatkan perhatian ke TV lagi, tapi
lamunanku tadi ternyata masih mengusik. Aku nggak akan pernah bisa mewujudkan mimpiku
sekarang, sekeras apa pun aku berusaha. Satu-satunya yang kuinginkan hanyalah bisa memutar
kembali waktu...
Tapi waktu tak pernah bisa kembali, ia justru melaju semakin cepat menuju masa depan, di
saat kau menginginkannya berhenti.
Aku menelan ludah, merasakan bola mataku memanas. Kenyataan itu menghantamku begitu
kuat, sampai rasanya aku sesak napas. Kenapa aku ini? Semua harapanku seolah hilang, karena
aku tahu mimpi terbesarku tak akan mampu teraih lagi. Tiba-tiba saja aku merasa tak peduli
diriku cantik, punya pacar ganteng dan populer, punya keluarga yang berkecukupan dan
harmonis... Apa artinya semua itu, jika mimpiku, cita-cita dan obsesiku telah melayang pergi,
dan tak ada satu pun yang bisa kulakukan untuk meraihnya lagi?
Aku mengerjap, berusaha menyedot kembali air mata yang tertampung di mataku, siap
meluncur turun. Belum pernah sebelumnya aku begitu berharap aku sendiri saja dan tak ada
seorang pun yang bisa melihatku, karena aku sedang benar-benar ingin meledak dalam tangis.
kecurigaan Claudia. Untunglah, dia termasuk anak yang cuek dan mmm... agak lemot. Jadi dia
percaya saja dengan bualanku.
Maria Kristin sudah bersiap main sekarang. Ia yang mendapat bola pertama. Wasit sedang
memberikan informasi sebelum pertandingan dimulai.
On my right, Xie Xingfang, China! On my left, Maria Kristin Yulianti, Indonesia! Yulianti
serve
bergidik. Halusinasiku mulai menghadirkan kalimat yang
On my left, Fraya Aloysa
On my right, Xie Xingfang, China! On my left, Maria Kristin Yulianti, Indonesia! Yulianti
serve
bergidik. Halusinasiku mulai menghadirkan kalimat yang
On my left, Fraya Aloysa
Aku mengerjap sekali lagi, berusaha menelan halusinasi itu bulat-bulat. Itu nggak akan pernah
terjadi. Aku hanya menyakiti diriku sendiri dengan semua mimpi itu. Kenapa aku nggak
bersyukur saja dengan kondisiku saat ini? Aku toh bukannya anak yatim-piatu di Afrika yang
sedang kelaparan dan menunggu mati. Hidupku tak bisa dibilang buruk
dengan
mengesampingkan fakta bahwa apa yang paling kuinginkan dalam hidupku justru tak bisa
kuwujudkan. Jadi atlet bulutangkis bukan hanya mimpi semu masa kecilku, yang meledak sesaat
lalu tenggelam. Aku seperti berkomitmen penuh padanya, ingin meraih tapi tanganku tak
sampai...
Selama pertandingan Maria vs Xie Xingfang, aku lebih banyak melamun. Seperti yang sudah
diduga, Maria takluk. China memimpin 1-0.
Biasanya dalam kondisi Indonesia tertinggal seperti ini, aku sudah heboh sendiri. Sudah bawel
melontarkan saran-saran sok bijakku, bahwa Maria tadi seharusnya begini dan begitu. Tapi kali
ini aku diam. Mulutku terkunci, tapi batinku berperang.
Partai kedua ganda putri. Indonesia menurunkan Vita Marissa dan Lilyana Natsir, sementara
China diwakili oleh ganda terbaik mereka, sekaligus peringkat satu dunia saat ini, Yang Wei dan
Zhang Jiewen.
Walaupun Vita/Lilyana hanya ranking tujuh dunia, secara skill mereka tak kalah dari
Yang/Zhang. Banyak penempatan bola dari Vita yang tak bisa dikembalikan pasangan China itu.
Mereka seolah mati langkah saat melihat shuttle cock mati di daerah permainan mereka. Sayang,
set pertama berakhir untuk keunggulan China, 21-15.
Claudia agak gelisah di belakangku. Sepertinya justru dia yang terbawa suasana pertandingan.
Beberapa kali dia mengomel karena bola yang dibiarkan keluar oleh Lilyana ternyata justru
masuk. Lio yang nggak ngerti apa-apa juga nggak mau kalah. Dia bersorak waktu Lilyana
berhasil melakukan smash tajam. Hanya Albert yang diam saja, juga aku.
-tiba nongol di ruang keluarga, dan duduk di sebelahku.
-
underestimate banget deh. Kalah sih kalah, Ma, tapi masa belum dua jam main
udah tamat 3-
biasanya Claudia jago nyahut kalau diajak ngobrol soal bulutangkis begini.
kalau Indonesia menang kan Aya teriak-teriak mulu. Kalau Indonesia kalah, Aya bakal duduk
langsung mengubah ekspresiku.
pan kaus Albert kuat-pan kaus Albert kuat-
kuat, seolah nggak mau dipisahkan darinya. Albert nyengir melihat tingkah adik bungsuku itu.
-
Lio dengan sayang. Aku memperhatikan dengan kaget. Mama kelihatan terharu mendengar katakata
Albert. Ya ampun, Mama! Mellow abis deh!
Aku menelan ludah. Ini benar-benar gawat. Albert memang sudah mengambil hati Mama
sejuta persen! Pantas Mama lebih ngebelain Albert daripada aku, saat Mama tahu Albert
menghukumku dengan melarang aku nonton final Uber Cup di Istora!
Rubber seeeettt! Oh my God, rubber set! Rubber set, Aya,
Aku tersentak dari adegan melankolis antara Mama dan Albert di hadapanku, dan mendapati
Claudia sedang mencengkeram lengan bajuku, sekaligus menarik-nariknya dengan gembira. Dia
tadi bilang... rubber set?
Aku menoleh dengan kecepatan tinggi ke arah TV, di sana tampak Vita/Lilyana dan
Yang/Zhang bertukar tempat. Pertandingan belum berakhir, itu berarti... Vita/Lilyana merebut
set kedua?
Aku melotot semampu yang dilakukan mata sipitku, dan melihat angka 21-15, 19-21 di layar
TV. Astaga! Indonesia berhasil merebut set kedua ini! Mereka nggak mengalah begitu saja. Kami
punya harapan untuk mencuri nilai dari partai ini.
Atmosfer tegang langsung melandaku. Set penentuan ini harus dimenangkan Indonesia.
Kalau China sampai menang lagi, bisa gawat. Mereka bakal unggul 2-0, dan rasanya mustahil
mengejar ketertinggalan dua partai dan berbalik menang, jika lawannya China. Apalagi, setelah
ini Adrianti Firdasari yang bakal bermain melawan Lu Lan. Bukannya aku meremehkan Firda,
tapi, astaga, yang bakal dia lawan itu Lu Lan! Ranking dua dunia, sementara Firda masih di luar
top 25. Akan sulit baginya, belum lagi ditambah beban mental gue-harus-menang yang bakal
diembannya jika Indonesia keburu tertinggal 2-0.
Set ketiga sudah dimulai. Nggak seperti sebelumnya, kali ini perhatianku terfokus penuh pada
layar TV. Beberapa kali aku memang merasakan hantaman realitas di dalam hatiku bahwa citacitaku
sudah buyar, seperti yang kurasakan tadi, tapi aku berusaha mendorongnya ke bagian
belakang kepalaku. Nggak boleh cengeng dulu sekarang. Harus fokus nonton set ketiga!
Set penentuan ini berjalan cepat. Pasangan Indonesia mengeluarkan kemampuan terbaik
mereka agar bisa mencuri set sekaligus partai ini, tapi kubu China rupanya nggak mau kalah.
Mereka menyadari betapa bahayanya jika Indonesia mampu menyamakan kedudukan, dengan
posisi sebagai tuan rumah. Lebih aman bagi China jika mereka mengamankan set ini.
Kedua pasangan yang bermain ngotot itu membuatku lupa sejenak pada hantaman realitas
yang membuatku jadi orang yang nggak punya semangat hidup tadi. Ini benar-benar
pertandingan kelas dunia. Luar biasa! Aku sungguh idiot menyaksikannya hanya lewat TV,
padahal sebenarnya aku bisa nonton langsung di Istora. Kalau saja aku mau nekat menuruti saran
Adisty dengan memutuskan Albert, cowok itu pasti nggak punya hak apa pun lagi untuk
melarangku ke Istora...
Pada poin-poin kritis di akhir pertandingan, aku melihat Adhyaksa Dault, Menteri Pemuda
dan Olahraga, disorot oleh kamera TV dalam posisi sedang berdoa. Kedua tangannya terangkat,
mulutnya berkomat-kamit, jelas sekali mengharapkan Indonesia diberi kemenangan. Aku ikutikutan
berdoa di dalam hatiku, dan kali ini doa betulan, bukannya alasan kosong seperti yang
kusodorkan pada Claudia saat ia memergokiku melamun tadi.
Sayang, doaku dan Pak Adhyaksa nggak terkabul. China menutup set ketiga ini dengan 2116,
sekaligus memastikan mereka unggul 2-0 dari Indonesia.
-
menepuk punggungku.
Aku terlongong-longong. Ini beneran Claudia nih, yang ngomong begitu? Beneran adikku,
Miss-udahlah-pasti-Indonesia-kalah, yang superpesimis itu? Yang beberapa hari lalu bilang Sony
Dwi Kuncoro pasti kalah melawan Bonsak Ponsana, padahal saat itu baru set pertama?
Apa semalam adikku diculik alien (karena dianggap sangat tepat merepresentasikan sifat
pesimis manusia bumi, dan karena itu para alien ingin menelitinya), dan yang duduk di
sebelahku sekarang adalah alien yang sedang menyamar jadi Claudia?
Astaga.
h ngomong kalah-kalah
Wah, kayaknya bener-bener alien nih...
Uber nggak ya
membuatku seolah tersengat listrik ribuan volt.
Albert mendadak menoleh, menatapku tajam.
-
u lo main bulutangkis jago. Kali aja kalau lo dulu beneran masuk klub,
sekarang lo bakal ada di Istora. Bukan nonton doang, tapi jadi pemain, kayak Lilyana Natsir,
Aku merasakan ribuan tinju di ulu hatiku. Apa Claudia sungguh-sungguh berpikir begitu,
atau dia hanya asal ngoceh? Kalau dia memang cuma ngoceh, kenapa yang diocehkannya bisa
persis sama dengan apa yang ada di otakku sekarang?
Kalau saja dulu Mama nggak melarangku masuk klub, mungkin saja...
sama Lilyana itu nggak segampang yang lo
juga, mungkin.
Gue bisa dapat akses masuk gratis ke Istora waktu lo tanding, sekaligus bisa pamer sama tementemen
gue kalau lo atlet bulutangkis top. Oh, biar mulutnya si Amelia bawel itu monyong kalau
dia tahu kakak gue lebih ngetop dari kakaknya! Tahu nggak, Aya, kakaknya Amelia itu kan cuma
masuk finalis model smapul, eh... gitu aja dia pamernya selangit. Sampai enek gue dengernya.
Beneran deh, seandainya aja lo masuk tim Uber, dia pasti nggak bisa pamer lagi sama gue, karena
kakaknya cuma beken tingkat nasional, sementara kakak gue tingkat internasional! Eh, atau
seandainya lo dulu nggak bikin kacau pemilihan model yang lo ikutin itu, gue yakin lo juga bisa
Albert, yang tadi melotot, sekarang terkikik geli di seberang sana.
Aku benar-benar bengong mendengarnya. Ya ampun, anak ini kenapa sih? Norak banget! Jadi
tadi dia menyinggung-nyinggung kalau-saja-aku-dulu-masuk-klub-dan-sekarang-tergabungdalam-
tim-Uber itu hanya karena dia ingin bisa pamer sama temennya yang bernama Amelia itu?
menampilkan Firdasari dan Lu Lan yang berjalan memasuki lapangan. Aku nggak mungkin
melewatkannya hanya karena mendengar ocehan Claudia yang nggak jelas itu.
Set pertama dimulai, dan Lu Lan langsung menunjukkan kelasnya. Tapi di mataku, ia justru
terlihat nggak mengeluarkan seluruh kemampuannya. Mungkin dia menganggap enteng Firda,
jadi nggak perlu bertanding sekuat tenaga pun dia bakal menang.
Sayangnya, dugaanku benar. Lu Lan mencuri set pertama dengan mudah, 21-12. Tinggal
memenangkan satu set lagi, maka China akan mempertahankan Piala Uber di negeri mereka.
Aku perih mengingatnya. Mana set kedua Firda banyak melakukan kesalahan sendiri, juga
memberikan bola tanggung yang dengan enak di-smash oleh Lu Lan dan menghasilkan angka
baginya. Aku jadi jengkel. Mungkin kalau aku yang main, aku nggak akan membiarkan Lu Lan
mengecohku dengan bola-bolanya yang...
Aduh, Fraya, sadar dong, sadaaaarr! Ngomong apa kamu ini? Kamu kan cuma duduk di
depan TV, mudah bagimu buat bilang begini-begitu. Firda kan ada di bawah tekanan harus
menang, dan dia ditonton puluhan ribu orang! Nggak mudah berada dalam posisi seperti itu!
aku mengomeli diriku sendiri dalam hati.
Tapi akhirnya, aku tetap harus menerima Lu Lan merebut set kedua dengan angka yang lebih
mudah, 21-10, sekaligus menyudahi partai final ini dengan kemenangan untuk China. Lu Lan
hanya bertepuk tangan di atas kepalanya, lalu berpelukan singkat dengan pelatih dan rekan-rekan
senegaranya. Nggak ada atraksi heboh seperti yang dilakukan tim Uber Indonesia ketika kami
lolos ke final kemarin. Mungkin bagi China, mempertahankan Piala Uber adalah sesuatu yang
biasa, nggak perlu dirayakan dengan euforia berlebihan.
Aku bangkit dari sofa yang kududuki, nggak berminat lagi melihat pemberian medali ataupun
buket bunga kepada pemain-pemain China dan Indonesia. Atau melihat para pemain China
bergiliran memegang Piala Uber dengan wajah sumringah. Bukannya nggak bisa berbesar hati
menerima kekalahan, tapi sudah terlalu banyak kejengkelan yang berdesakan di kepalaku hari itu,
dan aku butuh mengeluarkannya kalau nggak mau jadi gila.
Aku masuk ke kamarku tanpa menggubris Albert, Claudia, Mama, atau siapa pun lagi. Di
kamar, aku membenamkan kepalaku dalam bantal dan menumpahkan tangisku di sana.
Kekesalan karena Albert melarangku pergi ke Istora, penyesalan karena dulu aku nggak terus
ngotot masuk klub bulutangkis sehingga kini aku harus menelan kenyataan bahwa cita-citaku
nggak mungkin teraih lagi, dan rasa sedih akibat kekalahan tim Uber Indonesia yang begitu telak
menumpuk jadi satu di dadaku, membuat air mataku mengalir deras.
Aku menangis sejadi-jadinya.
Gloomy Days
HARI Minggu pagi, aku bangun dengan susah payah karena mataku lengket penuh air mata,
dan berusaha mengingat-ingat, kenapa aku merasa begitu merana?
Ah ya, aku ingat:
1. Tim Uber Indonesia kalah dari China.
2. Tim Thomas bahkan nggak masuk final.
3. Aku nggak diizinkan Albert nonton langsung di Istora.
4. Dan mulai hari ini aku harus hidup dengan kenyataan bahwa impian terbesarku nggak
akan pernah bisa terwujud, sekeras apa pun aku berusaha.
Selama sepuluh menit aku berbaring meringkuk di atas ranjang, dan merasakan permukaan
bantal yang lembap di bawah pipiku. Air mataku semalam belum kering rupanya. Dan aku
masih merasa begitu nelangsa...
Kenapa dulu Mama melarangku? Kenapa dulu aku menurut begitu saja tanpa menanyakan
alasannya pada Mama? Kenapa aku dulu begitu bodoh? Les bulutangkis toh bukan sesuatu yang
negatif, dan aku yakin ortuku sanggup membiayaiku mengikutinya. Fisikku juga kuat sejak kecil,
aku jarang sakit, dan nggak mudah capek, jadi Mama melarangku ikut les pasti bukan karena
alasan yang sama dengan alasan Tante Wenny untuk anak-anaknya.
Apakah karena Mama menganggap jadi atlet akan membuat masa depanku jadi nggak jelas?
Tapi apa yang bisa kita prediksi tentang masa depan? Sarjana-sarjana yang pintar saja sekarang
banyak yang menganggur. Jadi, sekolah dan kuliah yang benar bukan jaminan kita akan punya
masa depan yang jelas.
Atau... Mama dulu mengira bulutangkis hanyalah kegemaran sesaatku saja, dan aku akan
bosan setelah beberapa waktu? Kenapa Mama nggak bisa melihat bahwa itu impianku? Aku toh
bukannya surut setelah dilarang ikut les waktu itu. Aku terus menggilai bulutangkis, ngejogrok di
depan TV setiap ada pertandingan, berharap aku bisa seperti pemain-pemain idolaku yang di TV
itu... Kenapa Mama nggak bisa melihatnya? Apakah impiannya lebih penting daripada
impianku? Apakah cita-citaku nggak membuatnya puas dan bahagia? Apa ia ingin membentukku
menjadi Fraya yang diinginkannya, bukannya membiarkan aku bertumbuh dengan impianku
sendiri?
Aku nggak ingin marah sama Mama, dan aku yakin Mama pasti ingin yang terbaik untukku,
walau itu dilihat dengan sudut pandangnya sendiri, tapi tetap saja sekarang aku sangat menyesali
cita-citaku yang telah amblas itu.
Ya Tuhan, kalau saja aku bisa memutar waktu....
* * *
Seharian ini aku mengurung diri di kamar, hanya keluar untuk makan dan mandi. Orang rumah
kelihatannya pergi semua, dan aku bersyukur karena punya keluarga yang sangat pengertian.
Mungkin mereka mengira aku masih kesal dengan kekalahan tim Uber Indonesia semalam, atau
mungkin dikira aku sedang ngambek sama Albert dan masih kesal, jadi aku dibiarkan begitu saja.
Aku memang lebih suka begini jika ada masalah, dibiarkan berpikir dengan tenang dan nggak
digerecoki segala macam pertanyaan. Nanti jika ingin cerita, aku bakal cerita sendiri. Papa,
Mama, dan Claudia juga menganut paham serupa. Kalau Lio sih aku belum tahu, kan dia masih
kecil. Masalah seberat apa sih yang bakal dipunya anak berumur lima tahun?
Aku meraih koran hari ini dari meja tamu, dan melihat foto tim Uber terpampang di halaman
depan, bersama ofisial dan seluruh pelatih mereka. Meskipun kalah, mereka tetap terlihat
gembira, karena prestasi yang mereka capai telah melampaui target. Sebelumnya, mereka hanya
ditarget sampai ke semifinal. Siapa yang menyangka mereka justru akan melangkah ke partai
puncak?
Tapi melihat foto itu malah membuat hatiku makin pedih. Aku nggak akan pernah ada di
foto yang sama dengan mereka. Aku selamanya hanya akan jadi penggemar, padahal aku ingin
sekali bisa melakukan hal yang sama...
Dari kecil aku sudah menyadari aku punya rasa nasionalisme yang tinggi. Entah kenapa, tapi
setiap melakukan sesuatu, aku selalu berpikir aku ingin jadi anak yang berguna untuk bangsa dan
negara. Kedengarannya naif, dan mungkin lebay, tapi memang seperti itulah yang ada dalam
diriku sejak dulu. Mungkin aku memang seharusnya dilahirkan untuk jadi seorang atlet. Di
dalam diriku sudah tertanam skill, semangat pantang menyerah, rasa nasionalisme, dan keinginan
untuk main bulutangkis. Yang tidak kumiliki hanya kesempatan. Amblas begitu saja karena
larangan dari Mama saat aku berusia sepuluh tahun.
Aku meraih koran hari ini, dan beranjak ke teras rumah. Burung kenari peliharaan Papa
berkicau ribut di dalam sangkarnya. Aku biasanya suka bersiul memancing kicauan burungburung
berwarna kuning cerah itu, tapi sekarang aku nyaris nggak punya niat untuk melakukannya.
Aku nggak punya niat melakukan apapun, seolah semua semangat hidupku lenyap. Aku
orang yang hidup tanpa harapan dan cita-cita.
Aku ingat belum menyalakan HP, jadi aku masuk ke kamar untuk mengambil HP-ku, lalu
menyalakannya sambil duduk di kursi teras. Beberapa SMS mengalir masuk setelah aku
menyalakan HP, mulai dari Sharleen, Charles, Wilson, dan tentu saja Albert.
From: Albert
R u alright?
Nggak, Albert, aku sama sekali nggak baik-baik saja. Aku sudah kehilangan semangat hidup,
dan setiap kali mengerjap saja aku rasanya sudah akan menangis. Kenapa hidup ini cuma satu
kali? Kenapa jika kita menyesali sesuatu dan ingin mengubahnya, kita tak mampu? Kalau saja
manusia bisa memutar waktu...
Aku melamun, mencoba memperkirakan akan seperti apa diriku yang sekarang, jika saja aku
dulu diizinkan oleh Mama, atau mungkin memaksakan kemauanku, untuk masuk klub
bulutangkis dulu.
Aku, seperti yang pernah dibilang Adisty, Claudia, Sharleen, Charles, Wilson, dan puluhan
orang lainnya, MUNGKIN akan berhasil menembus Pelatnas. Atau at least aku cukup
berprestasi untuk tingkat nasional. Dan kalau itu terjadi, tentu saja aku nggak akan bersekolah di
sekolahku yang sekarang. Aku akan masuk SMA khusus di Ragunan, tempat para atlet seumurku
bersekolah.
Aku nggak akan mengenal Albert, apalagi jadian dengannya. Tapi nggak pa-pa, aku nggak
keberatan soal yang satu itu.
Aku juga pasti akan menghabiskan hariku dengan latihan dan terus latihan. Itu juga nggak
masalah, aku sanggup menghabiskan berapa jam pun di lapangan bulutangkis, selama aku belum
pingsan.
Seandainya aku memang masuk Pelatnas, aku pasti setidaknya sudah menjejak sepuluh
negara-negara Asia, seperti Thailand, India, Singapura, Jepang, Taiwan, dan sebagainya, untuk
ikut turnamen bulutangkis. Dan mungkin karena itu aku akan jadi penyumbang terbesar koleksi
magnet kulkas mancanegara milik Mama.
Tapi yang terpenting... aku pasti sudah melakukan hal yang berguna untuk Indonesia.
Bukannya cuma jadi anak SMA yang kerjaannya tiap weekend nongkrong nggak jelas di mal,
belanja ini-itu, makan, nonton, dan pacaran.
Tidak apa-apa, aku hanya akan kehilangan teman-teman SMA-ku seandainya itu terjadi.
Memang susah membayangkan bakal seperti apa hidupku tanpa Adisty dan Sharleen, tapi yah...
mereka bakal baik-baik saja tanpa aku, kan? Akan ada Fraya-Fraya lainnya yang menggantikanku
menjadi sahabat mereka.
Aku merasakan air mataku menetes lagi. Ya Tuhan, kalau bisa, ingin sekali kucabut perasaan
pedih ini. Ia menikam begitu dalam, sampai aku nyaris sesak napas karenanya. Tadinya aku
mengira, kalau cita-citaku nggak tercapai, ya sudahlah... Tapi aku nggak pernah menyangka, di
umur 18 tahun aku sudah akan menyesali jalan hidupku.
Sudah terlambat untuk mengejar semuanya, sudah nggak ada lagi harapan yang tersisa.
Kalaupun aku masuk klub sekarang, paling aku hanya akan jadi orang-orang yang sekadar main
bareng setiap sore di gedung klub, bukannya berlatih secara intensif dan pergi ke negara-negara
lain untuk bertanding membawa nama negara.
Aku sudah pernah bilang kan, jadi atlet bulutangkis itu seperti menandatangani kontrak
seumur hidup? Sekali melakukannya, akan susah bagimu untuk mengambil jalan lain.
Tapi jika ada kontrak seumur hidup yang harus kupilih, kontrak inilah yang ingin
kutandatangani.
* * *
Jam setengah enam sore, aku sudah mandi dan duduk manis di depan TV, tapi posisi dudukku
kaku dan sorot mataku menerawang, seolah aku penderita stroke, dan yang bisa kulakukan
hanyalah menatap lurus ke depan. Hari ini, dan entah sampai berapa hari ke depan, tingkah
lakuku pasti akan seperti robot.
Aneh, rasanya ada yang kurang...
Aku menatap sekeliling, dan menyadari aku hanya duduk sendiri di ruang keluarga, sementara
kemarin ruangan ini penuh dengan Claudia, Lio, Mama, Papa, dan... Albert.
Oya, Albert! Kok dia belum datang? Apa dia nggak kepingin mengawasiku supaya aku nggak
ngibrit ke Istora? Hari ini kan final Piala Thomas...
Ah aku tahu, dia pasti nggak datang karena:
1. Final Piala Thomas hari ini akan mempertandingkan Korea vs China. Albert pasti
menduga aku nggak akan tertarik ke sana karena nggak ada Indonesia-nya. Jadi, karena aku
nggak ada niat ke sana, dia pun nggak perlu datang ke sini mengawasiku.
2. Dia mengira aksi dramatisku masuk kamar dan nggak keluar-keluar lagi setelah final Piala
Uber kemarin itu adalah semata-mata karena aku ngambek padanya, dan hari ini dia ogah
menerima perlakuan yang sama lagi, makanya nggak datang.
3. Albert takut aku masih marah padanya. Apalagi aku belum membalas SMS-nya tadi pagi.
Malas aja. Dan biasanya kalau aku lagi ngambek, dia memang membiarkan kepalaku dingin
dulu, nggak langsung menelepon atau merongrong dengan SMS lainnya.
4. Albert tahu diri, dan dia nyadar kehadirannya sekarang nggak kuharapkan.
Aku menghela napas. Nonton rame-rame memang kadang membuatku sebal karena jadi
bising dan aku nggak bisa menikmati pertandingan dengan fokus (apalagi kalau Claudia udah
Aku hampir saja memanggil Bi Munah, pembantu keluargaku, untuk menyuruhnya
menemaniku nonton bulutangkis di sini, tapi aku lalu teringat, jam segini pasti Bi Munah lagi
asyik-asyiknya nonton sinetron dangdut. Itu lhooo... sinetron Indonesia tapi yang dibumbui
nyanyian dan tarian ala film-film India. Plus nyaris semua pemainnya pakai wig dan suaranya di-
clubbing. Bi Munah tergila-gila banget sama sinetron semacam itu, dan tentu saja aku akan
seolah menyiksanya, jika merenggutnya dengan paksa dari menonton sinetron di TV belakang
hanya untuk menemaniku nonton bulutangkis di sini. Mungkin bagi Bi Munah, siksaan itu akan
sama beratnya seperti apa yang kurasakan saat Albert melarangku nonton Thomas-Uber Cup
langsung di Istora.
Jadi, aku tetap membenamkan bokongku di sofa, dan menatap TV dengan setengah
melamun. Benar-benar masih sulit dipercaya, final Thomas Cup kali ini tanpa Indonesia.
Nonton China vs Korea terasa hambar, dan aku nggak minat mendukung dua-duanya. Mau
dukung Korea, aku masih kesal karena mereka yang mengalahkan tim Thomas Indonesia di
semifinal. Tapi mau dukung China pun aku ogah, karena tim Uber mereka juga kemarin
mengandaskan tim Uber Indonesia.
Memang, China sangat hebat di segi prestasi bulutangkisnya. Regenerasi pemain mereka juga
bagus sekali. Belum habis era pemain hebat yang satu, sudah muncul pelapisnya yang nggak
kalah tangguh. Dengar-dengar sih memang pelatihan para atlet bulutangkis di China sangat
keras. Aku malah pernah mendengar rumor bahwa setiap pagi para atlet bulutangkis China harus
berlari naik ke atas bukit sambil memanggul karung pasir untuk melatih fisik mereka. Yeah, gila
memang. Tapi itulah kenapa mereka sekarang bisa segitu sarat prestasi.
Just wondering, seandainya aku jadi atlet, apa aku bakal mendapat latihan sekeras itu juga ya?
Dan apa aku sanggup?
Ah, jadi mikirin itu lagi! Seharian ini pikiran itu sudah memburuku terus seperti hantu, dan
aku nggak bisa diam lima menit tanpa kepikiran hal itu lagi. Rasanya, sepanjang hari ini, jika aku
melakukan apa pun, aku tahu itu nggak bakal ngaruh pada mimpiku. Aku hanya akan terus
melalui hari-hari hidupku dengan rutinitas yang membosankan.
Bukannya aku nggak bersyukur pada Tuhan untuk hidupku, tapi... aku penasaran, apa yang
bakal terjadi dalam hidupku jika dulu aku memilih jalan yang berbeda dengan jalan yang kulalui
sekarang? Apa aku akan sukses mengejar mimpiku, atau justru malah putus asa di tengah jalan,
dan ujung-ujungnya balik jadi anak SMA seperti sekarang?
I never know.
Layar TV sekarang menayangkan Park Sung Hwan dan Lin Dan yang mulai memasuki
lapangan. Senyum Lin Dan mengembang lebar sekali, seolah dia yakin 100% bakal membawa
kemenangan bagi timnya malam ini. Hanya opini pribadiku, tapi aku nggak begitu suka Lin
Dan. Tampangnya snob banget.
Dan Park Sung Hwan, ya ampun... dia kebalikan dari Lin Dan! Wajahnya selalu
menunjukkan ekspresi memelas pasrah, siap kalah, dan menyerah. Yah, tapi itu kan cuma
ekspresi wajahnya. Toh begitu-begitu juga dia yang mengalahkan Sony Dwi Kuncoro dua hari
lalu.
Pertandingan berlangsung cepat. Park merebut set pertama, tapi Lin Dan membalasnya di set
kedua dan ketiga, sekaligus memastikan China unggul 1-0.
Partai kedua Korea menurunkan Lee Yong Dae/Jung Jae Sung, sementara China menurunkan
Cai Yun/ Fu Haifeng. Kayaknya Yong Dae dicekoki ginseng lagi oleh pelatihnya, jadi dia main
bak kesetanan. Korea unggul dua set langsung, menyamakan kedudukan menjadi 1-1.
Hari ini rasanya berlangsung begitu cepat. Baru kali ini aku nonton bulutangkis tanpa
jejeritan histeris di depan TV. Aku hanya duduk diam, kadang memperhatikan pertandingan
yang sedang berlangsung, kadang tenggelam dalam lamunanku sendiri.
Partai ketiga, China menurunkan Bao Chunlai, pebulutangkis China yang paling banyak
mempunyai penggemar di Indonesia karena wajah imutnya, sementara Korea menurunkan Lee
Hyun Il. Set pertama berjalan alot. Kejar-mengejar angka terus terjadi. Berkali-kali Bao match
point, tapi nggak berhasil menyelesaikannya. Lee terus berusaha mengimbangi dan memaksakan
deuce, tapi akhirnya Bao menutup set pertama dengan 28-26. Rekor angka tertinggi selama
Thomas-Uber Cup ini.
Set kedua, Bao bermain lebih cerdik, dan menutup dengan mudah, 21-11. Kedudukan jadi 21
untuk China.
Berhubung belum ada yang merebut tiga partai, maka partai keempat dimainkan. Ganda
kedua China adalah Xie Zhongbo/Guo Zhengdong, sementara Korea diwakili oleh Lee Jae
Jin/Hwang Ji Man.
Kedudukan unggul 2-1 ternyata membawa semangat sendiri bagi Xie/Guo. Mereka ingin
secepatnya menuntaskan permainan, sementara kualitas ganda kedua Korea tak sebaik ganda
pertama mereka. Walaupun Korea sempat memaksakan rubber set, tetap pada akhirnya China
mengambil partai ini, sekaligus memastikan Piala Thomas tetap di negeri mereka untuk dua
tahun ke depan.
Yeah, bagus banget, piala Thomas dan Uber dikawinkan sekali lagi oleh China. Entah untuk
yang keberapa kalinya.
Aku bangun dari sofa dan mematikan TV. Lagi-lagi aku malas nonton acara penyerahan piala
dan pengalungan medali. Dan entah kenapa, walau hari ini aku nggak melakukan kegiatan apa
pun (banyakan meringkuk di sofa dan ranjang doang), aku merasa capek luar biasa. Sepertinya
ada karung untuk latihan fisik para atlet bulutangkis China yang dibebankan di atas
punggungku.
Aku masuk kamar, mematikan lampu, dan membenamkan diriku di ranjang lagi.
* * *
Kayaknya aku nggak pernah semalas ini pergi ke sekolah. Bahkan biasanya habis libur panjang
pun aku tetap semangat masuk sekolah. Kali ini benar-benar aneh, dan yah... aku tahu kenapa:
karena walaupun sekolah selalu digembar-gemborkan sebagai jalan untuk meraih masa depan
yang kita inginkan, itu nggak berlaku bagiku. Masa depan yang kuinginkan kan untuk jadi atlet
bulutangkis, dan sekolah sama sekali nggak membantuku mewujudkan mimpi itu.
Hidupku benar-benar menyedihkan. Tapi, jelas ortuku nggak bakal mengizinkanku bolos
sekolah hari ini. Dan karena Albert nggak datang menjemputku pagi ini (mungkin sekarang
ganti dia yang ngambek karena SMS-nya kemarin nggak kubalas?), aku terpaksa naik angkot ke
sekolah.
Sampai di sekolah, aku menggelosor di mejaku. Tak bersemangat... tak bersemangat...
Good morning
pemilik suara itu adalah Adisty.
Bad morning
Aku masih menelungkupkan kepalaku di meja, nggak menjawab pertanyaan Adisty.
-
para artis yang akan
-
para artis yang akan
bercerai saat ditanyai infotainment apa alasan mereka untuk bercerai.
Kali ini aku mengangkat
lama, sementara lama-lama perbedaan gue dan Albert makin mencolok, dan chemistry di antara
kami m
Oh no, jangan bilang perbedaan yang semakin mencolok itu adalah masalah lo tergila-gila
tergila-gila
pada bulutangkis, Dis, gue terobsesi. Jadi atlet bulutangkis adalah impian terbesar dalam hidup
gue, dan Albert nggak bisa mengerti itu. Walaupun sekarang gue nggak bisa mewujudkan impian
gue itu, at least gue ingin kegilaan gue pada bulutangkis nggak diusik, tapi apa yang dilakukan
Albert? Dia ngelarang gue nonton live kejuaraan bulutangkis paling bergengsi sedunia yang
an itu sama
aja dengan menyiksa gue... Gue lebih milih diputusin daripada dilarang nonton Thomas-Uber
Sebuah suara terdengar di belakangku, dan aku tahu, sekali lagi, aku telah membuka rahasia
isi hatiku sendiri.
Albert berjalan mendekati bangkuku, sementara Adisty menatapku dengan ngeri.
fine
Aku menatap Albert tanpa berkedip. Ini hal yang sangat kuinginkan beberapa hari lalu, tapi
sekarang saat ini terjadi, aku justru merasa biasa saja. Nggak senang, nggak sedih, aku hanya bisa
menatap Albert dalam diam.
know. Dan gue nggak pernah bisa
Aku masih tetap diam.
selalu berusaha jadi cowok terbaik buat lo. Nyatanya, hanya karena gue ngelarang lo nonton ke
Istora, yang adalah sebagai hukuman atas kesalahan lo sendiri, lo nyuekin gue habis-habisan di
rumah. Masuk kamar dan nggak keluar-keluar lagi saat tim yang lo banggakan setengah mati
kalah. Please deh, Fraya,
Kali ini aku menatap Albert lebih tajam. Apa katanya tadi, dia berusaha jadi cowok yang
terbaik buatku? Nggak salah tuh? Kalau emang benar seperti itu yang dia lakukan, seharusnya
kan dia mengerti apa yang aku suka, bukannya malah melarang-larang aku dan selalu menyindir
hobiku, plus membanding-bandingkannya dengan cheers?
Albert menatapku galak, melemparkan tas sekolahnya ke bangkunya, lalu berjalan ke luar
kelas dengan marah.
Adisty, yang tadi menjauh sedikit saat Albert masuk kelas, tergopoh-gopoh mendekatiku.
bertengkar sengit dan bilang enough-enough
-
larang terus sama dia. Paling nggak sekarang gue bebas main dan nonton bulutangkis kapan pun
gue suka, tanpa ada cowok tengik melarang-abku seenak udel.
sementara aku kembali menelungkupkan kepala di atas meja.
Aku baru saja putus dengan cowok yang kupacari selama dua tahun, tapi sama sekali nggak
ada gejolak emosi dalam diriku.
Itu karena hatiku sudah sesak penuh perasaan putus asa karena aku nggak akan pernah meraih
cita-citaku, tak ada ruang untuk perasaan yang lain lagi.
* * *
Seminggu sudah berlalu sejak aku dan Albert putus. Anehnya, aku nggak merasakan perbedaan
yang berarti, cuma frekuensiku naik angkot saja yang meningkat, karena sekarang nggak ada
cowok yang mengantar-jemputku ke sekolah lagi. Yang lain rasanya biasa saja, dan aku masih
tetap seperti robot yang menjalani hidup dari hari ke hari tanpa semangat. Aku hidup hanya
karena saat bangun hari itu ternyata aku mendapati diriku masih bernapas.
Gosip menyebar di sekolahku sama cepatnya dengan koneksi Internet tercanggih, dan dalam
sekejap saja semua orang tahu aku dan Albert sudah putus. Dampaknya, sekarang banyak cewek
yang dengan sukarela menggosongkan kulit mereka dengan berjemur di lapangan, menonton
Albert main basket tiap jam istirahat. Beberapa teman cowokku juga mendadak sedikit ganjen
padaku, sok perhatian dan SMS-SMS nggak penting, tapi semuanya kucuekin.
Sekarang di bawah mataku ada lingkaran hitam besar, karena mendadak aku jadi susah tidur.
Itu karena setiap mau tidur, yang ada dalam bayanganku adalah: aku akan bangun besok pagi,
melakukan lagi rutinitas yang membosankan, dan sudah nggak punya lagi impian yang bisa
kukejar. Tapi, kebanyakan teman sekelasku dan fans
-ku itu. Mereka mengarang cerita bahwa mataku sembap begini karena aku menangis setiap -ku itu. Mereka mengarang cerita bahwa mataku sembap begini karena aku menangis setiap
malam setelah diputusin Albert.
Yeah, yang bener aja.
Albert sendiri sekarang agak menghindariku. Kalau kebetulan kami berpapasan pun, dia
hanya diam dan langsung berlalu lagi. Yang aku syukuri, waktu ditanya beberapa orang tentang
apa alasannya memutuskan aku, Albert tutup mulut. Mungkin dia gengsi juga harus mengakui
bahwa di mataku dia kalah penting dibandingkan bulutangkis, dan karena itu sudah nggak tahan
lagi. Entahlah.
Masalah dengan Albert dan teman-temanku selesai, tapi ternyata hal yang sama nggak terjadi
pada keluargaku.
Sore itu, ketika aku pulang sekolah, Lio sudah menungguku di teras rumah. Dia baru selesai
mandi, dan aroma sabun bayinya harum sekali. Aku langsung menciuminya dengan gemas.
Aku langsung diam. Kenapa aku bisa lupa Lio cinta mati sama Albert? Sudah seminggu dia
nggak melihat Albert mengantarku pulang sekolah, pantas dia bertanya-tanya. Aduh, gimana ya
ngejelasin aku dan Albert udah putus?
Aku menggigit bibir. Biasanya kalau Albert mengantarku pulang, dia bakal mampir sebentar
dan mengajak Lio ke lapangan basket kompleks perumahanku yang nggak jauh dari sini. Dia
bakal menunjukkan kebolehannya sebagai kapten tim basket sekolah, dan Lio akan
menontonnya melakukan lemparan three point dengan mata membelalak terpesona. Setelah itu,
Albert bakal menggendong Lio di atas kepala dan menyuruh Lio memasukkan bola basket ke
dalam ring, membuat Lio merasa hebat juga karena bisa melakukan slam dunk.
Kenapa aku nggak memperhitungkan semua itu sewaktu putus dari Albert minggu lalu?
Lio menggeleng kuat-
Albert!
Oke, kayaknya aku memang benar-benar harus terus terang sama anak kecil ini.
Aku berdiri dan pindah duduk di kursi teras, lalu mengajak Lio bicara sambil menggenggam
tangannya.
sedih yang nggak
Aku memejamkan mataku. Ya ampuuuunn... gimana aku harus ngejelasin? Melihat tampang
sedih Lio sekarang aja aku rasanya sudah kepingin nangis.
-kira gitu, Lio. Kak Aya nakal, dan Kak Albert nggak mau berteman lagi sama -kira gitu, Lio. Kak Aya nakal, dan Kak Albert nggak mau berteman lagi sama
Lio menatapku dalam-dalam setelah aku mengucapkan kalimat itu. Aku sampai nggak
percaya anak lima tahun ternyata bisa melakukan hal semacam itu.
pedih.
Mendadak, tangis Lio meledak. Ia melepaskan tangannya dari genggamanku, dan berlari
masuk ke rumah sambil memanggil-manggil Mama. Aku langsung merosot lemas di kursi.
Seminggu ini aku menghindar cerita pada Mama soal putusnya aku dan Albert, tapi kelihatannya
sebentar lagi aku harus menjelaskan juga.
Dugaanku benar. Nggak sampai lima menit kemudian, Mama muncul di teras dengan
tatapan menuntut penjelasan. Tangan kanan Mama menggandeng Lio yang masih menangis.
Oh no, not that calling-me-Fraya-thing again! Mama pasti bakal ngamuk!
teras.
Mama melongo, sementara Lio, entah kenapa, menangis semakin keras. Seolah aku dan
Albert ini orangtuanya, dan kami bakal bercerai.
Ita dan memintanya membawa Lio yang sedang menangis masuk ke rumah. Itu tanda bahwa
Mama bakal bicara serius denganku.
-hal yang sewaktu baru jadian,
sepertinya bakal bisa kami atasi, tapi ternyata nggak segampang yang aku kira. Semuanya jadi
makin buruk belakangan ini, dan aku sama Albert juga makin sering berantem. Aku pikir, nggak
saat dia
datang ke sini di hari final Thomas-
Aku menunggu Mama meledak marah, tapi ternyata Mama hanya diam selama beberapa
detik sebelum akhirnya bicara lagi.
-lama Lio bakal terbiasa, Ma. Mungkin
alau begitu. Mama sangat menyayangkan, tapi Mama percaya kamu sudah
Mama menepuk lenganku, lalu berjalan masuk ke rumah. Aku menekan punggungku ke kursi
teras dan memejamkan mata.
Ya, sekarang aku sudah besar. Aku tahu risiko dan konsekuensi dari setiap keputusan yang aku
buat. Kalau saja delapan tahun lalu aku juga tahu bahwa menyerah begitu saja pada larangan
Mama untuk masuk klub bulutangkis akan membuatku begini nelangsa di masa depan, pasti
dulu aku akan lebih berusaha membujuk Mama.
Alasan Mama
Aku menenggak air mineralku banyak-banyak. Sharleen baru saja membabatku dua set
langsung, hal yang sangat jarang terjadi sebelumnya. Sebelum ini, kalaupun aku kalah dari
Sharleen, pasti kalahnya rubber set, dan dengan skor yang tipis. Tapi kali ini Sharleen begitu
mudah menjungkalkanku.
-
bawah mata lo makin mirip
Aku refleks meraba pelupuk mata kananku, dan mengusapnya perlahan. Semalam tidurku
gelisah, dan aku terbangun jam empat subuh tanpa bisa tidur lagi. Jadi aku menyalakan
komputer dan mencari situs majalah Shuttlers, lalu membaca artikel-artikel hasil tulisan Shendy
yang berhasil kutemukan di sana. Shendy jenis jurnalis yang mampu memasukkan jiwa ke dalam
setiap tulisannya. Beberapa yang kubaca, seperti artikel tentang bagaimana Greysia Polii berjuang
menjadi atlet sampai seperti sekarang, ditulis dengan sangat bagus, sampai-sampai aku merinding
saat membacanya. Karena keasyikan browsing, aku sampai nggak sadar hari sudah pagi, dan aku
nggak boleh tidur lagi kalau memang nggak mau telat ke sekolah.
Aku menghela napas dan duduk bersila di lantai kayu sports hall tempat kami bermain.
Sharleen mengikutiku. Ekskul hari ini sudah selesai. Pak Richard dan sparring partner-ku yang
lain sudah pada pulang. Tadi aku dan Sharleen memang berniat main satu game sebelum pulang,
hal yang memang biasa kami lakukan. Jadi, sekarang hanya tinggal kami berdua di hall yang luas
ini.
Aku mengernyit, tapi rupanya Sharleen nggak kelihatan sedang bercanda. Rupanya dia benarbenar
mengira lingkaran hitam di bawah kedua mataku ini gara-gara aku patah hati diputusin
Albert. Well, padahal aku menangisinya pun nggak. Tapi siapa Nindy itu?
anyway. Gue dengar sekarang
am, tapi itu hanya karena aku nggak tahu harus berkomentar apa am, tapi itu hanya karena aku nggak tahu harus berkomentar apa
lagi. Jadi sekarang Albert sudah mulai pedekate ke cewek lain? Baguslah. Dia sebenernya cowok
yang baik, kalau saja dia mau lebih mengerti rasa sukaku pada bulutangkis.
Aku menggigit bibir, dan menimbang-nimbang dalam hati. Apa Sharleen akan menertawaiku
kalau aku menceritakan padanya tentang obsesiku yang nggak kesampaian? Apa dia bakal
menganggapku konyol, dan bakal meledekku sepanjang masa?
Tapi mendadak aku sadar, kalau ada orang yang bisa mengerti perasaanku, Sharleen-lah
orangnya. Bukan Albert, Mama, Adisty, ataupun Claudia, tapi Sharleen. Kecintaannya pada
bulutangkis kan nggak jauh beda denganku.
I wish I could turn back the time
-cita dan impian terbesar dalam hidup gue, hanya karena nyokap
Sharleen diam sesaat, lalu mengerjap tak percaya karena mengerti apa yang kumaksud. Dulu
aku memang pernah cerita padanya tentang kegagalanku masuk klub bulutangkis karena
ditentang Mama.
Sharleen tepat sasaran.
Aku mengangguk.
-
dulu gue masuk klub, mungkin gue
Aku sesak napas saking gembiranya. Sharleen juga pernah merasakan hal seperti itu! Berarti
aku masih normal!
perasaan gue. Tapi lama-lama gue seperti diingatkan, kalau gue bisa memutar waktu pun, nggak
ada yang men
hebat? Gue tahu kemampuan gue, Fray, dan gue bukan jenis pemain yang luar biasa. Banyak
pemain di luar sana yang punya kualitas lebih baik, dan gue bukan orang yang siap menerima
kenyataan cita-
Aku merasakan lidahku kelu.
ah itu lain ceritanya. Gue yakin dengan skill lo sekarang, lo pasti bisa menembus
Pelatnas. Masuk jajaran pemain hebat juga pastinya. Tapi Tuhan tahu yang terbaik buat kita
berdua, kan? Gue percaya apa pun yang gue terima sekarang, itu adalah yang terbaik, dan gue
berusaha menyukurinya, walaupun... yah... gue masih sering juga mupeng kalau lihat Maria
Kristin atau Lilyana Natsir di TV, hehehe... Aduh, kok jadi curhat mellow
Sharleen menjitaki kepalanya sendiri, tapi aku masih terpaku diam pada ekspresi dan posisiku
tadi.
terima pemain dengan usia gue, usia kita sekarang, tapi sudah nggak ada lagi. Maksimal empat
belas tahun, and it was so long time ago when I was fourteen
Sudah terlambat. Sudah terlambat. Sudah terlambat...
-sama tahu kan, pemolesan atlet bulutangkis itu dimulai sejak kecil?
Ki
Aku menelan ludah. Biarpun aku bisa menduga fakta ini, tapi mendapat kepastian tentangnya
benar-benar menyakitkan. Tadinya sempat ada harapan bodoh bahwa, mungkin saja, masih
belum terlambat bagiku untuk mengubah arah. Bahwa, mungkin saja, aku masih bisa meraih
cita-citaku karena ada klub yang bisa menerimaku jadi anggotanya dan menggemblengku...
bulutangkis seperti ini. Tapi lumayan lah, daripada n
Aku nggak menjawab, kugigit bibirku kuat-kuat. Mungkin benar kata Sharleen, kami masih
cukup beruntung bisa ikut ekskul bulutangkis, daripada nggak sama sekali, tapi aku tetap merasa
nggak puas. Seolah aku ini burung rajawali, tapi dipaksa menjadi anak ayam yang oke-oke saja
tinggal di kandang.
Sharleen mengguncang-guncang badanku, dan aku kontan tersentak.
kemarin,
-benar disadarkan gue kepingin jadi
sudah nggak ada kesempatan
lagi untuk jadi seperti mereka. Gue pikir, kenapa gue nggak berusaha menikmati hidup aja?
Kenapa gue harus memaksakan diri? Gue masih bisa menikmati bulutangkis, walau nggak terjun
Aku berusaha memahami kata-kata Sharleen, tapi nggak tahu kenapa, pikiranku seperti
-kata Sharleen Wiryono. Aku nggak mau semua
kalimat itu meresap ke dalam diriku. Aku masih belum bisa menerima bahwa aku sudah
kehilangan semua harapan....
* * *
Tanpa terasa, sudah tiga minggu aku dan Albert putus, dan hidupku makin terasa hampa.
Bukan, bukan gara-gara putusnya aku dan Albert, atau karena Albert sudah resmi jadian dengan
Nindy minggu lalu, tapi semata-mata karena aku hidup tanpa harapan dan impian lagi. Setiap
pagi aku hanya bangun dan melakukan rutinitas yang membosankan: mandi-berangkat-sekolahpulang
sekolah-belajar-mandi-makan-tidur-bangun lagi, begitu terus setiap harinya. Hidupku
kosong seperti hidup Bella Swan setelah ditinggal Edward Cullen.
Lama-lama aku muak pada diriku sendiri. Sampai suatu hari aku ingat, sampai sekarang aku
belum tahu pasti apa alasan Mama melarangku masuk klub bulutangkis sewaktu aku kecil dulu.
Ya, sekarang aku sudah cukup besar. Mama pasti bisa menjelaskan alasannya, dan aku juga pasti
bisa memahaminya.
Aku nggak mau kalau ternyata besok aku ketabrak angkot saat mau berangkat sekolah, aku
belum tahu apa alasan Mama melarangku masuk klub bulutangkis itu, bisa-bisa aku jadi arwah
penasaran karena masih ada urusanku yang belum selesai di dunia ini!
Mm... nggak segitunya sih... Tapi yah, pokoknya aku harus mencari tahu dari Mama saat ini
juga!
Mama di mana ya sore-sore begini? Tadi sih waktu aku pulang sekolah...
Ah ya, pasti di kebun!
Aku setengah berlari menuju kebun depan, dan ternyata dugaanku benar. Mama ada di sana,
sedang mengguntingi dedaunan kering dari tanaman-tanamannya yang memenuhi kebun.
-nimbang dalam hati. Apa aku serius mau
menanyakan hal ini ke Mama? Apa Mama bakal marah nanti? Karena aku meragukan apa yang
dipandangnya sebagai yang-dia-lakukan-demi-kebaikanku-sendiri?
-
bunganya. Duh! Salah sikon! Mama tuh paling nggak nyambung diajak ngomong kalau lagi
asyik berkebun. Bisa-
setelah memanggilnya tadi,
tapi tangannya masih asyik mengguntingi dedaunan kering.
Oke, now or never!
Mama diam sejenak, tapi tangannya terus bekerja.
ya.
Ngg... kayaknya bener deh, Mama nggak nyambung dengan pertanyaanku.
bilang Mama nggak
Aku melongo selebar-lebarnya.
Aku meremas-remas tanganku dengan gelisah. Jangan-jangan habis ini Mama marah besar,
dan bakal melarangku ikut ekskul, atau nonton, atau suka lagi pada bulutangkis. Tapi aku harus
mencari tahu, apa alasan Mama dulu. Harus!
amu jadi atlet
Aku mencelos, dan memutar kembali ingatanku ke saat itu. Aku, berumur sepuluh tahun,
minta Mama memasukkanku ke klub bulutangkis di dekat rumah. Mama bilang nggak boleh,
tanpa memberi alasan apa pun. Dan memang saat itu aku mau ujian kenaikan kelas...
Aku tersentak dari lamunanku, dan kembali ke masa sekarang. Mama berdiri di depanku,
menatapku lekat-lekat.
nya waktu itu... setelah ujian, aku minta masuk klub,
setelah ujian selesai. Tapi waktu itu Mama kira kamu sudah hilang minat pada bulutangkis.
Aku terpaku di tempatku dengan mulut menganga lebar dan mata yang berulang kali
mengerjap. Jadi... itukah alasan Mama sebenarnya?
Hanya itu?
Dan aku mengira, impianku sudah terkubur selamanya karena nggak mendapat restu
orangtuaku, padahal Mama melarangku masuk klub hanya karena aku memintanya sebelum
ujian kenaikan kelas?
Aku meraskaan dadaku sesak. Ini tidak benar. Rasanya aku akan lebih bisa menerima kalau
Mama bilang alasannya dulu adalah karena ia menganggap bulutangkis tidak akan memberikan
masa depan yang menjanjikan bagiku, atau karena Mama lebih suka aku jadi dokter, pengacara,
Impian terbesarku hancur hanya karena aku nggak mau meminta kejelasan pada Mama dulu.
Padahal kalau saja aku melakukannya, mungkin sekarang aku...
Aku tersentak, dan mengusir air mata yang menuruni pipiku secepat kubisa dengan tangan.
-
Dan aku berlari menghambur masuk ke kamarku, nggak keluar-keluar lagi biarpun Mama
memanggilku berulang kali.
* * *
Ketika akhirnya aku keluar dari kamar untuk mencari makan karena lambungku meraung-raung,
Mama sudah siap menginterogasiku. Tapi, sebelum Mama sempat menanyakan apa pun, aku
sudah berlari ke kulkas dan mengganyang donat J.Co yang kutemukan di sana dengan rakus.
ahal tadi Mama sudah panggil-panggil kamu untuk
Aku nggak menjawab, masih terus mengunyah donatku, merasakan potongan-potongan
kacang almond di lidahku.
Mama memberi isyarat supaya aku duduk di kursi pantry, dan aku tahu, itu berarti Mama
bakal mulai bicara serius denganku.
Nggak sampai satu menit, teh hangat sudah tersaji di hadapanku. Mama membuat es teh
untuk dirinya sendiri, dan mengambil sepotong donat lagi dari kulkas.
-basi, sebelum Mama mulai menginterogasiku. Entah
kenapa, aku merasa akan lebih baik kalau aku mengulur waktu pembicaraan ini sedikit. Mungkin
dengan begitu aku bisa lebih menenangkan diriku.
lagi.
donat yang masih ada dalam mulutku dengan susah payah karena mendengar kalimat Mama itu.
tanpa semangat hidup...
Aku tercekat. Rupanya Mama memperhatikan juga semua tingkah lakuku, padahal aku sudah
berusaha sebisa mungkin agar kelakuanku tidak terlihat aneh, dan agar aku tidak diinterogasi
begini. Tapi kayaknya kejadian tadi sore di kebun sudah menggagalkan segala usahaku untuk
berpura-pura normal.
itulah yang melintas di otakku.
sama Albert.
sore, kamu nangis gitu aja setelah nanya apa alasan Mama melarangmu masuk klub bulutangkis
dulu. Itu jelas nggak ada hubungannya sama Albert. Ada apa, Aya
Dan tanpa bisa dicegah lagi, aku menangis tersedu-sedu di hadapan Mama. Kenyataan bahwa
Mama bisa menebak apa yang sedang kurasakan, bahwa aku ada masalah dan berpura-pura aku
baik-baik saja, membuat tangisku pecah.
Mama memelukku tanpa mengatakan apa-apa, hanya membelai rambutku perlahan. Aku
seperti kembali ke masa kecilku. Di saat aku ketakutan karena ada hujan petir atau teringat film-
film hantu di TV, aku selalu mencari Mama untuk minta dipeluk, dan setelah itu aku bakal
merasa aman dan tenang.
Lalu aku menjelaskan masalahku pada Mama dengan tangis sesenggukan. Aku lega bisa
bercerita, tapi terselip juga rasa takut... jangan-jangan Mama kira aku bakal menyalahkannya,
karena memang bisa dibilang dialah yang membuat cita-citaku kandas begitu saja, walau aku
sama sekali nggak menyalahkannya.
Mama terdiam beberapa saat setelah aku selesai mengeluarkan unek-unekku, dan perasaanku
makin tak keruan. Apa jadinya kalau Mama marah padaku? Mama jenis orang yang jarang
marah, tapi sekalinya ngambek, ia akan sangat susah dibujuk dan diajak berdamai.
kamu kehilangan kesempatan untuk mewujudkan impian terbesarmu.
Mama terdiam lagi, dan sedetik kemudian aku melihat air mata mengalir turun di pipinya.
Aku syok, tapi tanganku refleks mengusap air mata di pipi Mama.
dan mau bertanya lebih jauh apa alasan Mama, semua ini juga nggak bakal terjadi. Tapi
-betul cinta sama bulutangkis, Mama pasti akan
membantumu mewujudkan cita-citamu. Tapi waktu itu kamu masih kecil, dan Mama kira kamu
-pa kok. Aku memang sedih, dan rasanya hampa banget sekarang
ini. Tapi aku tahu semua yang sudah terjadi sekarang adalah yang terbaik. Tuhan pasti punya
rencana lain yang lebih indah buat aku, Ma. Jadi Mama jangan menyalahkan diri Mama sendiri,
Mama mengangguk, dan aku merasa batinku perih. Kenapa aku ini? Kenapa aku jadi seperti
memojokkan Mama? Padahal ia sudah melakukan begitu banyak hal untukku sejak aku lahir.
Dan kalaupuns ekarang aku nggak bisa jadi atlet bulutangkis seperti yang kuinginkan,
memangnya kenapa? Aku toh masih punya kehidupan yang baik, keluarga yang utuh dan
berkecukupan, tubuh yang sehat, mungkins emua yang diinginkan cewek seumuranku. Kenapa
aku harus mengeluh?
Lagi pula, jadi atlet mungkin nggak segampang dan seindah yang kubayangkan.
Indonesia Super Series 2008
SETELAH adegan curhat melodramatis yang terjadi antara aku dan Mama di pantry waktu itu,
rasa hampa di dalam diriku sedikit memudar. Bukan hilang seluruhnya, karena aku masih saja
suka cengeng mengingat cita-citaku yang nggak mungkin kuwujudkan lagi, tapi... time heals. Aku
sudah mulai bisa menerima kenyataan.
Sebagai kompensasi karena nggak mungkin lagi mengejar cita-citaku untuk menjadi atlet, aku
menenggelamkan diri dengan segala hal dan informasi tentang bulutangkis. Aku bergabung
dengan semua milis bulutangkis yang kutemui di Internet, juga dengan forum-forum pecinta
bulutangkis. Bukannya aku dulu nggak melakukan itu, tapi dulu aku sekadar join, lalu jadi
member pasif. Sekarang aku berusaha sebisaku jadi member yang aktif, termasuk ikut acara-acara
latihan bareng yang sering diadakan komunitas salah satu milis yang kuikuti.
Mama juga sekarang sangat mendukungku ikut kegiatan latihan-latihan seperti itu. Mungkin
sekarang ia ingin menyokongku masuk ke dunia yang kusukai itu, karena dulu ia tak
melakukannya. Bukan karena dulu ia tak mau, taip karena dulu Mama tak tahu aku serius soal
bulutangkis.
bisa kubeli karena harganya selangit. Raket itu Yonex ArcSaber 9
yang biasa digunakan pemain-pemain sekelas Maria Kristin dan Xie Xingfang!
Aku nyaris nggak percaya waktu suatu siang sepulang sekolah aku menemukan bungkusan
berisi raket itu di atas tempat tidurku. Rupanya Mama diam-diam menyuruh Claudia
Hebatnya lagi, Mama bahkan membelikanku raket baru, yang kuincar sejak dulu tapi belum
,
folder-folder di laptop-ku, tempat aku menyimpan banyak sekali foto dan informasi
tentang raket itu. Lalus etelah tahu raket apa yang sedang kuincar, Mama langsugn mencarinya
di toko perlengkapan olahraga, dan membelikannya untukku. Yes!
Kembali lagi ke kegiatan latihan bareng yang sering kuikuti sekarang ini. Jadi jagoan
bulutangkis di sekolah ternyata tak membuatku bisa memenangi sesi latihan yang diadakan dua
kali seminggu itu dengan mudah. Aku minim pengalaman, dan lawan-lawan yang pernah
kuhadapi paling hanya para sparring partner-ku di sekolah, sementara peserta-peserta lainnya
sudah sering berlatih bersama dan punya teknik permainan yang lebih matang. Ditambah lagi,
kebanyakan anggota latihan itu adalah bapak-bapak. Tapi mereka semua baik dan
memperlakukanku seperti anak sendiri, karena rupanya banyak juga yang memiliki anak
seumuranku. Tapi anak-anak mereka sebagian besar telah bergabung di klub bulutangkis sejak
kecil, malah banyak yang sekarang sudah ikut event-event ke luar negeri, dikirim oleh klub-klub
tempat mereka bernaung.
Ada suatu kali aku iri sekali mendengar cerita Pak Yoso, yang anaknya dikirim mengikuti
International Challenge ke Paris oleh klub bulutangkis tempatnya bergabung, tapi aku
memendam rasa iri dan mupengku itu kuat-kuat. Baru setelah aku pulang dan sendirian di
kamar, aku tenggelam dalam tangis. Aku terus saja kepikiran, seandainya aku dulu masuk klub,
apakah aku bisa dikirim ikut turnamen-turnamen sampai ke luar negeri juga? Tapi aku tahu, itu
pemikiran yang bodoh. Nggak ada gunanya aku terus memikirkannya sekarang, toh itu nggak
bakal mengubah apa-apa. Hanya membuatku nggak bersyukur saja.
Tanpa kurasa, hari demi hari berlalu, dan tiba-tiba saja Djarum Indonesia Super Series sudah
di depan mata. Kali ini aku excited luar biasa menunggu event itu berlangsung, karena sekarang
sudah nggak ada lagi pacar bawel yang bakal mengomeliku jika aku tiap hari menyatroni Istora
untuk nonton bulutangkis. Dan Mama pun nggak akan cerewet lagi jika aku pulang malam garagara
nonton bulutangkis. Mama malah memberiku uang jajan lebih supaya aku bisa beli tiket
kelas VIP untuk babak semifinal dan final. Horeeee!
* * *
Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Aku berniat nonton Indonesia Super Series
ini mulai dari hari pertama. Pokoknya, aku nggak boleh kelewatan sedikit pun. Bakal menyesal
sampai nenek-nenek nanti!
Banyak orang yang baru akan nonton pertandingan kelas dunia saat sudah menginjak babak
semifinal atau final. Menurutku itu salah besar, apalagi kalau tujuan nontonnya adalah bisa
ketemu atlet-atlet terkenal untuk minta tanda tangan atau foto bareng. Di babak-babak puncak,
seperti semifinal dan final, biasanya pengamanan bagi atlet bakal sangat ketat, dan akan makin
susah menjangkaunya. Sementara kalau masih babak kualifikasi dan penyisihan, belum banyak
yang datang menonton, pengamanan pun jadi sedikit longgar. Kebanyakan atlet top yang sudah
selesai bertanding nggak langsung balik ke hotel, tapi tetap di Istora untuk menonton rekanrekan
atau calon lawannya bertanding. Dan saat itulah mereka paling mudah untuk didekati!
Plus, mereka juga bakal bersikap super-ramah, karena sedang dalam suasana santai. Lain
ceritanya kalau mereka diburu saat akan bertanding di semifinal atau final. Jelas saat itu mereka
nggak akan menggubris, karena ingin fokus ke pertandingan penting yang bakal mereka hadapi.
Aku jenis pecinta bulutangkis yang nggak terlalu menggilai atlet-atletnya, lain dengan
Sharleen yang tergila-gila pada Simon Santoso dan Lee Yong Dae, pemain ganda putra Korea,
atau seperti si Wilson yang pecinta berat tunggal putri China, Zhu Lin. Aku menggilai
bulutangkis sebagai satu keseluruhan. Soalnya, menurutku nih ya, kalau kita menggilai atlet
tertentu, mungkin rasa suka kita pada bulutangkis bakal memudar jika si atlet pensiun atau
prestasinya mendadak jeblok. Itu sudah terbukti pada kasus Tante Sissy dan Tante Wenny
dengan Ricky Subagdja, hehe. Lain ceritanya kalau aku benar-benar suka pada bulutangkis.
Biarpun pemain-pemain lama pensiun dan muncul pemain-pemain baru, aku bakal tetap suka
bulutangkis. Bukannya aku nggak punya atlet favorit. Aku suka Lilyana Natsir, Maria Kristin,
dan Greysia Polii, tapi itu sebatas pemain favorit aja, karena aku suka gaya permainan mereka.
Aku tetap suka bulutangkis sebagai satu keseluruhan.
Hari pertama itu aku datang bareng Sharleen ke Istora. Wilson dan Charles beranggapan hari
ini belum akan seru karena masih babak kualifikasi, jadi mereka nggak ikut.
Aku dan Sharleen sampai di Istora jam dua siang, dan hanya tersisa beberapa pertandingan
yang bisa kami tonton, karena babak kualifikasinya sendiri sudah dimulai sejak jam sepuluh pagi
tadi. Pertandingan hari ini kebanyakan antar sesama pemain Indonesia yang memperebutkan
tiket ke babak utama. Banyak pemain yang bahkan harus bertanding dua kali hari ini, pada sesi
pagi dan sesi sore, karena meskipun peserta babak kualifikasi banyak, panitia hanya
menganggarkan satu hari saja untuk babak ini. Jadi kasihan juga sama pemain-pemain yang
bertanding dua kali dalam sehari itu. Tapi mereka memang dilatih untuk menjadi atlet andalan.
Stamina mereka benar-benar memungkinkan untuk bertanding dua kali sehari. Kalau aku sih
mungkin sudah teler.
Hari kedua aku datang ke Istroa sambil, tentu saja, membawa tim penggembiraku. Kali ini
anggotanya lengkap, mulai dari Sharleen, Wilson, Charles, sampai Pak Richard pun ada. Dan
ada tambahan satu anggota lagi kali ini: Claudia. Aku nggak tahu pasti apa alasannya ikut. Dia
sih bilang kepingin ngerti tentang bulutangkis juga, tapi aku dapat bocoran dari Sharleen bahwa
Claudia ikut hari ini karena dia bernafsu sekali kepingin foto bareng Simon Santoso. Claudia
ingin memamerkan foto itu ke teman-temannya, terutama musuh abadinya, Amelia.
Ya ampun, anak itu... benar-benar anak yang aneh!
Berhubung turnamen ini diselenggarakan di negeri sendiri, yang berarti nggak perlu
mengeluarkan biaya transportasi dan akomodasi yang besar, Indonesia menurunkan banyak
sekali atletnya, termasuk para atlet nonpelatnas yang tergabung dalam salah satu klub
bulutangkis besar Indonesia, PB Djarum. Aku benar-benar senang, karena semakin banyak wakil
Indonesia, berarti semakin besar peluang Indonesia untuk juara! Nggak peduli deh pemain
Indonesia mana yang nantinya meraih gelar juara, yang penting orang Indonesia.
Aku sudah cukup pengalaman untuk nggak membeli tiket VIP untuk babak kualifikasi dan
penyisihan. Ngapain gitu lho, secara pas dua babak awal itu kan belum banyak penonton, jadi
yang beli tiket tribun pun bisa diam-diam duduk di bangku VIP karena nggak ada penjaga yang
mengawasi.
Tapi hmm... kok tumben ya tiket babak kualifikasi dan penyisihan tahun ini dijual? Indonesia
Super Series tahun-tahun sebelumnya nggak pernah tuh menjual tiket kualifikasi dan penyisihan.
Tiket yang dijual baru tiket babak perempat final ke atas. Tapi mungkin ini karena pengaruh
Thomas-Uber Cup yang mahadahsyat kemarin, yang menghadirkan animo luar biasa, makanya
panitia menduga Indonesia Super Series kali ini pun bakal dijubeli penonton, hingga akan
menguntungkan kalau menjual tiket mulai babak-babak awal.
Aku baru saja mendaratkan bokongku di bangku Istora yang keras dan bersiap menonton
pertandingan antara Adrianti Firdasari dan Hwang Hye Youn dari Korea, waktu HP-ku
berbunyi. Ada SMS.
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Nonton Indo SS gak? Ato masih dihukum cwo lo?
Aku mesam-mesem membaca SMS itu. No way, Shen, gue sekarang udah nggak punya pacar
bawel yang bakal melarang-larang gue memuaskan kegilaan pada bulutangkis lagi!
To: Shendy-wartawan Shuttlers
Ntn dong! Gw udh pts sm cwo tengil itu, i’m free! :D Ini gw lg di
istora. Lo dmana, kok ga kliatan?
selesai membalas SMS Shendy. Tangannya menuding ke player area di seberang tempat kami
duduk.
menoyor Claudia pelan.
-goyangkannya dengan gaya
yang sangat menyebalkan. Persis gaya Lio minta dibelikan es krim kalau kami sedang di
supermarket.
card
nggak mendapatkan jawaban sesuai yang diharapkan dariku, Claudia beralih menanyai Sharleen.
Dasar anak rese!
card bakal langsung
manja semakin
menjadi-jadi. Bikin aku bete setengah mati.
duduk-duduk di tribun. Nah, kita bisa nyamperin pas itu. Atau nanti deh gue minta tolong
temen gue yang
ultimatumku.
Aku melengos. Dasar, kalau ada maunya aja, baru deh dia muji-muji!
-sebut tadi.
-
Aku membuka SMS yang baru masuk, dan ternyata benar dari Shendy.
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Thank GOD! Hehehehehe. Gue di pinggir court 2 nih, kliatan gak?
Masih kerja, ntr ye ketemuan. Sharleen dll ikt ga?
To: Shendy-wartawan Shuttlers
Gpp, gw jg bersyukur kok :p hoo iya, beres deh. Ntr ya ktmuan.
Sharleen cs ikut kok. Ada adk gw jg nih. Dia ngebet pgn ft sm simon.
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Blg ama ade lo, tgguin aja simon hbs main, ntr jg dia duduk di
tribun, samperin deh! ;) Atau kl bs, nanti gw bantu deh..
Aku menunjukkan SMS terakhir Shendy pada Claudia, yang langsung membuatnya
belingsatan kesenangan kayak orang kena serangan cacing kremi.
Yes,
gue bakal foto sama Simon Santoso, yeeess
tinggi-tinggi, sampai beberapa penonton yang duduk di dekat kami menoleh. Ya ampun, anak
ini beneran bikin malu deh! Tahu begini, tadi nggak kubolehin ikut.
ikit
campuran malu karena kami jadi bahan tontonan akibat tingkah konyol Claudia barusan.
maksudnya? Shar, maksudnya a
sekarang juga ikut cekikikan karena melihat wajah bingungnya.
dicekokin ginseng mulu sama pelatihnya. Indonesia Super Series kali ini dia nggak datang,
tawaku makin pecah.
soalnya kali ini Korea
cuma ngirim pemain-
Claudia ber--ria, sementara aku berteriak kesal karena melihat Firdasari baru saja kalah
dari Hwang Hye Youn di lapangan. Aduh! Hari ini saja sudah banyak sekali tunggal putri
Indonesia yang kalah. Mulai dari Maria Febe, Rosaria Yusfin Pungkasari, Maria Elfira, sampai
Firda. Mana nanti Maria Kristin bakal melawan Pia Zebadiah, yang berarti hanya akan ada satu
tunggal putri Indonesia yang tersisa di putara dua besok, hiks...
-lagi mengusikku. Dia nggak lihat
apa kalau aku lagi bete karena tunggal putri Indonesia sudah pada rontok semua? Masih mau
menggangguku dengan segala celotehan nggak pentingnya???
Claudia menunjuk seorang cowok yang sedang bermain ganda putra di lapangan tiga, dan
tanpa perlu memutar otak pun aku sudah bisa memberikan jawabannya.
Aku memutar bola mataku dengan kesal. Claudia ini, dia sebenarnya datang ke sini mau
ngecengin cowok-cowok atlet yang bertanding ya? Sialan! Seharusnya aku bisa menebak
motivasinya itu sejak awal.
Semua cewek maniak bulutangkis seperti aku dan Sharleen pasti kenal nama Edward Satria,
salah satu pemain ganda putra paling hebat yang pernah dimiliki Indonesia periode tahun 2000an.
Waktu itu Edward bersama pasangannya, Antonius Sujudi, menguasai hampir semua gelar
juara turnamen yang ada. Satu-satunya yang bisa menandingini mereka hanya ganda putra
Indonesia lainnya, Candra Wijaya/Tony Gunawan. Edward/Antonius berhasil menyabet tiga
gelar juara dunia berturut-turut, dan mungkin merekalah yang bakal menyabet emas di
Olimpiade Sydney 2000 kalau bukan karena cedera lutut parah yang dialami Antonius beberapa
minggu sebelum Olimpiade dihelat, yang membuat impian mereka untuk ikut dalam pesta
olahraga paling bergengsi sejagat itu kandas. Emas Olimpiade Sydney untuk ganda putra
akhirnya jatuh ke tangan kompatriot mereka, Candra/Tony.
Edward Satria dan Antonius Sujudi sekarang sudah pensiun, dan memilih karier sebagai
pelatih di Pelatnas Cipayung. Salah satu anak didik Edward adalah adik bungsunya sendiri,
Edgar, yang sedang bertanding sekarang ini.
Bukan rahasia lagi, dalam bulutangkis banyak kakak-beradik yang terjun bersama. Seperti
Indra, Candra, dan Rendra Wijaya. Juga Alan Budikusuma dan Johan Hadikusuma. Edward dan
Edgar Satria juga seperti itu, plus satu lagi saudara tengah mereka, Evelyn. Hanya saja, prestasi
Evelyn nggak berkembang seperti kakaknya, sehingga ia memutuskan berhenti di tengah jalan.
Sekarang yang tersisa hanya Edgar, dan dia pun belum menunjukkan prestasi berarti. Tapi aku
maklum, karena Edgar masih muda. Kalau nggak salah, satu-dua tahun di atasku, tapi di bawah
didikan kakaknya, aku berani bertaruh, player one day. Cuma masalah waktu
aja.
Aku memperhatikan permainan Edgar dan partnernya, Steven Hardono, yang sedang
melawan pasangan junior Malaysia yang nama di punggungnya tak bisa kulihat, karena
punggung mereka menghadap tribun seberang. Permainan Edgar/Steven mirip permainan
Markis Kido/Hendra Setiawan. Steven yang bertubuh pendek lebih aktif di garis belakang,
mengembalikan bola-bola tinggi dengan smash tajam, sementara Edgar yang tinggi justru
ditempatkan di depan net, untuk mematikan bola tanggung yang tak bisa dikembalikan dengan
sempurna oleh lawan akibat smash dari Steven.
Edgar/Steven bermain kompak, sampai-sampai aku terpesona meliahtnya. Seolah melihat
Ricky/Rexy truun kembali ke lapangan bulutangkis, hanya saja dengan semangat dan jiwa yang
lebih muda. Dan sudah jelas, siapa yang bakal menjadi penerus Markis Kido/Hendra Setiawan
jika mereka lengser nanti...
Mulutku terbuka dan mengatup seperti ikan mas koki sepanjang melihat Edgar dan Steven
bermain. Claudia, Sharleen, Charles, Wilson, sampai Pak Richard juga sama terpesonanya.
Claudia bahkan nggak lagi menggubris Simon Santoso yang sudah mulai bermain di lapangan
sebelah!
Pasangan Malaysia dibuat keteteran setengah mati oleh Edgar dan Steven. Skill kedua
pasangan itu sebenarnya berimbang, tapi bola-bola mati di depan net selalu dengan cepat
diserobot oleh Edgar, membuat bola tak bertahan lebih dari tiga kali pukulan sejak serve dan
akhirnya mati di bidang permainan lawan.
olong ya, orang di Pelatnas itu latihan dan menimba ilmu biar bisa berprestasi di luar
negeri dan mengharumkan nama bangsa, bukannya ngabisin waktu dengan ngecengin temen
-kata Claudia yang menyebut-nyebut
-ujungnya selalu berakhir dengan situasi
yang menguntungkannya. Minta ampun!
latihan, mata harus tetap waspada ngelirik yang ganteng
mesum.
Aku menirukan gaya orang muntah demi melihat lagak adikku yang nggak normal itu.
segala celotehan aneh Claudia.
Aku mengertakkan gigiku diam-diam, nggak tahu apa aku seharusnya mengomel atau
bersyukur karena ketertarikan mendadak Claudia pada bulutangkis ternyata semata dipengaruhi
keberadaan Edgar Satria dan Simon Santoso.
-
Claudia, dan dia jadi kelihatan sedikit bete. Tiket putaran kedua besok harganya pasti lebih
mahal. Hari ini sih Claudia kubayari, tapi besok? Tak usah yee!
memberitahuku, sambil menunjuk pemain-pemain yang masuk ke lapangan tiga setelah Edgar
dan Steven cabut dari sana.
Untunglah, masih ada Sharleen yang menjagaku tetap waras dan ingat tujuan utamaku datang
ke Istora ini yaitu untuk nonton pertandingan bulutangkis
di
tengah kegilaan yang
disebabkan oleh Claudia.
* * *
Kami naik taksi tadi, karena sudah nggak ada busway lagi malam-malam begini. Tapi
untungnya, karena sudah larut, lalu lintas jadi lengang dan taksi bisa melaju mulus serta argonya
nggak melonjak selangit ketika sampai di rumah kami. Kalau macet, kebayang nggak berapa
uang yang bakal kami keluarkan untuk naik taksi dari Senayan ke Bintaro?
sedang berdiri sambil mengucek-ngucek matanya di sebelahku, kelihatan ngantuk berat.
-nanya mulu kayak anak tiga tahun, bikin orang nggak konsen nonton aja!
Udah gitu, dikit-
mengadu.
kalau dia na
in memang seperti itulah aku.
-tiba. Mata sipitnya yang tadi tinggal lima watt sekarang
melotot semampu yang bisa dilakukannya, bikin aku kaget setengah mati.
anya Mama bingung.
Hah, aku sudah bisa menebak siapa yang dimaksudnya!
-api.
Satria kan pemain lama, Claud... Dia udah tua, kok kamu masih bilang dia keren sih? Kamu
suka sama oom-
yang Cl
jelasku.
lama yang sudah oom-oom, hehe... Tapi emang bener ganteng ya Aya, si Edgar itu?
not bad
not bad
Aku mengembuskan napas dan memutar bola mataku. Kayaknya aku memang nggak
seharusnya membawa Claudia ke Istora tadi siang.
* * *
Hari ketiga Indonesia Super Series, alias memasuki putaran kedua, aku dan tim hura-huraku
kembali datang dengan kekuatan penuh. Sebelum masuk Istora tadi aku janjian ketemu dulu
dengan Shendy, karena kemarin rencana ketemuan kami batal karena dia harus mengejar
beberapa pemain Denmark untuk diwawancarai, sementara aku nggak bisa menunggu gara-gara
Claudia udah ngantuk dan merengek terus minta pulang secepatnya.
Huh, aku rasa itu karena Edgar Satria sudah nggak kelihatan lagi batang hidungnya, dan
pesona Simon Santoso di mata Claudia sudah hilang total akibat Edgar. Jadi Claudia merasa
nggak punya alasan lagi untuk berlama-lama di Istora.
satu per satu, yang mereka balas dengan ramah, sebelum akhirnya tatapannya berhenti pada
Claudia, yang baru kali ini dilihatnya.
i Claudia untuk bikin malu lagi hari ini,
sebenarnya aku lebih senang nggak mengakui dia sebagai adikku, tapi... ya sudahlah, daripada dia
nanti ngadu ke Mama, bakal berabe! Mana tadi Mama sudah mewanti-wanti aku supaya menjaga
Claudia baik-baik. Mama juga ngasih aku uang tambahan untuk beli tiket masuk plus ongkos
transport plus uang makan si Claudia tengil ini! Ck! Kayak mengajak anak umur tiga tahun
jalan-jalan saja. Plis deh, Claudia kan udah empat belas tahun!
dengan gaya yeah-yang-bener-aja. Sharleen cekikikan di belakangku.
image palsunya
di
Shendy ngakak, jenis respons yang sama sekali nggak kuduga.
incaran ABG-
asal.
-eh. Lo nggak lihat permainannya kemarin?
incaran ABG-
asal.
-eh. Lo nggak lihat permainannya kemarin?
Aku mengangguk, karena di luar rasa beteku gara-gara hormon feromon Edgar yang
menyembur berlebihan pada Claudia kemarin, aku tetap bisa melihat bahwa cowok itu memang
bisa bermain bulutangkis.
Ya iyalah. Kalau nggak, mana mungkin dia diturunkan di turnamen sekelas Indonesia Super
Series ini! Aku menertawai cara pikirku sendiri tadi.
kata temen lo! Insting gue akan cowok hebat memang nggak bisa
emarin,
Aku manggut-manggut.
Claudia tiba-tiba menyikutku, sambil memberi isyarat dengan matanya pada Shendy. Aku
mengernyit, tapi lalu sadar apa yang dimaksud Claudia. Kemarin kan Shendy bilang, kalau bisa,
dia bakal bantu Claudia supaya bisa foto bareng Simon Santoso. Tapi hmm... aku yakin yang
jadi target sasaran adikku untuk foto bareng hari ini pasti sudah berubah.
-nyengir nggak penting.
sudah kuduga itu. Aku tadi memang sengaja menyebut nama Simon dnegan slow motion, biar
Claudia sendiri yang meralat kata-kataku.
janji, ya? Atlet itu kan kayak
artis, kadang susah ditemuinya. Udah gitu, keramahan atlet sering tergantung mood. Yah, lo
doain aja Edgar menang hari ini, biar mood-
gat. Aku, lagi-lagi, cuma bisa
menghela napas melihat tingkah tengil adikku itu.
* * *
Doa Claudia terkabul. Edgar dan Steven menang, melaju ke perempat final setelah
mengandaskan pasangan Jepang di pertandingan yang mereka lakoni tadi.
Pertandingannya sendiri lumayan alot, dan karena pasangan Jepang itu seusia Edgar dan
Steven, mereka juga punya stamina yang sama luar biasanya. Tapi, Edgar dan Steven benar-benar
layak diandalkan di masa depan, karena meski berada di posisi terjepit karena kalah lebih dulu di
set pertama, mereka justru bisa merebut dua set berikutnya, dengan mengandalkan banyak
penempatan bola yang akurat.
Satu hal yang bisa kulihat dengan jelas adalah, ketika pasangan Jepang mulai berada di bawah
tekanan dan makin banyak melakukan kesalahan sendiri, Edgar/Steven justru makin tenang dan
terkontrol. Emosi mereka terkendali, dan satu demi satu poin berhasil diraih hingga akhirnya
mereka berhasil memenangi pertandingan tadi.
itu pertandingan
berakhir. Kali ini aku ikut nyengir senang. Rasa nasionalismeku, yang memang selalu fanatik
akan pemain Indonesia, menyeruak ke permukaan.
mood
Claudia sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya dengan tak sabar.
-nya juga nggak langsung ngacir begitu selesai tanding kayak
Claudia
kemarin? Kalau dia ngabur begitu selesai main, mampus deh gue! Kapan gue bisa foto
-
Claudia menggebuk punggungku keras, sukses membuatku meringis menahan sakit. Ya
ampun, dia nggak nyadar apa tangannya itu segeda tutup tong sampah? Digebuk pakai tangan
segede itu membuat punggungku langsung mati rasa!
-
eh malah manas-manasin. Padahal lo juga
Claudia nggak menjawab, lebih karena nyadar ia sudah sekakmat gara-gara kalimat
ngawurnya tadi. Dasar tukang ngaco, aku kan nggak pernah bilagn seperti yang diocehkannya
tadi itu!
Dan akhirnya, sepanjang sisa waktu kami duduk bersebelahan di tribun Istora itu, aku
mendiamkan Claudia. Dia nggak berani mengusikku lagi, dan hanya duduk dengan tampang
bosan karena setelah bertanding ternyata Edgar Satria duduk di player area, area terlarang bagi
orang yang tak punya ID card. Itu berarti Claudia nggak bisa nyamperin Edgar untuk minta foto
bareng.
* * *
-i pada Sharleen yang berjalan menuju pintu keluar -i pada Sharleen yang berjalan menuju pintu keluar
Istora karena ia sudah dijemput. Pak Richard sudah pulang duluan, disusul Charles dan Wilson
yang bawa motor sendiri-sendiri. Jadi sekarang tinggal aku dan Claudia, menunggu Papa yang
akan menjemput kami tapi masih terjebak macet di tengah jalan. Aku dan Claudia terpaksa
menunggu lebih lama, sementara teman-temanku sudah pulang semua.
HP-ku berbunyi. Aku melihat nama yang berkedip-kedip di layar. Shendy.
-celinguk karena melihat hanya aku
dan Claudia yang tersisa.
Shendy berjalan di depanku, menuju ke arah ia datang tadi, sementara aku dan Claudia
mengekor di belakangnya. Ternyata Shendy membawa kami ke dekat tempat parkir beberapa
bus. Di dekat kami ada sebuah pintu yang kelihatannya menuju bagian belakang Istora.
ada di situ. Ada beberapa orang di sekitar kami yang sedang asyik mengobrol. Kelihatannya
mereka panitia dan pekerja media, karena mereka semua pakai ID card.
Aku baru saja hendak duduk di tembok pembatas di sebelah Shendy, waktu kulihat ada sosok
yang berjalan keluar dari pintu dan menuju bus.
Wow, Greysia Polii!
melambai, sebelum akhirnya celingak-celinguk dan nyadar Greysia melambai pada SHENDY,
bukan aku. Aku bisa mendengar Claudia cengengesan melihat aku yang kege-eran. Dasar anak
sialan!
kalau dilihat dari dekat begini. Putih, cantik, imut-imut.
keakraban mereka. Kayaknya Shendy sudah kenal baik dengan Greysia.
kalau gitu. Gue balik duluan, ya? Take care!
Greysia melambai lagi pada Shendy, dan tersenyum pada aku dan Claudia, lalu berjalan
memasuki salah satu bus yang diparkir di dekat kami. Rupanya itu bus khusus yang bakal
membawa atlet dan ofisial kembali ke hotel! Dan pintu yang ada di dekat kami ini pintu khusus
untuk keluar-masuk atlet, panitia, ofisial, dan orang-orang lainnya yang memiliki ID card! Wow,
kenapa aku nggak bisa menebaknya dari tadi?
Aku baru mau bilang sesuatu ke Shendy, waktu pintu di dekat kami membuka lagi, lalu
keluar Maria Kristin! Astaga, Maria Kristin asli! Aku belum pernah melihatnya dari jarak sedekat
ini!
Lagi-lagi aku melongo hebat, karena sama sekali nggak menyangka Maria Kristin juga kenal
Shendy.
dy mengulurkan tangannya, yang dibalas
oleh Maria.
But thanks, anyway
Good luck
Sama seperti Greysia, Maria juga akhirnya melambai pada Shendy dan berjalan memasuki
salah satu bus yang ada di dekat kami, bus yang sama dengan yang dimasuki Greysia tadi.
Sebelum kalimatku selesai, orang yang nyaris kuucapkan namanya muncul.
Oh-my-God dar aku melongo.
Edgar Satria sedang berjalan ke arah kami, dan dia ternyata naujubile gantengnya kalau dilihat
dari jarak sedekat ini!
serangan rasa iri menghantamku. Padahal tadi Shendy juga disapa Greysia Polii dan Maria
Kristin, dua pemain bulutangkis yang bisa dibilang paling kuidolakan, tapi aku sama sekali nggak
merasa iri. Hanya karena Edgar menyapa Shendy saja...
congrats ya udah menang tadi. Besok perempat final Super
Edgar mengangguk, senyum lebar mengembang di wajahnya, membuat Claudia yang berdiri
di sebelahku makin terbengong-bengong saking terpesonanya.
Ya ampun! Pantes aja Claudia ngebet banget pengin foto bareng cowok satu ini. Senyumnya
itu lho! Ganteeeeeeng banget!
Shendy.
.
file drawing pertandingan di otaknya,
aku merasakan serangan iri yang tadi
-baik ya, lawan lo besok Zakry Abdul Latif sama Fairuzizuan
-made in
file drawing pertandingan di otaknya,
aku merasakan serangan iri yang tadi
-baik ya, lawan lo besok Zakry Abdul Latif sama Fairuzizuan
-made in
dan aku yakin, cewek secuek apa pun yang melihatnya saat ini, pasti akan langsung leleh di
tempat!
-Uber Cup masih dibawa-
Kami semua menoleh, dan melihat Steven Hardono muncul dari dalam Istora.
dan setelah menyapa Shendy (ya ampun, cewek satu ini benar-benar kenal semua pemain
bulutangkis!), Steven masuk lagi ke Istora.
ia menawarkannya pada Shendy.
ngambil sepotong dari dalam kotak, dan aku
bisa melihat kotak kue itu ternyata berisi martabak.
menatapnya, plus nggak nyangka ia bakal menawariku makanan padahal bisa dibilang kami
nggak saling kenal, aku justru menolak martabak itu dengan tergagap-gagap.
Edgar akhirnya berkeliling menawarkan martabak pada orang-orang yang kebetulan berdiri di
sekitar kami, dan semuanya menerima makanan gratis itu dengan riang gembira. Aku jadi
tertawa geli di dalam hati. Cowok ini lucu ya. Sebenarnya dia pemain bulutangkis atau seksi
konsumsi sih?
Tapi beberapa menit kemudian aku terbengong-bengong lagi, karena Edgar sudah selesai
menawarkan martabak pada semua orang di sekitar kami, dan ia kembali menawariku!
Aku menggeleng lagi.
-
Akhirnya dia menyerah juga, dan beralih menawari Claudia. Aku masih senyam-senyum
sendiri melihat tingkah Edgar. Benar kata Shendy, Edgar benar-benar cowok yang ramah!
kepalanya ke arahku, setelah Edgar membuang kotak martabaknya yang sudah kosong ke tempat
sampah, dan mendadak aku jadi panas-dingin.
selama beberapa detik sebelum akhirnya tersadar karena disikut Claudia, dan menyambut uluran
tangan Edgar.
Astaga, dia tahu arti namaku! Dia tahu! Ya ampun ya ampun ya ampuuuun!
Edgar tersenyum lagi, tapi kali ini rasa kecewa menyelip muncul di diriku. Bukannya aku
sombong atau apa, tapi selama ini kalau ada cowok yang mengajakku kenalan, mereka pasti akan
sedikit menggombal setelah aku menyebutkan namaku. Kebanyakan bilang bahwa namaku
cantik secantik wajahku, atau gombal lainnya yang sejenis itu. Tapi Edgar, yan gbahkan bisa
menebak arti namaku, justru nggak memuji sama sekali. Ia cuma tersenyum manis.
adikku
tanpa babibu lagi.
tangan Edgar.
Aku membuka menu kamera di HP Claudia, lalu memotret Claudia dan Edgar dua kali.
Aduuuuh, kok tiba-tiba aku jadi kepingin foto bareng Edgar juga ya?
kembali HP-nya dari tanganku, dan sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata pun, ia
setengah mendorongku, sampai aku berdiri persis di sebelah Edgar.
berusaha memotretku dan Edgar. Aku berusaha melirik Claudia dengan jenis tatapan awas-lo-yahabis-
ini-lo-nggak-bakal-selamat, tapi Claudia menghindari tatapanku terus. Ya ampun, aku
grogi banget nih berdiri di sebelah Edgar!
menyempilkan dirinya di antara aku
dan Edgar, benar-benar agresif! Aku jadi nggak punya kesempatan untuk mengomelinya.
Claudia mengajak Edgar ngobrol-ngobrol sebentar, dan aku cuma bisa menyimak obrolan
mereka setengah-setengah, karena lidahku terlalu kelu untuk digerakkan sejak aku ada di dekat
cowok yang satu ini. Aneh banget! Kemarin dan hari ini aku juga melihatnya di lapangan, tapi
rasanya biasa aja... Kenapa setelah dia berdiri di depanku begini aku jadi terpesona banget ya?
Setelah kira-kira setengah jam mengobrol dengan Edgar, diselingi melihat Vita Marissa,
Hendra Setiawan, dan Jo Novita, yang semuanya masuk ke dalam bus atlet setelah menyapa
Shendy dengan ramah (anak ini bener-bener populer di kalangan atlet bulutangkis Indonesia!
Semua atlet top mengenalnya!!!), HP-
Aku mengangkat telepon, Papa bilang ia sudah sampai, dan menyuruhku serta Claudia untuk
ke pintu depan.
Edgar.
Claudia kelihatan nggak rela ketika aku setengah menyeretnya menuju gerbang depan. Jelas,
dia masih mupeng ngobrol-ngobrol sama Edgar sekaligus ngeliatin wajah ganteng cowok itu.
Tapi kan kasihan Papa kalau kelamaan menunggu kami.
Namun, ketika sudah menjauh beberapa meter dari Edgar, aku merasakan sesuatu yang aneh
di hatiku... Perasaan senang dan bahagia yang sempat hilang sejak aku sadar aku nggak bisa
mewujudkan cita-citaku lagi sekarang menyeruak di dalam diriku, dalam dosis yang sangat
besar.
Dan aku yakin, perasaan senang dan bahagia itu ada hubungannya dengan Edgar Satria.
* * *
-seri. Kelihatannya lagi bah
yang terpantul di sana. Hmm... memang wajahku kelihatan beda dari biasanya. Benar kata
Adisty, aku kelihatan bahagia.
-
-
-n menyimpan
nya.
Yeah, we got Bu Irma for first period today. What a nice day!
Aku menelan ludah dengan susah payah. Bahagia orang jatuh cinta, katanya?
tehe. Makanya gue nanya sama lo, Neng! Ada gebetan baru, ya? Siapa nih? Gue
dengan mengeluarkan buku teks fisika juga dari tasku.
--ngedipkan matanya
dengan ganjen.
-
lengkap dengan bunyi ketok-agi ini kita akan ada kuis. Simpan
Kehebohan yang menyerang kelasku sesudah pemberitahuan dan perintah itu bercampur
antara protes akan adanya kuis dadakan dan dengung kekhawatiran mereka yang nggak yakin
bakal dapat nilai bagus. Tapi untuk pertama kalinya, aku bersyukur Bu Irma bikin kuis dadakan,
karena itu berarti aku selamat dari rentetan interogasi Adisty. Walaupun untuk kuis kali ini aku
bakal dapat nilai jelek karena sama sekali nggak mengerti materi dari pelajaran-pelajaran
sebelumnya, tapi biar deh... Toh selama ini nilai fisikaku memang nggak pernah bagus.
sedetik setleah aku mengembuskan napas lega karena mengira sudah lolos dari jeratannya.
Aduh sial, bego banget aku mengira ia bakal melepaskanku!
* * *
Tapi ternyata, aku bisa lepas dari ancaman interogasi Adisty.
Setelah kuis fisika, dia jadi stres parah karena nggak bisa mengerjakan satu pun soal, dan
karena itu lupa menginterogasiku lagi.
Adisty jenis orang yang jika punya masalah akan terus kepikiran. Dia juga termasuk segelintir
murid yang peduli banget sama nilai-nilai pelajarannya. Jadi, sekali dia berpeluang dapat nilai
jelek, pikiran itu akan terus menghantuinya.
yang sudah pulih dari trauma pasca kuis fisikanya, tapi ternyata Sharleen.
ngkahku menuju kantin. Yang
dimaksudnya tentu ingin bareng ke Istora untuk nonton Indonesia Super Series lagi nanti sore.
-
apa yang terjadi di Istora semalam setelah Sharleen pulang.
Sharleen melotot, dan mulutnya ternganga lebar. Aku sama sekali nggak
menyangka reaksinya bakal begitu heboh.
kelihatan gemas sendiri.
elepon, dia ngajak gue ke elepon, dia ngajak gue ke
belakang Istora, dan kami ketemu atlet-atlet yang mau naik bus buat balik ke hotel. Terus ada
Edgar, ya udah... ngobrol-
o udah pernah ngobrol sama beberapa atlet juga,
yang bisa dibilang lebih top dan senior dibanding Edgar, kenapa sekarang lo jadi ngiri sama
Aku memutar bola mataku. Ternyata feromon Edgar memang luar biasa ampuhnya. Bukan
hanya Claudia yang klepek-klepek dibuatnya, tapi juga Sharleen! Padahal Sharleen bahkan belum
sempat melihat cowok itu dari dekat dan mengobrol dengannya seperti yang kualami kemarin.
ari dekat lebih ganteng, ya? Orangnya baik nggak? Terus, lo ngobrol
-satu nih. Dia memang lebih ganteng sih kalau dilihat dari dekat.
Orangnya juga baiiiik banget. Kami ngobrolin macem-macem, dan ternyata hari ini tuh
Challenge
Aku mengangguk. Kemarin Edgar memang cerita bahwa ia baru ikut tiga turnamen Super
Series: Malaysia, Singapura, dan Indonesia Super Series ini. Sebelumnya ia hanya turun di
turnamen-turnamen yang kelasnya di bawah SS, seperti International Challenge atau Grand Prix.
dan di dua SS sebelum ini ia selalu gugur di putaran kedua, jadi berhasil menembus babak
perempat final kali ini sudah jadi prestasi yang bagus banget.
-
-kata Shendy kemarin.
-eh. Kemarin malah Edgar bilang Zakry/Fairuz itu Lee Yong Dae/Jung Jae Sung made in
Malaysia
-
Aku mengangguk setuju, teringat penampilan Lee Yong Dae di Thomas Cup bulan lalu, yang
membuatku meledeknya dicekoki-ginseng-setiap-hari saking energik dan primanya dia di
lapangan.
* * *
Aku dan Sharleen langsung meluncur ke Istora sepulang sekolah. Claudia yang kemarin bernafsu
untuk ikut, mendadak batal karena dia lupa seharusnya hari ini dia nonton Nidji taping acara By
Request di SCTV. Hehe, ternyata Edgar pun belum sanggup mengalahkan Nidji di mata Claudia.
Banyak pemain Indonesia yang bakal berlaga hari ini, tapi jelas, yang paling kutunggu
adalah... Edgar.
Nggak tau kenapa, sejak ngobrol-ngobrol sama dia kemarin, aku jadi seperti ketagihan untuk
ketemu dan ngobrol sama dia lagi. Edgar itu... gimana ya jelasinnya, sangat menarik. Terlepas
dari wajah gantengnya lho ya. Dia enak diajak ngobrol, ramah, lucu, seru, sampai kemarin aja
aku merasa agak nggak rela ketika harus pulang. Rasanya masih kepingin ngabisin waktu bareng
Edgar.
Jam empat tepat, partai yang mempertandingkan Edgar Satria/Steven Hardono melawan
Fairuzizuan Tazari/Zakry Abdul Latif dimulai. Di set pertama kekuatan mereka terlihat
berimbang. Sama-sama pasangan muda dan penuh semangat, pertandingan ganda putra yang
saut ini dibanjiri smash keras yang dilancarkan bergantian oleh kedua kubu. Seolah pertandingan
ini memperebutkan gengsi siapa ganda putra yang bakal paling bersinar di masa yang akan
datang. Sayang, Fairuz/Zakry lebih unggul, mereka merebut set pertama dengan selisih poin
tipis, 21-19.
Set kedua berlangsung lebih panas. Ada insiden ketika bola Fairuz yang dilepas saja oleh
Edgar karena dikira keluar ternyata dinyatakan masuk oleh hakim garis. Edgar terlihat sedikit
emosi, dan setelah itu permainannya jadi terusik. Beberapa kali ia kulihat melampiaskan
kekesalan dengan melakukan smash sekeras-kerasnya, tapi karena dilakukan dengan emosi, bola-
bola itu selalu menyangkut di net. Edgar membuang empat atau lima angka percuma untuk
Fairuz/Zakry.
Gara-gara kehilangan konsentrasi itu, Edgar/Steven akhirnya harus kalah di set kedua,
sekaligus memupus harapan untuk menjejak semifinal Super Series pertama mereka. Sharleen
langsung mendesah kecewa begitu pukulan terakhir Edgar dinyatakan keluar oleh hakim garis.
Aku juga jadi terduduk lesu di bangkuku. Memang masih banyak pemain Indonesia yang lolos
ke babak selanjutnya, tapi nggak tau kenapa aku drop banget menyadari besok nggak akan
melihat Edgar bertanding lagi.
Aku melihat Steven meninggalkan lapangan dengan lesu, sementara Edgar terlihat mengobrol
serius dengan pelatih sekaligus kakak kandungnya, Edward Satria. Aku menebak Edgar sedang
dimarahi, karena Edward terlihat gusar sekali.
Menurutku, wajar saja Edward jadi senewen begitu. Masalahnya, Edgar/Steven nggak kalah
kelas dari Fairuz/Zakry, tapi hanya gara-gara konsentrasi Edgar yang terpecah akibat emosi tadi,
mereka jadi kalah. Padahal, mereka main di kandang sendiri. Dan seharusnya nih ya, pemain
yang baik, apalagi yang sudah tingkat nasional seperti Edgar/Steven, bisa mengontrol emosi saat
di lapangan. Nggak boleh terusik hanya karena satu keputusan hakim garis yang dianggap kurang
menguntungkan.
Edgar, Steven, dan Edward sudah tak terlihat lagi batang hidugnnya, dan mendadak aku jadi
kehilangan minat nonton, padahal di lapangan sekarang sedang bertanding Nova
Widianto/Lilyana Natsir melawan ganda Korea. Aku jadi kepikiran, jangan-jangan tadi itu
terakhir kali aku bisa melihat Edgar? Kan dia sudah kalah. Mungkin dia nggak bakal muncul lagi
di Istora besok-besok. Padahal aku berharap banget bisa ngobrol-ngobrol sama dia lagi kayak
kemarin.
HP-ku berbunyi, ada SMS masuk.
From: +628179475XXX
Hai, fray. Ini Edgar. Dateng ke Istora ga?
Aku memekik pelan, lalu melirik Sharleen di sebelahku. Sepertinya dia nggak dengar aku
memekik saking asyiknya nonton pertandingan. Kubaca lagi SMS di HP-ku, lalu aku
menggeleng pelan. Nggak, nggak mungkin ini Edgar beneran. Dari mana dia tahu nomorku,
coba! Pasti ini kerjaan orang iseng kayak Claudia. Ya, pasti Claudia! Adikku itu pasti lagi mati
gaya menunggu acara Nidji-nya yang belum juga dimulai, jadi dia berniat mengusiliku, mungkin
pakai HP salah satu teman Nidjiholic-nya. Dasar anak iseng!
Kubalas SMS itu.
To: +628179475XXX
Heh, nggak usah iseng deh ya! Ganggu aja!
Setelah SMS itu kukirim, tak ada balasan lagi. Semakin yakinlah aku bahwa itu ulah usil
Claudia. Dasar anak tengil! Emangnya dia kira aku gampang dikadalin? Huh, tak usah ya!
* * *
Seluruh pertandingan perempat final hari ini selesai jam sembilan malam. Indonesia meloloskan
Flandy Limpele/Vita Marissa, Simon Santoso, Sony Dwi Kuncoro, Nova Widianto/Lilyana
Natsir, Maria Kristin, Shendy Puspa Irawati/Meiliana Jauhari, dan Vita Marissa/Lilyana Natsir
ke semifinal besok. Lumayan, tujuh wakil di empat nomor. Kalau saja tadi Edgar/Steven menang
juga, Indonesia masih akan punya wakil di ganda putra, dan menjaga peluang untuk menyapu
bersih semua gelar di Indonesia Super Series tahun ini.
Seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh, ternyata Shendy.
dahinya, wajahnya terlihat capek, tapi sumringah. Mungkin karena dia benar-benar menyukai
pekerjaannya ini.
Kami berjalan bertiga menuju pintu keluar Istora.
-
Aku bisa merasakan Sharleen yang berjalan di sebelahku berhenti melangkah, dan bengong di
tempat. Reaksiku setali tiga uang.
ing, lebih karena aku nggak tau harus ngomong apa.
Terus dia minta nomor HP lo, ya gue kasih aja. Nggak pa-
Aku semakin nggak bisa mengatupkan mulutku. Edgar minta nomer HP-ku? Dan Shendy
memberikannya? Berarti yang tadi SMS aku itu... yang kubalas dengan superjutek itu...
OH MY GOD! -orang di sekitar kami kontan menoleh, dan aku cuma
bisa cengengesan karena terpaksa jadi pusat perhatian begitu banyak orang.
-garuk kepala.
-pa sih, Shen, cuma... tadi ada yang SMS gue, ngaku-ngaku dia Edgar...
Karena gue mikir nggak mungkin Edgar beneran yang SMS gue, dan kemungkinan besar itu
kerjaan orang iseng, ya gue jutek banget balas SMS-
Aku mengeluarkan HP, dan mencari SMS dari nomor tak dikenal itu di inbox-ku. Untung
belum kuhapus. Shendy langsung mencocokkannya dengan nomor Edgar di phonebook-nya.
phonebook-nya, dan aku kontan
mencelos mendapati nomor itu sama persis dengan nomor yang mengirimiku SMS tadi siang.
Mati aku!
Aku mendengar suara terkikik dan menoleh, melihat Sharleen setengah mati menahan tawa
sampai mukanya merah.
kedodolanku.
tek banget. Dia takut lah bales SMS itu lagi. Udaaah, buruan deh
bales SMS-nya. Bilang yang sebenernya aja, tadi lo ngira dia orang iseng, dan lo baru tau
-lebar.
berarti harus menuruti kata-kata mereka.
To: +628179475XXX
Hei, gar. Fraya nih. Sorrrrry bgt, td gw ga tau ini no lo. Gw kira
adik gw yg iseng. Maaf ya. Gw msh di istora nih. Lo di mana?
HP-ku berbunyi lagi, ada SMS dari Edgar.
From: +628179475XXX
Hehe gpp kok. Yaaaah syg bgt gw udh blk ke hotel. Kirain lo ga
dtg. Tau gt kita nongbar td. Bsk ke istora lg ga?
Aku menelan ludah. Ini bukan pertama kalinya aku dapat SMS dari cowok yang
menunjukkan tanda-tanda bakal ngajak jalan bareng seperti ini. Waktu aku masih jadi pacar
Albert pun banyak yang tetap nekat mengirimiku SMS yang senada dengan SMS Edgar ini.
Dulu-dulu sih aku menanggapinya dengan cuek, tapi sekarang... kok aku jadi deg-degan ya?
membaca SMS yang tertera di layar HP-ku.
Tiba-tiba Sharleen merebut HP dari tanganku, membaca SMS yang ada di sana secepat kilat,
dan langsung menjerit histeris.
ra
Aku melihat alis Shendy terangkat heran, mungkin takjub karena Sharleen yang selama ini
dikenalnya alim ternyata bisa heboh juga seperti Claudia.
h banget gini?
bad
mood lah. Emang lo mau nongkrong bareng orang yang lagi bad mood
Sharleen garuk--nya yang tadi,
takjub.
uruti desakannya untuk membalas SMS
Edgar.
To: +628179475XXX
Iya, besok gw ke Istora lagi
Nggak sampai semenit, SMS balasan Edgar masuk. Kali ini Sharleen ngotot ikutan langsung
membacanya.
From: +628179475XXX
Ya udah, klo gt besok kita nonton bareng ya. Gw kan ga tanding lg
besok. Bsk kabarin aja klo dah nyampe istora.
membuka mulut.
Shendy
Perasaanku saat ini benar-benar nggak bisa dideskripsikan.
Edgar Satria
SEMIFINAL Indonesia Super Series hari ini baru digelar mulai jam empat sore, tapi Sharleen
sudah heboh mengajakku ketemuan di Istora jam tiga.
-cepat datang.
ada ruginya juga kan datang pagian? Biar VIP juga pasti nanti ada VIP yang
Hmm, aku mencium adanya motif lain.
-
Sharleen diam, tapi aku sudah bisa membayangkan tampangnya yang sedang menimbangnimbang
sebaiknya jujur atau nggak padaku di seberang sana.
-gara Edgar mengajakku
nonton bareng di Istora hari ini, Sharleen jadi histeris banget (karena kan berarti dia juga bakal
nonton bareng Edgar Satria sang cowok feromon itu). Aku sih memperkirakan Edgar baru akan
datang ke Istora di tengah-tengah pertandingan. Kayaknya nggak mungkin dia datang sejak
partai pertama. Lagian, dia juga udah nggak tanding hari ini.
sooner is better, kan? Daripada kita telat terus sampai sana ternyata
bilang aja lo pengin cepet-
Aku sudah hampir mengomel lagi karena harus berangkat lebih awal ke Istora gara-gara
Sharleen, padahal tadinya aku lagi leyeh-leyeh di kamar, tapi nggak tahu kenapa mendadak
jantungku dag-dig-dug nggak keruan lagi, persis ketika aku pertama kali ngobrol dengan Edgar
dua hari lalu. Persis ketika kemarin Edgar mengajakku untuk nonton bareng di Istora hari ini.
G
* * *
Perkiraanku salah. Aku baru saja sampai di Istora ketika nama Edgar berkedip-kedip di layar HPku.
sangat ganjen dan halus.
Nanti kalau gue udah ketemu dia
missed call
Aku menelepon Sharleen untuk bilang aku sudah di Istora, sekaligus memberitahukan
posisiku. Nggak sampai semenit, Sharleen nongol di depanku. Kami langsung masuk Istora
bareng.
stand by di sini. Aturannya kan dia udah nggak
-
Aku berusaha mencerna asumsi Sharleen itu. Benar juga. Kalau Edgar masih menginap di The
Sultan bareng teman-temannya yang bertanding hari ini, pasti tadi dia berangkat naik bus bareng
mereka juga. Atlet-atlet yang bakal bertanding harus stand by di tempat pertandingan jauh
sebelum pertandingan pertama dimulai. Mau nggak mau Edgar berangkat awal juga kalau tadi
dia bareng mereka.
Aku dan Sharleen memasuki Istora, dan karena Istora masih kosong, kami dengan gampang
menemukan Edgar yang berdiri di dekat player area. Ia langsung melambai-lambaikan tangan
begitu melihat kami. Kelihatannya dia memang mengamati orang-orang yang muncul di pintu
masuk deh.
Edgar berjalan mendekat, dan detak jantungku mulai menggila lagi. Aku juga bisa merasakan
Sharleen menegang di sebelahku seiring semakin dekatnya jarak Edgar dengan kami.
naik bus dari hotel, jadi mesti
cepet-
-
yanya sambil menoleh pada Sharleen.
Dua orang itu bersalaman, dan aku jelas banget bisa melihat Sharleen salting. Nggak
menyalahkan dia juga sih, Edgar memang charming banget. Rasanya setiap cewek yang berada di
dekatnya pasti bakal langsung kehilangan fokus. Untung aja Edgar nggak main ganda campuran.
Kalau iya, pemain cewek yang jadi lawannya pasti bakal nggak fokus setiap berhadapan sama dia,
hehehe...
gar.
player area
Aku dan Sharleen kontan berpandangan. Player area? Untuk turnamen seprestisius ini? Bakal
bisa duduk di antara pemain-pemain top dunia? Kayaknya ngabisin uang jajan sebulan pun kami
rela demi bisa duduk di sana!
Tapi, mmm... harus jaim dikit dong di depan Edgar.
player area
-pa kok. Banyak juga keluarga atau temennya anak-anak yang
Dalam hati aku bersyukur karena lagi-lagi Claudia nggak ikut hari ini. Nggak kebayang kalau
dia ikut dan kami duduk di player area, pasti dia langsung rusuh kalau melihat Maria Kristin atau
siapalah di sana.
Akhirnya aku dan Sharleen mengekor Edgar menuju player area. Langkahku dan Sharleen
nyaris melayang saking hepinya. Dari jauh saja aku sudah melihat Sony Dwi Kuncoro, Zhu Lin,
Lilyana Natsir, Zakry/Fairuz (yang kemarin mengalahkan Edgar), dan sederet pemain top
lainnya yang duduk di sana. Beberapa sedang bersiap bertanding dengan melakukan pemanasan.
Edgar yang berjalan lebih dulu dari kami akhirnya memutuskan duduk persis di depan Sony
Dwi Kuncoro. Sharleen kelihatannya nyaris nggak bisa menahan kepalanya untuk nggak terusterusan
menoleh ke belakang. Dia gelisah sendiri di bangkunya, sama kayak aku. Gimana nggak,
tunggal putra terbaik Indonesia, pemain peringkat lima dunia, duduk di belakang kami! Hanya
usaha untuk jaim di depan Edgar-lah yang menahan kepalaku untuk terus menghadap ke depan.
Beberapa pertandingan sudah dimainkan di keempat lapangan di depan kami. Sharleen heboh
sendiri. Dia memang suka berubah jadi aneh kalau sudah nonton bulutangkis secara live. Aku
beralih menatap edgar, ia kelihatan asyik mengamati court 2, yang mempertandingkan
Zakry/Fairuz elawan ganda Korea, Ko Sung Hyun/Kwon Yi Goo. Lalu tiba-tiba aku teringat
sesuatu.
Edgar memotong sebelum aku selesai bicara. Ia nyengir salting dan menggaruk-garuk kepalanya.
-pa sih, kan tiap pertandingan ada menang ada kalah. Lagian lo sama Steven
udah bagus banget kok, berhasil masuk perempat final. Masih banyak turnamen lainnya lah.
sama sekali nggak terlihat menguping obrolanku dan Edgar. Bukannya apa-apa, tapi aku jadi
nggak enak kalau apa yang bakal kusampaikan ke Edgar ini akan membuatnya malu di depan
-gara keputusan
hakim garis yang menyatakan Fairuz masuk. Harusnya lo lebih bisa mengontrol emosi lo, dan
Edgar terdiam, dan aku mencelos dalam hati. Damn, apa sih yang barusan kubilang? Kenapa
aku bisa segitu pedenya ngasih nasihat ke Edgar, padahal bisa dibilang aku ini cuma anak SMA
yang terobsesi pada bulutangkis karena cita-cita masa kecilnya nggak kesampaian, sementara
Edgar adalah atlet nasional yang sudah tinggal di Pelatnas paling nggak lima tahun, dan pasti
dapat bimbingan dari pelatih-pelatih bulutangkis terbaik se-Indonesia setiap hari. Kenapa aku
bisa sebegitu sotoynya??? Ini sama seperti anak TK menasihati anak kuliahan!
Aku nggak akan kaget kalau setleah ini Edgar bakal menendangku, dan Sharleen, keluar dari
player area.
-kata yang
meluncur keluar dari mulutku tadi. Soalnya, kalau dicerna lagi, aku seolah menyalahkan Edgar
atas nihilnya wakil Indonesia di nomor ganda putra di Indonesia Super Series kali ini.
-apa, Fray. Pelatih gue,
alias kakak gue sendiri, juga bilang seperti yang lo bilang itu kok. Emang udah nggak seharusnya
dalam turnamen internasional kayak gini, dan di perempat final pula, gue masih nunjukin emosi
Aku tercenung. Edgar dengan besar hati mengakui kesalahannya! Kesalahan yang bahkan
mungkin bukan benar-
Asli deh, seumur hidup aku nyaris nggak pernah melihat makhluk berjenis cowok mengakui
kesalahan. Gengsi cowok kan biasanya selangit. Beneran bikin salah aja belum tentu ngaku,
apalagi kalau dia sebenernya nggak bikin salah. Lihat aja Albert dengan semua kelakuannya dulu.
Dia menghukumku sampai aku nggak bisa nonton Thomas-Uber Cup di Istora, padahal kalau
aja dia bisa lebih mengerti kecintaanku pada bulutangkis, dia pasti paham kenapa aku bisa
sampai ngebohongin dia. Beda banget deh sama Edgar!
Eh, kok jadi ngebanding-bandingin Albert sama Edgar sih?
Pikiranku yang melantur langsung buyar begitu aku sadar Edgar masih menatapku dengan
ekspresi ingin tahu. Aku belum merespons omongannya yang terakhir tadi. Dia pasti masih
menunggu komentarku.
a, benar-benar no idea harus bilang apa lagi.
paham banget kan tentang bulutangkis? Orang yang sekadar suka aja nggak bakal bisa ngeliat
kenapa kemarin gue bisa banyak bikin kesalahan sendiri. Harus orang yang benar-benar paham
huge interest sama bulutangkis. Gue malah...
Mata E
huge interest sama bulutangkis. Gue malah...
Mata E
meraih emas di Olimpiade Atlanta, bagaimana aku ingin meraih prestasi yang sama seperti
mereka, tapi cita-citaku amblas hanya karena kesalahpahaman antara aku dan Mama. Aku juga
cerita tentang Albert, yang menghukumku tak boleh nonton Thomas-Uber Cup, dan bagaimana
ia selalu menyuruhku bergabung dengan ekskul cheers bukannya bulutangkis. Ceritaku kututup
dengan bagaimana aku sangat down beberapa bulan terakhir ini, karena ingat cita-citaku nggak
akan mungkin tercapai lagi, sekeras apa pun aku berusaha.
Edgar menyimak sepanjang aku bercerita, nggak sekali pun dia menyela. Dan ketika aku
selesai, aku menoleh nggak enak pada Sharleen, takut kalau-kalau ia ternyata memperhatikan
kami sedari tadi dan merasa dicuekin karena nggak dilibatkan dalam obrolan. Untunglah,
perhatian Sharleen ternyata masih seratus persen terfokus pada lapangan. Dia seolah berada
dalam kotak yang tak terlihat, yang membuatnya tak memedulikan keadaan sekitar, kecuali apa
yang tengah terjadi di lapangan.
orang-orang forum bulutangkis yang gue ikutin. Kebanyakan member-nya bapak-bapak sih,
hehe...
murni karena lo pengin bikin Indonesia bangga. Baru kali ini gue dengar cerita kayak gini. Kalau
-biasa aja. Gue yakin banyak remaja
n-kapan gue harus main lawan lo, jadi gue bisa menguji apakah lo
Edgar barusan. Dia bilang... kapan-kapan dia harus main lawan aku? Apakah ini ajakan untuk
ketemuan lagi? Untuk... jalan bareng?
-tiba berubah. Dia
mengira aku keder, padahal sebenarnya aku syok menyadari dia baru saja mengajakku jalan
bareng lagi.
Try me
Dan kapan lagi aku bisa main bulutangkis lawan atlet Pelatnas?
Aku nggak boleh ke-ge-er-an.
* * *
Ini benar-benar hari yang luar biasa. Bukan hanya karena aku menikmati saat-saat yang sangat
fun lantaran bisa duduk di sebelah Edgar (yang semakin aku mengobrol dengannya ternyata
semakin membuatku kagum, karena meskipun dia sudah bisa dibilang atlet internasional, dia
sangat humble dan low profile), tapi juga karena Indonesia meloloskan banyak wakil ke final
besok!
Dua partai yang saling mengejutkanku, dan membuat Istora serasa meledak saking gegap
gempitanya teriakan suporter, adalah tunggal putri dan ganda putri.
Tadi , di tunggal putri, Maria Kristin mengalahkan Zhang Ning! Beneran deh, aku nyaris
nggak percaya meski melihatnya dengan mata kepalaku sendiri! Bukannya aku meremehkan
Maria atau apa, tapi Zhang Ning itu kan peraih medali emas Olimpiade Athena. Dan Maria
mengalahkannya! Haha, beware China, our new Susi Susanti has born!
Dan ganda putri, astaganagabonarjadidua! Vita Marissa/Lilyana Natsir membabat habis Wei
Yili/Zhang Yawen! Mengalahkan pasangan nomor satu dunia, padahal mereka bahkan hanya
pemain ganda campuran yang merangkap main ganda putri. Asli deh, sepanjang partai ini aku
sport jantung, dan berkali-kali bersorak heboh ketika Vita atau Lilyana menghasilkan angka
melalui pukulan-pukulan cepat mereka. Aku heran, mereka itu sebenernya cewek apa cowok sih?
Tenaganya itu lho!
Sayang, prestasi Vita/Lilyana di ganda campuran ternyata nggak sebagus pencapaian mereka
di ganda putri. Vita yang berpasangan dengan Flandy Limpele di ganda campuran kalah dari
pasangan China, Zheng Bo/Gao Ling, sementara Lilyana Natsir/Nova Widianto kalah dari
Thomas Laybourn/Kamilla Rytter Juhl asal Denmark. Menempatkan dua wakil di semifinal dan
berharap akan terjadi all Indonesian final untuk ganda campuran, Indonesia justru sama sekali tak
punya wakil di final besok, hiks!
Untunglah, untuk tunggal putra, Indonesia sudah memastikan gelar juara, karena besok Sony
Dwi Kuncoro bakal bertanding melawan Simon Santoso. Maksimal, Indonesia bisa meraih tiga
gelar besok. Not bad untuk pertandingan di kandang sendiri.
Wah, jadi nggak sabar menunggu besok.
Apalagi tadi Edgar menawariku, dan Sharleen, untuk duduk bersamanya lagi di player area.
Chiuuuy!
* * *
Meskipun datang lebih awal, ternyata aku dan Sharleen tetap harus berjuang melewati
kerumunan orang yang berdesakan mencari tiket babak final Indonesia Super Series ini di
halaman depan Istora. Belum lagi para calo, yang nggak terhitung berapa banyaknya, yang
mencegatku dan menanyakan apakah aku berminat menjual tiketku, soalnya mereka bisa
membelinya dengan harga tinggi. Dengar-dengar sih, tiket untuk babak final ini sudah terjual
habis, bahkan para calo kehabisan, sementara masih banyak penonton yang belum kebagian tiket
dan pengin banget nonton. Itu artinya, mereka oke-oke aja beli meski dengan harga berlipat
ganda. Nah, peluang inilah yang dikejar para calo. Mereka mau beli tiket orang dengan harga
tinggi, dan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi lagi. Dasar! Benar-benar menerapkan
hukum ekonomi deh: semakin terbatas barang dan semakin tinggi permintaan, maka harga juga
akan semakin tinggi.
Thanks to
yang kehabisan tiket itu. Tadi Edgar telepon, bilang dia menunggu kami di pintu belakang (yang
seharusnya khusus untuk mereka yang ber-ID card), jadi kami nggak perlu beli tiket lagi untuk
masuk Istora. Bisa lewat pintu belakang dan langsung duduk bareng Edgar di player area, asyik!
Aku menyusuri jalan yang kuingat beberapa hari lalu ditunjukkan Shendy saat mengajakku ke
bagian belakang Istora, dan dalam sekejap aku dan Sharleen sampai. Di depanku berjejer banyak
bus atlet dan ofisial, persis seperti yang kuingat saat menemani Claudia menunggu Edgar di sana
untuk foto bareng.
Aku mendongak dan melihat Edgar melambai hanya beberapa meter dariku. Kaki Sharleen
langsung terlihat seolah baru dipasangi mesin turbo. Kecepatannya melangkah jadi dua kali lipat.
Dia sampai di depan Edgar lebih dulu.
hari ini Edgar pakai polo shirt dan celana jins. Cakep banget!
-
-gara prestasi tim Uber kemarin itu sih.
Sayang tim Thomas-nya justru mencapai hasil d
Edgar kelihatan sedikit down saat bilang begitu, dan aku langsung ngeh, itu pasti karena dia
juga tergabung di tim Thomas Indonesia tempo hari, yang, seperti katanya, mencapai hasil di
bawah harapan. Memang, nggak seperti tim Uber yang hanya ditarget masuk semifinal tapi bisa
jadi runner-up, tim Thomas yang ditarget juara justru nggak berhasil menjejak babak final. Miris
pastinya.
-pa, Gar. Semua ada hikmahnya kok. Bisa buat bahan evaluasi supaya makin baik
Iya, dievaluasi habis-
Aku dan Sharleen mengekor Edgar yang berjalan di depan kami, lalu menaiki tangga menuju
player area. Begitu sudah di player area, mataku dan Sharleen langsung jelalatan, siapa saja atlet
top yang bakal berada dalam radius sepuluh meter dari kami selama kira-kira lima jam ke depan.
Sharleen yang berhasil menemukan buruan lebih dahulu: Simon Santoso, yang bakal turun di
partai pertama melawan Sony Dwi Kuncoro, rekan senegaranya sendiri. Simon sedang berlari-lari
kecil di bagian atas player area. Pemanasan menjelang pertandingan.
Aku menoleh ke kanan-kiri dan melihat Vita Marissa duduk di salah satu sudut dengan
earphone iPod terpasang di telinganya. Kalau dari jadwal yang kulihat di depan Istora tadi sih,
Vita/Lilyana bakal turun di partai ketiga melawan ganda putri Jepang, Satoko Suetsuna/Miyuki
Maeda. Sayang sebetulnya, karena Satoko/Miyuki mengandaskan ganda putri Indonesia yang
jadi kuda hitam di turnamen kali ini, Shendy Puspa Irawati/Meiliana Jauhari. Kalau nggak, bisa
satu lagi partai all Indonesian final tuh. Eh, tapi kalau kebanyakan partai all Indonesian final, hari
ini bakal jadi kurang seru ya? Hehehe.
Edgar duduk di tempat yang sama persis dengan tempat kami kemarin duduk. Tepat setelah
aku meletakkan bokongku di kursi, Simon Santoso berjalan melewatiku sambil membawa tas
raketnya dan siap turun ke arena pertandingan (membuat Sharleen histeris sendiri samapi
menarik-narik ujung lengan bajuku).
good luck
Edgar mengacungkan jempolnya tanda setuju.
Setelah itu, aku menyaksikan rangkaian babak final yang sangat seru. Semua yang berlaga hari
ini memang benar-benar pemain kelas dunia. Mulai dari Sony Dwi Kuncoro yang mengalahkan
Simon (poor Simon, tapi dia masih punya banyak kesempatan di turnamen lain), Vita
Marissa/Lilyana Natsir yang melibas Satoko Suetsuna/Miyuki Maeda, Zheng Bo/Gao Ling
menghentikan Thomas Laybourn/Kamilla Rytter Juhl, dan Zakry Abdul Latif/Fairuzizuan Tazari
(yang mengalahkan Edgar/Steven di perempat final, remember?) menjadi juara setelah melibas
Tony Gunawan/Candra Wijaya, pasangan gado-gado USA-Indonesia.
Tapi, yang paling seru adalah partai tunggal putri, Maria Kristin melawan Zhu Lin. Memang,
Maria akhirnya kalah dari pebulutangkis China itu, tapi dia benar-benar menunjukkan Indonesia
masih punya tunggal putri yang harus ditakuti! Bayangin aja, Maria yang cuma peringkat 20-an
BWF, bisa memaksa Zhu Lin, yang peringkat 3 BWF, bermain 3 set, sekaligus menguras
emosinya. Ada adegan di mana Zhu Lin ngotot memprotes keputusan hakim garis karena
dianggap merugikannya. Lalu setelah itu entah kenapa ia melakukan protes untuk kedua kalinya,
dan karena sudah menentang wasit, ia justru menerima kartu kuning, yang berarti satu angka
bonus untuk Maria. Seumur-umur, baru kali ini aku lihat pemain bulutangkis dapat kartu
kuning. Biasanya kan pemain sepak bola! Untuk beberapa pemain, seperti Edgar beberapa hari
lalu, hal semacam itu jelas bisa membuat konsentrasi buyar. Tapi ternyata itu justru bisa
membuat Zhu Lin mengendalikan emosinya, dan menutup pertandingan dengan kemenangan.
Tapi buatku, Maria Kristin tetap juara sebenarnya. Hebat banget sih!
Ketika pertandingan final hari ini selesai, aku benar-benar merasa nggak rela. Masih satu
tahun lagi smapai aku bisa merasakan atmosfer Indonesia Super Series yang dahsyat lagi. Aduh,
seharusnya Indonesia Super Series itu digelar sebulan sekali!
Haha, you wish, Fraya.
This Bang-Bang-Boom Feeling
AKU memasuki Sushi Tei, dan menemukan Edgar melambai padaku dari sushi bar. Yeah, aku
agak-agak shock waktu ia meneleponku tadi pagi dan ngajak ketemuan di sini. Terakhir kami
ketemuan kan waktu final Indonesia Super Series itu, dan itu... hampir seminggu yang lalu.
Setelah itu dgar sama sekali nggak mengontak aku, dan aku sebagai cewek (yang juga punya
kadar gengsi sangaaaaat tinggi) nggak pernah mengontaknya duluan.
Yah, aku akui, aku kangen sama dia. Sebab di lubuk hatiku yang paling dalam, aku berharap
kami bisa lebih dari sekadar nonton-bareng-Indonesia-Super-Series. Makanya, waktu dia nggak
menghubungiku sama sekali beberapa hari kemarin, aku blingsatan nggak keruan. Sharleen dan
Adisty menangkap gelagat anehku ini dengan mata jeli mereka, tentu saja, dan berusaha
menebak-nebak bahwa ini pasti ada hubungannya dengan cowok, tapi aku selalu berhasil ngeles.
Dan ketika tadi pagi Edgar nelepon, aku lebih dari sekadar loncat-loncat kegirangan di kamar,
ketahuan aku bener-bener girang dia telepon, maksudnya.
-
Waitress datang membawakan menu. Aku memesan stamina roll dan hot ocha.
Well
-
Aku kontan bisa merasakan darah menyembur di kedua pipiku, membuatnya memerah tanpa
ampun.
Kalau kangen, kenapa beberapa hari ini lo sama sekali nggak berusaha menghubungi gue?
Pertanyaan ini meletup dalam otakku tanpa sempat kutahan. Jujur aja, aku senang mendengar
Edgar kangen padaku, tapi kalau itu cuma gombal... lebih baik nggak usah deh.
kat dua kali lipat gara-gara hasil buruk di
Thomas Cup dan Indonesia Super Series itu. Dan malam harinya, kalau sesi latihan sudah
selesai, gue cuma punya sisa tenaga untuk mandi dan tidur. Gue pengin SMS lo, tapi selalu
ketiduran sebelum gue sempat pegang
pertanyaan yang meletup di otakku tadi.
Alasannya memang klise, kalau cowok lain yang mengucapkan. Tapi karena ini Edgar, atlet
bulutangkis nasional yang aku yakin prosi latihannya nggak main-main, apalagi kalau sampai
dijadiin dua kali lipat, aku percaya dia benar-benar kehabisan tenaga sampai nggak sempat
mengontakku.
free
-siapa lo. Lo nggak punya keharusan untuk
menghubungi gue, tambahku dalam hati.
thanks
Aku terkikik geli mendengar pertanyaannya. Sudah hampir lima menit kami duduk di sini,
Edgar rupanya merasakan hal itu sama gelinya sepertiku, karena dia juga tertawa.
-senengnya jadi anak kelas 12, bisa ngegencet junior-junior yang
Minumanku datang, dan aku langsung meneguknya untuk menghilangkan kecanggungan.
Duh, kenapa aku bisa lupa bawa semprotan antiferomon untuk mengurangi kadar yang dimiliki
cowok satu ini supaya aku nggak terlalu salting di depannya sih?
hot ocha
-ngobrol sama lo... Yah, mungkin lo menganggap gue gombal
atau apa, tapi gue benar-benar menikmati waktu kita nonton bareng di Istora minggu lalu. Gue
menikmati saat-
Aku mengerjap. Sepanjang usia remajaku, aku mengenali betul tanda-tanda cowok jika
mereka sedang flirting sama aku, dan sorot mata mereka ketika sedang melancarkan jurus rayuan
gombalnya. Aku berusaha mencari sorot mata itu dalam mata Edgar, tapi sama sekali nggak
menemukannya. Dia terlihat... tulus sekali waktu mengatakan itu. Entah apakah di Pelatnas ada
kursus akting juga, atau Edgar memang sungguh-sungguh dengan omongannya.
-cewek lain, yang kalau diajak ngomong tentang bulutangkis taunya
cuma Taufik Hidayat. Lo benar-benar ngerti tentang dunia ini. You love it, the way that I do.
Oh ya, itu benar. Kok aku bisa lupa kami punya satu kecocokan yang sangat mencolok itu ya?
excited banget.
Lo tau semua pemain yang gue sebutkan, yang nggak sengaja papasan sama kita waktu di Istora
kemarin. Lo tau mereka menang di turnamen mana dan mengalahkan siapa, lo tau mereka
mengatakan itu. Ya ampuuuun, kenapa sih aku ini?
Tapi di dalam hati aku penasaran juga. Karena, kalau menyangkut soal bulutangkis,
pengetahuan Sharleen nggak kalah dari aku. Dia juga cantik dan menyenangkan. Jadi, kenapa
Edgar cuma mengajakku ketemuan hari ini? Kenapa dia cuma kangen sama aku?
Hah? Karena itu? Dia kangen padaku karena aku sudah mengkritiknya?
bisa mengibarkan bendera Merah Putih di negeri orang dengan prestasi yang sudah lo raih.
Gue... . Kebanyakan teman-teman gue di Pelatnas, termasuk
disuruh ortu, dan ada juga karena iseng masuk klub, tapi ternyata punya bakat dan bisa
ndengar koki terkenal mengaku bahwa ia
benci memasak!
-teman gue yang lain bisa main sepulang sekolah, gue
harus latihan di klub. Dan gue benci karena... gue selalu dibanding-bandingkan dengan
Stamina roll-ku datang, menciptakan jeda yang membuat kata-kata Edgar barusan membekas
sangat dalam di ingatanku.
oga-moga lo bisa sehebat
Edward, tapi jujur aja gue muak. Gue sayang Edward, dan tentu aja gue pengin punya prestasi
seperti dia. Nyaris menyabet medali emas Olimpiade Sydney, kalau saja bukan karena cedera
Aku mengangguk.
-terusan.
Gue memang belum sehebat dia, tapi gue berusaha sekeras yang gue bisa. Dan memang seiring
berjalannya waktu, tujuan gue di bulutangkis berubah. Bukan cuma untuk membuktikan diri,
tapi ingin berprestasi juga, karena gue sudah jatuh cinta sama dunia ini. Waktu gue dan Steven
jadi juara dunia junior dulu, lalu melihat bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya
Aku menelan ludah. Ya, itu benar. Aku yang cuma pernah menyaksikannya di TV atau secara
live aja selalu merinding jika momen itu terjadi, gimana Edgar yang melakoninya? Pasti benarbenar
terasa seolah ada petasan yang meledak di dadanya. Dalam artian yang baik, tentu saja.
berharap, kita bisa terus kontak-
Ehm, kalau sekarang, aku sudah boleh ge-er, belum?
* * *
Aku menoleh, dan langsung salting begitu melihat siapa yang berada di hadapanku.
-
Aku bisa merasakan Sharleen membeku di tempatnya berdiri demi melihat siapa yang baru
saja datang menghampiriku dan bertanya apakah-menurutku-lagu-David-Cook-bagus.
bergantian, tak bisa meneruskan kalimatnya.
langsung setengah menyeret Sharleen keluar dari Societie, sambil cengengesan nggak jelas pada
Edgar yang keningnya tengah berkerut bingung di belakangku. Tapi itu bisa kubereskan nanti,
yang penting sekarang Sharleen dulu.
-keras, nanti
-
-apa, kebetulan aja tadi dia ngajak ketemuan,
cuma buat ngobrol-ngobrol sambil makan aja. Terus dia mau nyari CD soundtrack-nya
Transformer 2
Sharleen terdiam sesaat, lalu cekikikan.
lo dan Edgar
lagi jalan bareng. Gue bukannya nuduh kalian pacaran atau apa, tapi lo langsung salting gitu,
Aku melongo, dan merasakan semburan rasa malu yang sudah sangat kukenal, yang selalu
muncul dalam diriku setiap kali aku melakukan hal-hal konyol.
-pa kok. Asli, gue kaget banget pas ngelihat kalian berdua tadi. Gue -pa kok. Asli, gue kaget banget pas ngelihat kalian berdua tadi. Gue
kira soft lens gue yang udah harus ganti, eh ternyata kalian emang lagi bareng. Mmm... tapi,
diterusin juga nggak pa-pa kok, Fray. Kan lumayan, kalau lo pacaran sama Edgar, kita bisa
duduk di player area
sih? Baru jalan bareng sekali juga, lo mikirnya udah kejauh
Wish
Aku cuma bisa tersenyum salah tingkah.
-
Sharleen melambai padaku dan langsung ngabur begitu aku memelototinya.
* * *
Aku terlonjak kaget karena mendengar seruan itu. Sharleen muncul dari balik tembok
kelasku, dan memamerkan cengiran khasnya.
Lagi-lagi, aku merasakan pipiku bersemu merah, tapi rasanya aku nggak sanggup kalau harus
-mentang sekarang mainnya sama atlet bulutangkis nasional,
nggak mau cerita-
menuju bangku. Adisty belum datang.
whatever you name it lah ya. Yang penting, gue mau cerita lengkap acara kemarin. No
censor at all!
Aku baru mau membuka mulutku untuk bercerita (karena sadar nggak akan ada gunanya
menyembunyikan sesuatu dari Sharleen, ia akan terus-menerus memburuku), ketika Adisty
muncul di pintu kelas.
meletakkan tasnya di meja.
-
ada-apa-apa-kok.
mata Adisty yang sudah belo kon
Adisty terdiam, walau mulutnya masih melongo terbuka. Aku kira dia bakal jejeritan heboh
seperti Sharleen ketika melihatku bersama Edgar kemarin, tapi ternyata sejurus kemudian ia
bertanya,
Kalau dalam komik Jepang, mungkin aku dan Sharleen sudah digambarkan terjengkang dari
kursi. Gubrak banget sih!
wajah tanpa dosa.
-asingnya
sama bulutangkis, ya gue tau lah siapa itu
Adisty benar. Edward Satria ini sudah identik banget dengan bulutangkis. Seperti ketika
Hidayat, ya pasti Edward Satria.
-lakangnya sama ya? Edward Satria... Edgar
marin itu Edgar ngajak jalan, itu aja.
Adisty menyipitkan matanya, seperti mengingat-
bikin lo berseri-
ada kuis fisika mendadak itu. Yang lo datang ke sekolah dengan wajah berseri-
seri dan gue bilang wajah lo bahagia kayak orang jatuh cinta. Waktu itu lo nggak sempat cerita
ke gue karena Bu Irma udah keburu dateng. Jadi, karena sekarang gue udah tau siapa oknum di
Aku benar-benar dikeroyok. Dua lawan satu, coba. Dan Adisty masih aja ingat aku yang
ibarat melayang-layang karena bahagia setelah pertama kalinya mengobrol dengan Edgar di Istora
itu.
kemarin ke dua cewek bawel ini. Mereka melongo, tapi kemudian bertatapan penuh arti waktu
aku menceritakan kata-kata Edgar padaku di Sushi Tei.
kata Adisty dengan gaya ganjen yang kelewat norak.
matahari yang terbit di sebelah timur setiap hari.
bahwa Edgar menunjukkan tanda-tanda tertarik padaku, tapi aku bener-bener nggak mau mikir
kejauhan, takut nantinya malah kecewa. Semakin tinggi kamu terbang, akan semakin sakit
jatuhnya nanti, kan?
-pa, kali. Kan tanda-
memang nak
Mendadak aku merasakan HP di sakuku bergetar, dan dengan refleks aku mengeluarkannya
dari saku. Ada SMS.
k-angguk kompak.
Hah, nggak mungkin! Paling juga Vinly, teman baruku di klub bulutangkis. Atau siapalah,
mana mungkin Edgar...
Aku membuka SMS itu, dan tercenung. Adisty dan Sharleen langsung memutar dari balik
bahuku, kepingin membaca SMS itu juga.
seolah habis menang lotre.
Good morning, have a nice day
berusaha menyem
membuncah sampai nyaris meledak!
jadian harus
traktir-
Aku cuma mengangguk sekenanya, tapi dalam hati aku berdoa, semoga itu benar-benar
terjadi....
* * *
Ini hari Sabtu, dan karena setiap Sabtu Edgar hanya ada sesi latihan di pagi hari, sorenya dia
free. Jadilah dia mengajakku meladeni tantangannya dulu: main bulutangkis! Yang hanya bisa
terjadi jika aku bisa menghalau kerumunan cewek di sekeliling Edgar ini! Nggak mungkin dong
dia main bulutangkis dengan cewek-cewek merubungnya seperti lalat merubungi sampah begitu?
Oke, aku tau ini salahku sendiri. Hari ini salah satu jadwal latihanku di klub, dan aku nekat
mengajak Edgar ke sini, walaupun dia bilang kami bisa saja menyewa lapangan di club house
kompleks perumahan tempatnya tinggal, dan main dengan tenang di sana. Aku memang goblok,
lupa bahwa kadar feromon Edgar itu di atas rata-rata, dan cewek-cewek di klub ini sudah lama
di sini adalah bapak-bapak.
jumping smash jumping smash
backhand, ya? Edgar kan backhand-
deh sama kamu..
Aku cuma bisa geleng-geleng mendengar semua permintaan ganjen para cewek ABG seklubku
itu. Ujung-ujungnya, aku terduduk lesu di bangku pinggir lapangan. Kayaknya hari ini aku
nggak akan bisa main bulutangkis lawan Edgar.
Aku mendongak dan melihat Pak Ivan, pelatihku di klub ini.
Aku mengangguk lesu. Pak Ivan jelas tertarik karena nggak ada angin nggak ada hujan, aku
mengajak seorang atlet bulutangkis nasional ke klub ini.
bisa tiba-
tantangan itu di sini. Tapi kalau
tersenyum kecut.
-cewek itu jadi berkerumun
ngajak Edgar
-ku sendiri gagal total?
ini dan ingin berprestasi. Ada yang masuk klub ini karena dipaksa ortunya, iseng, atau bahkan...
Aku bengong. Serius nih? Ada yang kepingin cari pacar di klub yang mayoritas anggotanya
bapak-bapak ini?
sini, bisa saja, yah... kita berharap saja, akan membawa motivasi yang
berbeda bagi mereka. Edgar bisa memberi mereka pandangan baru, bahwa tak akan ada prestasi
jika hati mereka tidak berada pada apa yang mereka lakukan sekarang ini. Tidak akan ada
presta
Nyaris saja aku mencerocos bahwa Edgar dulu juga masuk klub karena dipaksa ortunya, dan
bahwa ia sempat membenci bulutangkis karena selalu dibanding-bandingkan dengan Edward.
-teman kamu bakal lebih rajin dan serius berlatih, karena mereka
Pak Ivan tersenyum padaku, dan aku hanya bisa mengangguk enggan.
Semoga saja begitu, karena aku sa
-ku hari ini lho.
* * *
basa-basi.
Aku tercengang. Aku kan tadi cuma asal ngomong. Aku nggak benar-benar berniat
mengajaknya masuk. Bukannya aku keberatan sih, tapi... nanti jika Mama, atau yang lebih
gawat, Claudia, melihat Edgar tiba-tiba nongol di rumah ini, mereka pasti bakal heboh sendiri.
Dan aku nanti pasti akan diinterogasi. Padahal aku masih capek dan males meladeni
berondongan pertanyaan, setelah kejadian Edgar dirubungi cewek di klub bulutangkisku tadi.
Edgar mengikutiku turun dari mobil dan masuk rumah. Yang pertama menyambut kami di
ruang tamu, untunglah, bukan Mama ataupun Claudia, melainkan Lio.
-mobilan hot
wheels berwarna biru, salah satu mainan favoritnya.
Aku kontan melongo. Adikku sendiri, yang baru berumur lima tahun, sudah membuatku
tengsin berat.
Lio mengulurkan tangannya, yang langsung disambut Edgar dengan senang hati. Edgar
sampai rela berjongkok agar tingginya bisa sama dengan Lio, dan mengajaknya mengobrol.
-ng
Alamakjang! Ini semakin memalukan! Mending tadi Edgar ketemu Mama atau Claudia deh.
Paling nggak, Mama atau Claudia nggak bakal asal nyablak di depan Edgar begini.
Edgar nyengir mendengar kata-
Waduh!
aku main basket setiap dia main ke sini. Kakak bisa main basket juga nggak? Kalau nggak bisa,
Tidaaaaaaaaaaak!
Aku mencelos dalam hati. Wah, bakal makin drop nih Edgar kalau Lio bilang ia nggak mau
main bulutangkis. Lio kan nggak suka bulutangkis. Berulang kali aku mencoba mengajaknya
main, tapi ia selalu lebih suka main basket sama Albert.
Aku melongo dengan sukses. Bahkan pesona feromon Edgar juga berlaku untuk anak cowok
kecil seperti Lio? Dahsyat sekali!
club house kompleks
perumahan gue aja nggak pa-pa ya? Soalnya gue nggak yakin bisa ngajarin Lio bulutangkis kalau
kita mainnya di kl
Setelah ini, aku akan mencopot mukaku dan menaruhnya di bawah bantal. Aku benar-benar
tak punya nyali untuk menunjukkannya di depan Edgar lagi setelah semua yang terjadi hari ini.
* * *
-pulang, ia langsung menyerbu ke kamarku.
Dasar ratu gosip rumah, kejadian apa pun yang terjadi di rumah pasti langsung sampai ke
telinganya dengan kecepatan cahaya.
-
ang gue berniat main bulutangkis sama dia, tapi nggak jadi. Terus, dia nganterin gue
sampai-sampai bisa jalan bareng dia?
-
deh, dia lagi pedekate sama
semua orang bertanya tentang hubunganku dengan Edgar. Waktu itu Adisty dan Sharleen,
sekarang Claudia, besok pasti Mama.
--
dia menikmati saat-saat bersama gue, tapi itu ngga
-saat bersama lo? Cie cieee... Ya emang belum waktunya nembak. Dia
harus pedekate dulu, tauuuu! Ah payah lo, Ya, kelamaan pacaran sama Albert sih, lo jadi lupa
Aku cemberut mendengar kata-
-olah aku pacaran sama Albert selama seratus
tahun.
-aneh sebelum ada fakta yang terjadi
Aku melemparinya dengan bantal, tapi Claudia sudah keburu ngabur dari kamarku.
* * *
penasaran, sambil memasukkan
botol minum dan bekal untuk Lio ke dalam tas kecil.
Ups. Keceplosan. tAdinya aku bilang sama Mama bahwa aku akan mengajak Lio main
bulutangkis di club house kompleks perumahan salah satu temanku, karena dengar-dengar di
-ku
itu Edgar. Bukannya apa-apa, tapi ya... aku malas aja kalau Mama jadi menanyaiku macammacam.
-
Tuh, kan...
Mau nggak mau, aku terpaksa menceritakan kejadian kemarin, sewaktu Edgar mengantarku
pulang dan ia ditantang oleh Lio. Setelah aku selesai cerita, Mama malah memekik girang.
main bulutangkis hari ini tuh cuma karena gengsi! Masa cowok umur dua puluh nggak berani
m
whatever ya, Aya, tapi Mama berani pasang whatever ya, Aya, tapi Mama berani pasang
taruhan, kamu nanti bakal jadian sama si Edgar-Edgar itu. Lagian, kalau cita-citamu jadi atlet
bulutangkis nggak kes
Aku benar-benar terpana. Kenapa sih keluargaku nggak Lio, Claudia, ataupun Mama
* * *
serve serve, dan Lio,
menggunakan salah satu raket lamaku, menirukannya. Kening Lio berkerut dan mulutnya
mengerucut, kelihatan serius sekali memperhatikan Edgar.
i sebelahku. Mama memang
menyuruh Sus Ita ikut sore ini, karena, ini katanya, ia khawatir Lio bakal menganggu acara
kencanku dan Edgar, atau aku bakal melupakan aku membawa adik bungsuku itu karena
keasyikan pacaran. Buset.
o sesenang itu waktu dia main basket sama Mas Albert.
Aku terdiam. Mataku masih tertuju pada Lio yang sekarang sedang melakukan serve
pertamanya. Dia melakukannya dengan benar, dan kok yang dipukulnya melaju dengan mulus
melawati net. Ia memandang Edgar dengan gembira, dan Edgar tersenyum puas padanya.
mengartikan diamku.
-pa kok, Sus. Aku juga senang ngelihat Lio
Ya, aku memang senang, karena berbagai sebab.
Satu, Edgar itu cowok yang benar-benar menyenangkan. Ia atlet bulutangkis nasional, tapi
sama sekali nggak sombong.
Dua, ia bilang ia menikmati saat-saat bersamaku. Itu rayuan paling nggak gombal yang
pernah kudengar dari seorang cowok. Ditambah lagi, aku bisa melihat ia mengatakan itu dengan
tulus.
Tiga, aku dengan heran menyadari bahwa Mama langsung setuju aku jalan bareng Edgar,
meskipun Mama nggak pernah mengobrol atau ketemu dengannya. Dan bukankah dulu Mama
sayang banget sama Albert, sampai-sampai aku takut memberitahunya waktu aku dan Albert
putus, karena nggak mau dimarahi? Hebat banget, feromon Edgar juga bekerja pada Mama. Dari
jarak jauh.
Empat, Edgar bisa cepat banget dekat sama Lio, padahal Lio jenis anak kecil yang jarang bisa
dekat sama orang dewasa yang belum dikenalnya. Dulu, Albert adalah one in a million. Tapi lihat
aja gimana kompaknya Lio dan Edgar sekarang.
Terakhir, aku masih, dan selalu, merasakan bang-bang-boom-feeling itu jika berdekatan dengan
Edgar, dan aku menikmatinya.
* * *
-banyak. Setelah mengajari Lio
bulutangkis tadi, akhirnya aku dan Edgar bisa juga tanding bulutangkis, acara yang tertunda
kemarin. Hasilnya, sudah jelas, aku kalah dari Edgar. Itu pun aku rasa dia nggak mengeluarkan
kemampuan terbaiknya.
Yeah, apa yang kamu harapkan, Fraya? Bisa mengalahkan calon pemain ganda putra terbaik
Indonesia?
ng... Take it easy. Lagian, gue juga seneng bisa membagi ilmu gue.
Well, usia sebaya Lio adalah usia saat aku dulu juga sangat tertarik untuk belajar dan jadi
pemain bulutangkis. Kalau saja waktu itu aku benar-benar ngotot, mungkin aku sekarang bisa
seperti Edgar.
Aduh, kenapa bayangan itu sekarang datang lagi ya? Padahal aku sudah bisa mulai melupakan
rasa sedihku itu sejak... aku mengenal Edgar.
Hei, aku baru sadar, jadi EDGAR yang membuatku bisa melupakan rasa sedih itu, ya?
serve, netting... padahal ini baru pertama kalinya dia belajar
-gguk, terpana. Iya, ini pertama kalinya Lio belajar bulutangkis, Gar, dan
kamulah yang membuatnya mau belajar....
The Most Precious Prize I’ve Ever Received
Aku terbelalak mendengar seruan polos Lio itu, tapi berusaha menyembunyikan rasa kagetku.
Aku melongo. Sejak hari Minggu dulu itu, sudah beberapa kali Edgar main ke rumah saat
weekend, dan mengajak Lio main bulutangkis (aku juga ikut, dan belakangan ini kami hanya
main bertiga, tanpa ditemani Sus Ita). Segera saja, Lio bisa main bulutangkis, dan dia sekarang
jadi superlengket sama Edgar.
-tahun, nggak
boleh gampang menyerah, w
semangat adikku, justru aku girang banget mendengar celetukan polosnya tadi, tapi aku kan juga
harus memberinya pengertian. Dia sedang terpesona pada Edgar, dia membayangkan akan bisa
seperti Edgar, tanpa tahu proses seperti apa yang harus dilaluinya untuk bisa menjadi seperti itu.
So what?
Dulu, waktu Mama hamil Lio, aku sempat nggak percaya. Bayangin aja, waktu itu aku sudah
tiga belas tahun, sudah SMP, dan punya adik lagi di usia segitu jelas bukan hal yang mudah
diterima. Selain teman-temanku jadi tahu bahwa orangtuaku ternyata masih melakukan itu, aku
juga saat itu sedang sering-seringnya ribut sama Claudia. Bagiku, punya satu adik saja cukup.
Nggak usahlah ada satu lagi miniatur Claudia yang menyebalkan itu.
Tapi ketika Lio lahir, aku benar-benar menyayanginya. Pipinya yang tembam, mata belonya
(yang sangat berlawanan dengan mata sipitku), rambut jigrak-jigraknya, kepolosannya, semuanya
membuatku sangat menyayanginya. Dan, di luar dugaanku, nggak ada seorang pun teman yang
mengejekku karena punya adik di usia tiga belas tahun. Mereka malah sering sengaja datang ke
rumah untuk main sama Lio.
Dan sekarang, adikku itu bilang padaku bahwa ia ingin jadi atlet bulutangkis, karena ingin
seperti cowok yang sedang dekat denganku? Wow.
Beijing... Nanti aku bisa belikan Mama magnet kulkas yang banya
Aku tertawa lagi. Mamaku mengoleksi magnet hiasan kulkas, dan belakangan ini Edgar selalu
membelikannya oleh-oleh magnet kulkas setiap kali ia ke luar negeri untuk ikut turnamen, yang
membuat Mama sangat kegirangan. Aku sempat takjub, karena Edgar ingat hobi Mama itu,
padahal aku hanya menceritakannya sambil lalu saja di salah satu obrolan kami. Ia benar-benar
cowok yang baik.
Edgar saat ini mengikuti Hong Kong Super Series. Ia baru berangkat kemarin, dan karena
turnamen itu baru berakhir hari Minggu, keesokan harinya baru dia bisa pulang.
Lio menghela napas kecewa. Lucu banget deh, gimana adikku itu sekarang sangat
bersemangat main bulutangkis, apalagi kalau ada Edgar. Padahal dulu Lio cuma mau diajak main
basket, itu pun sama Albert.
Tiba-tiba di kepalaku melintas ide bagus.
tempat Kak Aya latihan. Di sana ada juga
lho kelas untuk anak seumur Lio. Lio mau daftar? Tapi nanti di sana latihannya harus serius...
Mata Lio berbinar, dan ia mengangguk mantap. Seperti ada kembang api yang meledak di
dadaku. Aku senang sekali. Adikku kepingin jadi atlet bulutangkis!
Dan, kalau aku beruntung, sebenta rlagi mungkin aku juga akan punya pacar atlet
bulutangkis nasional. Hehehehe.
* * *
Aku masuk ke kamar Mama, dan mendapati Mama sedang rebahan sambil membaca majalan
favoritnya.
menggeleng-gelengkan kepala.
-baru ini katanya buka kelas
bujuk-
-
sepenuhnya menghapus keinginan dan cita-
pahit karena mengingat cita-citaku adalah mustahil sekarang, yang smepat hilang sejak aku
mengenal Edgar, mendadak muncul lagi. Hanya sekilas, tak terasa menusuk dalam seperti dulu.
Tapi tetap saja, rasanya pahit.
Tapi kamu bukannya... ingin Lio jadi pengganti untuk meneruskan cita-citamu, kan? Mama
tau kamu cinta sekali sama bulutangkis, tapi Lio juga punya pilihan sendiri, Aya. Bisa saja
Aku bengong. Kok Mama bisa berpikir gitu sih? Aku memang cinta mati sama bulutangkis,
apalagi memaksa Lio. Kalau sekarang dia kepengin
les bulutangkis karena lagi terpesona sama Edgar pun, aku juga nggak akan marah kalau nanti
pesona itu hilang, atau Lio jadi bosan, dan kepingin berhenti les. Semua terserah dia. Aku cuma
ingin dia... mendapat kesempatan. Aku nggak mau dia nantinya kayak aku, menyesali apa yang
mendukung kok, semua yang kamu, Claudia, dan Lio lakukan,s elama itu positif. Mama cuma
balas memeluk Mama.
* * *
Edgar juara di Hong Kong Super Series! Dia langsung meneleponku begitu selesai bertanding,
saat aku masih memekik kegirangan karena menonton livescore-nya di Internet. Aku senang
banget! Mereka mengalahkan Zakry Abdul Latif/Fairuzizuan Tazari, sekaligus membalas
kekalahan mereka di perempat final Indonesia Super Series tempo hari! Ternyata memang benar,
semua ada saatnya. Edgar/Steven hanya berhasil sampai perempat final Indonesia Super Series,
dan di beberapa turnamen setelah itu juga mereka nggak bisa berbuat banyak. Tapi di Hong
Kong ini, seperti kesetanan, mereka membabat ganda-ganda hebat dunia yang berasal dari
Inggris, China, dan Korea, lalu menjadi juara.
* * *
Hari ini, Edgar membuat suprirse dengan menjemputku di klub tempatku berlatih. Kali ini dia
cukup pintar dengan nggak turun dari mobil dan membiarkan dirinya dirubungi cewek-cewek
sambil menggandeng Lio, berniat cari ojek, dan ia menghentikan mobilnya tepat di hadapanku.
power window-nya. Lio
langsung melepas genggamanku dan berlari mendekati mobil Edgar sambil memekik senang.
raket Lio. Aku emamng sudah menceritakannya lewat SMS waktu dia di Hong Kong kemarin.
katanya sambil menepuk kepala Lio dengan
serve serve
cerita Lio penuh semangat.
annya yang nggak bisa, harus
Mereka berceloteh dengan riang, dan aku hanya bisa terpana melihatnya. Seperti pelatih dan
muridnya, tapi juga seperti kakak dan adik... Padahal aku dulu juga sering melihat Albert dan
Lio main atau ngobrol bersama, tapi nggak sekali pun kuingat mereka begitu dekat seperti Lio
dan Edgar sekarang.
okap gue mulu yang dibawain oleh--pura
ngambek.
-oleh buat lo, tapi nanti gue mau ngajak lo makan di luar. Nggak ada
mengingat-ingat, tapi
aku yakin betul ultah Edgar bulan April, sementara ini kan bulan November.
tersenyum lebar.
aaa! Aduh sori, saking kagetnya lo
jemput gue tiba-tiba gini sih, jadi blank
Edgar membantu Lio naik mobilnya, sementara aku terpana di tempatku berdiri. Dia...
* * *
memandangi tiga magnet kulkas bertuliskan Hong Kong pemberian Edgar dengan wajah
sumringah.
-
.
u kalah,
memamerkan sekantong permen dan cokelat aneka rasa yang diberikan Edgar.
-mandangi
kaus bergambar gedung-gedung pencakar langit Hong Kong dalam genggamannya dengan
terpesona. Mungkin ia sudah berangan-angan bakal memakainya mejeng di mal kapan-kapan.
Buset! Dalam sekejap Edgar sudah menjadi puja-puji seisi rumahku. Dia membelikan oleholeh
untuk semua orang, bahkan untuk Papa (gantungan kunci mobil dari kulit yan gkeren
banget), padahal Papa saat ini sedang ada urusan kerjaan di luar kota. Cuma aku yang nggak
dapat oleh-oleh.
-
iba.
Ya ampun, dia tahu aja.
, aku bagi permen sama cokelatku aja ya? Mungkin Kak Edgar
lupa beliin oleh-oleh buat Kakak. Tapi itu pasti nggak sengaja kok, jadi Kakak jangan marah ya
Mau nggak mau seisi ruangan ini tertawa geli. Lio memang lucu.
Edgar nggak lupa. Kakak emang sengaja nggak beliin oleh-oleh buat
Lio menatap Edgar nggak mengerti, tapi aku bisa melihat Mama dan Claudia sikut-sikutan di
balik punggung Edgar. Sus Ita juga mengikik geli.
Mama. Mama langsung berhenti sikut-sikutan dengan Claudia dan dalam sepersekian detik
menampakkan sikap jaimnya.
-tiba. Claudia langsung menghampiri Lio dan membisikkan sesuatu
yang mencurigakan ke kuping Lio.
Aya aja. Selamat bersenang-
Aku menelan ludah.
gula satu ton.
ikut-ikutan.
Astaga, aku curiga ada konspirasi di antara mereka.
* * *
Edgar mengajakku ke The Edge. Aku sempat tengsin saat memasukinya, karena kostumku
malam ini kan hanya atasan baby doll, skinny jeans, dan sandal gladiator yang sudah butut.
Benar-benar bukan kostum yang tepat untuk makan di sini.
Kami duduk dan memesan makanan. Edgar bercerita tentang Hong Kong Super Series yang
baru saja dijuarainya. Tentang bagaimana groginya ia sebelum berlaga di babak final, karena,
yah... jelas saja, ini kan final Super Series pertama yang berhasil dijejakinya. Kata Edgar, Steven
bahkan sempat mulas-mulas sebelum pertandingan mahapenting tersebut. Tapi untunglah
mulas-mulas itu sepertinya hanya dampak dari rasa grogi yang dialami Steven, bukan karena dia
salah makan atau benar-benar sakit.
Setelah makanan kami licin tandas, Edgar mengatakan sesuatu yang membuatku merasa
tertular Steven, mulas-mulas.
oh my God, astaga, apakah ini saatnya? Apa dia bakal nembak aku
sekarang? Setelah berbulan-bulan dekat tapi masih tanpa status yang jelas? Dia sudah ber-akukamu
sejak menjemputku dan Lio di tempat latihan tadi!
wek-
mendekati aku. Mereka pura-pura suka bulutangkis hanya karena, yah... kepingin dekat sama
aku, dapat perhatian dari aku.... Tapi kamu nggak gitu. You love this whole badminton-stuff, just
the way I do. No, you love it more than that, I guess.
Aku terdiam, berusaha lebih mendengarkan perkataan Edgar dibanding debar jantungku yang
sedang heboh melonjak-lonjak.
ulu, aku pernah putus sama cewek karena dia nggak tahan sama program latihanku yang
padat, dan karena sering aku tinggal ikut turnamen di luar negeri. Dia nggak bis amengerti
bahwa inilah jalan yang sudah aku pilih, ini kontrak seumur hidupku... dan aku nggak bis
Aku teringat perkataan Tante Wenny dulu. Menjadi atlet bulutangkis memang sama seperti
menandatangani kontrak seumur hidup, menuntut komitmenmu untuk tetap setia dalam dunia
ini.
i aku semangat. Kamu bahkan lebih ingat
jadwal turnamenku ketimbang aku sendiri. Kamu selalu yang pertama ngasih tau aku tentang
update rank-ku di BWF, sebelum pelatihku sendiri. Kamu yang membuat aku sadar, aku sangat
beruntung bisa mengharumkan nama bangsa, karena orang lain belum tentu bisa melakukan hal
yang sama. Kamu berani mengkritik aku saat permainanku jelek dan penuh emosi... Aku
kepingin jadi pemain bulutangkis yang hebat, Fraya. Aku mau orang mengingatku sebagai Edgar
Satria, bukan adik Edward. Dan aku butuh orang yang bisa mendukung aku untuk melalui
Okay, this is it. This is the time.
Lho, jadi tadi dia membawa sesuatu ya, saat turun dari mobil? Aku nggak memperhatikan.
-
mengulurkan kotak itu padaku.
Kotak itu berwarna biru, dengan ornamen silver menghiasi bagian pinggirnya. Ukurannya
sekitar 20 x 20 senti, dan bobotnya cukup ringan.
Aku membuka kotak itu, merogoh dalamnya, dan menarik keluar... sebuah piring.
Crap! Siap sial siaaaaal! Kalau begini sih nggak mungkin Edgar bakal nembak! Mana ada
cowok ngasih hadiah piring ke cewek yang akan ditembaknya???
shock-ku
saat melihat hadiah darinya yang ternyata hanya berupa piring.
Aku baru sadar, aku mengeluarkan piring itu dari kotak dengan bagian belakangnya
menghadap ke atas. Tapi toh apa bedanya, ini kan cuma piring.
Aku membalik piring itu, menatap bagian depannya, dan terkesiap.
Itu ternyata bukan piring, tapi semacam pigura yang bisa dipajang. Aku baru ingat bahwa
benda seperti ini lazim dijual di Hong Kong sebagai suvenir, dan sangat laris. Fotoku dan Edgar,
entah kapan, mungkin di salah satu acara jalan-jalan kami, tercetak di permukaan piring itu, dan
di bawahnya tertulis:
I may just won my first Super Series,
Aku tak bisa menahan senyumku yang mengembang lebar. Ini...
Aku menurunkan piring, eh... pigura foto itu dari wajahku, dan menatap Edgar.
Aloysa Iskandar, mungkin kamu sudah nggak bisa lagi mewujudkan cita-citamu utuk jadi atlet
bulutangkis, tapi... punya pacar atlet bulutangki
Gosh, itu kan kalimat Mama!
Epilog
2012
,
saudara-saudara, kita saksikan saat ini, kedudukan 20-19 untuk keunggulan pasangan
Indonesia, Edgar Satria/Steven Hardono. Sangat menegangkan, karena inilah pertandingan
perebutan medali emas Olimpiade London 2012. Pasangan Korea Jung Jae Sung/Lee Yong Dae
tampaknya tak mau menyerah begitu saja. Kita semua berdoa untuk pasangan Indonesia, agar
mereka dapat memenangkan set ketiga ini, sekaligus menjaga tradisi medali emas bulutangkis
-usap dada sambil menatap layar TV. Tante
Wenny dan Tante Sissy langsung memelototinya karena mengganggu konsentrasi mereka
menonton pertandingan heboh ini.
Ya ampun, ini seperti enam belas tahun lalu, ketika aku dan kedua tanteku itu menonton
perebutan medali emas Olimpiade di TV, dan aku jatuh cinta untuk pertama kalinya pada
bulutangkis. Tapi kini, aku jatuh cinta pada orang di layar TV itu. Edgar Satria, pacarku empat
tahun belakangan ini.
Lee Yong Dae melancarkan smash, dan... sayang sekali dinyatakan masuk! Pengamatan yang
kurang akurat dari Edgar Satria, bola dilepas begitu saja namun ternyata jatuhnya masih di dalam
garis lapangan... Kedudukan 20-20 di set ketiga ini. Kedua pasang pemain mengambil napas sejenak
di pinggir lapangan.
Seisi ruang keluargaku, mulai dari Tante Wenny, Tante Sissy, Claudia, Lio, Papa, Mama,
menunjukkan ekspresi kesal ketika pukulan Lee Yong Dae dinyatakan masuk. Semua jadi gelisah
di tempat duduk masing-masing, seperti ayam mau bertelur.
Aku, saking gelisahnya, malah jadi kaku.
Dua bulan sebelum ia dikirim mengikuti Olimpiade London, aku melihat sendiri bagaimana
Edgar digembleng habis-habisan di Pelatnas. Latihan fisik, latihan teknik, sampai pemantapan
mental seolah dijejalkan padanya. Edgar/Steven adalah ganda putra terbaik yang dimiliki
Indonesia saat ini. Peringkat 1 BWF dan sudah pernah meraih semua gelar bergengsi seperti All
England, Juara Dunia, dan juara Master Super Series. Hanya satu gelar yang belum mereka
peroleh: peraih medali emas Olimpiade. Dan inilah saatnya.
Oh ya, melihat dan mendengar sesi latihan Edgar yang gila-gilaan menjelang Olimpiade ini,
aku jadi menyadari sesuatu: aku nggak akan sanggup jika berada di posisi Edgar. Oke, mungkin
secara fisik dan teknik aku bisa, tapi secara mental... aku nggak yakin. Menonton Edgar dari TV
begini saja aku sudah tegang setengah mati, bagaimana kalau harus bertanding di lapangan untuk
turnamen nomor satu dan di poin kritis begini? Mungkin aku bakal ngompol.
Jadi, aku akhirnya benar-benar mengerti, meskipun cita-cita terbesarku semasa kecil tak bisa
kuwujudkan, tapi Tuhan telah meletakkan Fraya Aloysa Iskandar di tempat yang paling tepat.
Seperti kata Mama dan Edgar dulu, nggak bisa jadi atlet bulutangkis, punya pacar yang atlet toh
ternyata nggak buruk-buruk amat. Hehehe.
Terjadi reli yang sangat panjang. Pasangan Korea berulang kali menyerang, namun pertahanan
pasangan Indonesia sangat kokoh. Sekarang giliran pasangan Indonesia yang menyerang. Smash
pertama dari Edgar Satria... dan Steven Hardono... masih bisa dikembalikan oleh Lee Yong Dae...
dan Steven Hardono melakukan smash
Semua orang di sekelilingku menghela napas lega. Kedudukan sekarang 21-20. Olympic Gold
Medal Point untuk Edgar dan Steven, kalau saja mereka bisa menyelesaikannya...
Poin penentuan, Pemirsa. Edgar Satria yang melakukan serve. Olympic Gold Medal Point,
akankah Edgar sanggup menyelesaikan misi yang gagal diemban kakaknya, Edward Satria, dua belas
tahun yang la
God, help him, please...
sudah dilepas, kembali diangkat dengan baik oleh Jung Jae Sung. Chop oleh Steven,
diangkat lagi oleh Jae Sung. Dropshot dilakukan Steven... ke wilayah yang sulit terjangkau Lee Yong
Dae, tapi oh... masih bisa dikembalikan... tetapi tanggung, Edgar Satria bersiap melakukan smash,
Semuanya terjadi begitu cepat di depan mataku. Smash Edgar melaju dengan cepat, dan
membelah tepat di tengah dua pemain Korea itu. Detik berikutnya yang kurasakan adalah ruang
keluargaku meledak dalam sorak-sorai dan teriakan.
Tante Sissy dan Tante Wenny melompat-lompat sambil berpegangan tangan di hadapanku.
Mama dan Papa berpelukan. Lio berlari-lari keliling ruangan sambil berteriak. Adel dan Alex
memekik dan menjerit. Aku tak bisa melihat anggota keluargaku yang lain melakukan selebrasi
macam apa lagi.
Permisa, Edgar Satria dan Steven Hardono berhasil mempertahankan tradisi emas bulutangkis
Indonesia! Emas ketujuh Indonesia dari Olimpiade setelah Susi Susanti, Alan Budikusuma, Ricky
Subagdja/Rexy Mainaky, Candra Wijaya/Tony Gunawan, Taufik Hidayat, Markis Kido/Hendra
Suara komentator di TV seolah tercekat, tapi aku nggak menyalahkannya. Aku sendiri masih
terpaku di sofa tempatku duduk, nggak sanggup berkata-kata mesti di sekelilingku ada pesta.
berdiri, dan mengajakku melompat-lompat bersama. Awalnya terasa canggung sekali, namun
kemudian keteganganku seolah mencair, karena aku melihat di layar TV pun Edgar dan Steven,
bersama Edward, pelatih mereka, berpelukan sambil berguling-guling penuh sukacita di
lapangan. Nyaris nggak ada jaim-jaimnya. Dan ketika mereka berhasil berdiri lagi, kulihat muka
Edgar sudah memerah tak keruan, tapi jelas sekali ia bahagia.
Terima kasih atas dukungan Anda semua, pecinta bulutangkis di mana pun berada. Kehormatan Terima kasih atas dukungan Anda semua, pecinta bulutangkis di mana pun berada. Kehormatan
kita di bulutangkis Olimpiade tetap terjaga. Terima kasih, Edgar Satria dan Steven Hardono. Kita
akan jeda untuk pariwara, dan kembali untuk menyaksikan penyerahan medali, dan tentu saja,
mendengarkan lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Jangan ke mana-
Layar TV sudah menayangkan iklan, tapi keluargaku masih melompat, berpelukan, menjerit,
menari, dan entah melakukan apa lagi di sekitarku. Aku sendiri masih melompat-lompat dengan
Claudia.
-tiba
menyalamiku. Dan seperti air bah, mendadak yang lain juga ingat aku ini pacar Edgar, dan
langsung memberi selamat padaku.
Setelah pelukan dan pekikan yang bertubi-tubi sampai tanganku seperti mati rasa, aku
mendengar Lio datang sambil membawa HP-ku.
-
Aku cepat-cepat meraih HP-ku, dan melihat foto Edgar terpampang di sana. SMS dari Edgar!
Cepat-cepat aku memencet tombol OK, dan layar HP-ku menampilkan pesan:
I may just won the Olympic Gold Medal,
But you are, still, the most precious Medal in my life.
Aku tak bisa menahan senyumku.
Sama, Gar. You are the most precious medal in my life too.
Setelah bulutangkis, tentunya.
Langganan:
Postingan (Atom)